Perempuan dan Informasi Akurat Seputar Kehamilan
Melly Setyawati-www.konde.co
Saya tidak bermaksud untuk membuat para ibu hamil khawatir sekaligus merendahkan posisi perempuan sebagai ibu di dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa perempuan-perempuan yang ada di sekitar kita, maupun kita sendiri memang rentan mengalami gangguan kehamilan dan melahirkan.
Ini pengalaman teman yang berada dekat dengan lingkungan aktifitas saya:
Kejadiannya, sekitar lima tahun lalu. Seorang teman saya di Lampung, yang aktif dalam perjuangan hak-hak perempuan pekerja meninggal karena pendarahan saat melahirkan di rumah sakit daerah di kota Bandar Lampung. Meskipun kabarnya, bayi berhasil selamat.
Kemudian sekitar satu hingga dua tahun lalu, ada tiga orang teman saya yang beraktifitas di lingkungan yang sama, juga harus merelakan bayi yang dikandungnya meninggal. Kabar itu membuat saya sedih, menangis dan nyaris tidak pernah bisa tidur, seperti menyalahkan diri sendiri karena saya tidak bisa membantu maksimal, bagaimana mungkin selama ini kita memperjuangkan hak maternitas pekerja namun ini terjadi pada orang-orang yang berada dekat dengan saya.
Saat itu saya sedang hamil, jadi bisa merasakan detik kepiluan itu. Saya langsung bilang ke teman saya, “Ternyata angka kematian bayi tinggi juga yach?”.
Terus teman saya bilang, “Itu kan kebetulan yang kamu tahu (dekat)”.
Dalam hati, iya yang kelihatan (dekat) saja tinggi. Apakah mungkin yang terjadi sesungguhnya lebih tinggi, seperti di beberapa wilayah terpencil?
Terus teman saya bilang, “Itu kan kebetulan yang kamu tahu (dekat)”.
Dalam hati, iya yang kelihatan (dekat) saja tinggi. Apakah mungkin yang terjadi sesungguhnya lebih tinggi, seperti di beberapa wilayah terpencil?
Konon kematian ibu dan bayi di pedesaan kabarnya lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Namun teman-teman saya bertempat tinggal di wilayah perkotaan, dekat sekali dengan akses kesehatan.
Iya, ini memang takdir tetapi... saya pun menahan napas, untuk tidak terhanyut dalam kepiluan dan kemarahan ini.
Iya, ini memang takdir tetapi... saya pun menahan napas, untuk tidak terhanyut dalam kepiluan dan kemarahan ini.
Dalam laporan Kinerja Kementerian Kesehatan RI selama tahun 2015 hingga 2017, kasus kematian Bayi turun dari 33.278 di tahun 2015 menjadi 32.007 pada tahun 2016, dan di tahun 2017 di semester I (satu) sebanyak 10.294 kasus. Dalam SDGS (Sustainable Development Goals), pada tahun 2030, mengakhiri kematian bayi baru lahir dan balita yang dapat dicegah, dengan seluruh negara berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1000 KH (Kelahiran Hidup) dan Angka Kematian Balita 25 per 1000 KH.
Demikian pula dengan angka kematian Ibu turun dari 4.999 tahun 2015 menjadi 4912 di tahun 2016 dan di tahun 2017 (semester I) sebanyak 1712 kasus. Keterangan tersebut disampaikan pada acara jumpa pers tentang Penjelasan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2018 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, di Jakarta pada 16 Agustus 2017.
Dalam sebuah penelitian, saya pernah terlibat bersama kawan-kawan jaringan pegiat hak perempuan, di sebuah desa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kematian bayi menjadi hal yang lumrah. Seorang ibu yang melahirkan 24 kali mengatakan bahwa bayinya yang hidup hanya 2, entah meninggal saat di kandungan dan sesudah kelahiran.
Kami yang tergabung dalam tim peneliti menjadi tertegun, sebab kami tidak bisa membayangkan kondisi sistim reproduksi yang harus mengandung 24 kali. Ini terjadi pada ibu-ibu yang berada di sekitarnya, minimal setiap ibu mengalami hamil sekitar 6 sampai 7 kehamilan dan bisa saja diantaranya, dua bayi meninggal.
Di desa memang ada satu bidan desa dan Pustu (Puskesmas Pembantu) yang selalu sepi, namun bidan hanya berada di rumahnya. Akses menuju Pustu sangat sulit, dengan jalanan yang tidak bagus. Biasanya dalam keadaan terpaksa ibu hamil berjalan kaki hingga satu jam lebih. Mungkin jika itu saya, bisa menghabiskan waktu selama 3 jam, karena lebih banyak istirahatnya. Saat kehamilan, bisa tiba-tiba terjadi kontraksi palsu.
Akses infrastruktur memang menjadi salah satu kendala, seperti di desa Liang Buaya di Kabupaten Kertanegara, jarak tempuh untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang lengkap harus menempuh perjalanan 2 jam dengan menggunakan perahu tradisional, dan 2 jam perjalanan darat, jadi jarak tempuh sekitar 4 jam. Di desa ini, juga terdapat satu bidan desa dan satu mantri kesehatan, itu kebetulan karena mereka merupakan suami istri. Bagaimana dengan wilayah lainnya yach? Jadi keppo.
Memelihara pengetahuan seputar kehamilan berdasarkan medis modern dan tradisional menjadi kebutuhan dasar perempuan. Bukan berarti menyingkirkan peran-peran paraji (dukun bayi), yang mempunyai kekuatan spiritual (kasih sayang) untuk merawat bayi dan ibu. Pemerintah mengakomodirnya dalam program kemitraan antara bidan dan paraji di desa.
Kelahiran bisa ditangani oleh bidan, dan peran paraji mengantarkan ke bidan dan merawat paska melahirkan. Namun seorang ibu lebih merasakan kenyamanan dengan paraji, dengan sentuhan lembut dan tutur katanya yang lebih memahami ibu.
Ini yang dibutuhkan oleh ibu hamil, informasi yang disampaikan dengan kelembutan. Sebab ibu hamil banyak yang mengalami masa baper. Saat kehamilan, saya berkonsultasi dengan 3 dokter obgyn, karena kejadian yang dialami oleh beberapa teman tersebut diatas, menggugah keingintahuan saya. Seorang dokter mengatakan setiap kasus kematian bayi di dalam kandungan, itu berbeda penyebabnya sehingga perlu kajian yang detail.
Saya setuju perlu kajian detail, tapi kita sudah 70 tahun merdeka loh, masa sih tidak ada penelitian yang akurat tentang penyebab kematian bayi? Dan bagaimana dengan penanganannya?
(Sumber referensi: http://www.depkes.go.id/article/view/17081700004/-inilah-capaian-kinerja-kemenkes-ri-tahun-2015--2017.html)
Post a Comment