Mengapa Membenci Waria?
*Ika Ariyani- www.Konde.co
Baru saja saya melihat video tentang seorang waria yang dipukul, dijambak, dan diseret-seret oleh banyak orang. Ia diperlakukan sangat hina dan tidak manusiawi. Menurut sumber dari beberapa media sosial, ia dituduh melakukan perampokan bersama teman-temannya terhadap seorang laki-laki, setelah sebelumnya ia diduga menawarkan jasa seksual kepada laki-laki tersebut.
Saya menyerahkan proses hukum yang sedang berjalan dan akan menghormati putusan hukum jika waria tersebut memang bersalah. Namun yang saya sesalkan adalah pola main hakim sendiri atas kasus ini. Saya melihat video main hakim sendiri ini yang kemudian banyak dibagikan dan viral di media sosial yang sudah pasti menjadikan sejumlah orang mendapat keuntungan dari penderitaan orang lain ini, dan dikomentari bermacam-macam oleh netizen. Tentu yang paling banyak adalah komentar menyalahkan dan menghina waria tersebut.
Belum ada putusan hukum atas kasus ini, hanya saya sangat prihatin bahwa dari video ini dan dari peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa yang lain, saya menjadi bertanya, mengapa kita senang sekali memperolok, mengganggu, memandang rendah waria? Hanya karena mereka berbeda dari kita. Apakah memang sudah menjadi kebiasaan untuk ikut-ikutan membenci seseorang atau sesuatu, hanya karena ia adalah seorang waria? Mengapa kita senang membenci tanpa alasan? Membenci hal yang kita tidak kenal dan ketahui dengan jelas?
Sebagian besar komentar untuk video tersebut berisi hinaan kepada waria. Banyak netizen merayakan kejadian main hakim sendiri ini dengan cara menertawakan dan semakin mempertegas bahwa waria selain tidak 'normal', juga pastilah seorang kriminal.
Pelabelan ini akan membuat sikap barbar main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap waria akan semakin dianggap layak dan wajar saja. Hal ini tentu sangat meresahkan dan menambah berat hidup para waria yang memperjuangkan hidupnya agar bisa hidup layaknya manusia bebas. Selain sebagian besar dari mereka ditolak keluarga sendiri, mereka juga ditolak dimana-mana, tidak bisa menjadi dirinya sendiri, agar tetap bertahan hidup di tengah orang-orang yang merasa bahwa laki-laki yang bersikap feminin adalah menyimpang.
Apakah kita tidak bisa santai sedikit dan berpikir bahwa waria adalah manusia? Mengapa kita senang menjadi ras penguasa atas manusia lainnya? Kita sangat gembira mendapatkan bahwa diri kita bukan bagian dari waria tersebut yang dipandang aneh oleh banyak orang. Kejadian ini dibesar-besarkan hanya karena pencuri (yang belum dibuktikan bersalah secara hukum) adalah seorang waria. Seakan-akan ia lebih hina dari koruptor yang tidak pernah dipukuli, dijambak dan diseret di jalanan walau ia telah mencuri milyaran uang rakyat.
Sampai kapan kita bisa memandang persoalan secara adil tanpa mengkaitkan persoalan hukum dengan hal yang tidak ada hubungannya seperti identitas pribadi?
(Foto/ Ilustrasi: Pixaabay.com)
*Ika Ariyani, penulis dan aktivis sosial, tinggal di Surabaya.
Post a Comment