Garis
*Fransisca Ria Susanti- www.Konde.co
Di Argentina, seorang perempuan, sendirian, berhasil menyeret tentara ke penjara, setelah menunggu selama 33 tahun. Patricia Isasa namanya. Di usianya yang baru 16 tahun, di awal Juli 1976, ia diseret keluar rumah oleh sepuluh tentara, diikat tangan dan kakinya serta ditutup kepalanya dengan kantong kain. Dilemparkan di sel kamar yang dingin. Dipukul, ditendang, ditelanjangi, dan dilecehkan secara seksual.
Ia adalah satu dari puluhan ribu warga biasa yang diseret ke kamp-kamp penyiksaan saat Argentina di bawah kepemimpinan diktator militer Jose Rafael Videla. Sejarah mencatat sekitar 30.000 orang tewas dan hilang dalam periode 1976-1983 yang dikenal sebagai periode Guerra Sucia (Dirty War) tersebut. Ribuan aktivis sayap kiri, anggota serikat buruh, mahasiswa, pelajar, jurnalis, kelompok Marxist, gerilyawan Peronis, dan para simpatisannya menjadi target dari operasi penculikan dan pembunuhan ini. Dan beruntung Isasa selamat. Ia dikeluarkan dari kamp tahun 1979.
Sepuluh tahun setelah pembebasannya, Isasa tekun melakukan riset dan pencarian dokumen tentang para penyiksanya. Sendirian. Lima belas tahun kemudian, dipicu oleh niat pemerintah membongkar kamp yang merupakan “monumen penyiksaan”-nya, Isasa bekerja sama dengan sebuah televisi nasional, membuat film dokumentasi hidupnya, berikut wawancara dengan para tentara yang terlibat dalam penyiksaannya. Pembuatan film dokumenter ini seiring dengan pengajuan gugatannya ke pengadilan terhadap para tentara penyiksanya.
Hasilnya, September 2009, pengadilan digelar. Tiga bulan kemudian vonis dijatuhkan. Film dokumenter tersebut menjadi salah satu bukti yang menguatkan.
Saat saya menemuinya di sebuah kedai kopi di Jakarta awal November lalu, Isasa mengatakan bahwa apa yang ia lakukan bukan soal dendam atau tidak dendam, bukan soal memaafkan atau melupakan. Ini adalah soal garis.
“Pengadilan adalah garis yang memisahkan masa lalu dan masa depan. Guna menegaskan bahwa masa lalu telah menempuh jalan yang salah sehingga kelak di masa depan, kita tidak mengulang kesalahan yang sama,” ungkapnya. Baginya, pengadilan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar Argentina bisa melangkah ke masa depan tanpa dibebani dan dibayang-bayangi masa lalu.
Saya terhenyak. Membayangkan Indonesia bisa melakukan ini, pada banyak kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas hingga kini.
Foto: Patricia Isasa/ La'o Hamutuk
(Tulisan ini pernah dimuat di Sinar Harapan Online pada 28 Agustus 2012)
*Fransisca Ria Susanti, Penulis dan Jurnalis
Post a Comment