Tubuh Perempuan
*Fransisca Ria Susanti- www.Konde.co
Coba tanyakan pada perempuan-perempuan yang diseret ke ruang interogasi pasca peristiwa 30 September 1965, apa yang dilakukan para interogator terhadap tubuh mereka?
Dijamin anda akan mendengar cerita horor berbumbu erotisme, yang membuat jantung berdegup kencang, napas sesak, dan telapak tangan dingin berkeringat. Campuran antara rasa jijik dan marah, tapi sekaligus juga gairah untuk menyakiti atau—secara aneh—disakiti.
Ketika pertama kali mendengar cerita-cerita para perempuan “alumnus” Plantungan korban peristiwa 1965, tubuh saya merinding.
Cerita tentang tubuh yang ditelanjangi, rambut kepala yang dipangkas, paha yang diraba, payudara yang disundut rokok, puting yang dipelintir, rambut kelamin yang dibakar, vagina yang disodok benda tumpul, dan bibir yang dipaksa menciumi penis para interogator adalah kisah-kisah yang membuat kulit meremang, bahkan bertahun-tahun setelah cerita itu usai dituturkan.
Para interogator merasa sah melakukan itu bukan semata karena para perempuan itu adalah "pesakitan", tapi juga karena propaganda politik sejak awal yang mengibarkan kebohongan bahwa tubuh yang samalah yang melenggang gemulai dengan leher berkalung bunga di Lubang Buaya, dan menyayat-nyayat penis para jenderal.
Terhadap tubuh yang "merayakan" kematian para jenderal itulah, segala pelecehan yang paling hina berhak dilakukan.
Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia menulis bahwa citra tubuh perempuan yang gemulai di depan kematian para jenderal, yang dongengnya diciptakan oleh Angkatan Darat dan didengungkan media massa yang kehilangan akal waras itulah yang membuat pembantaian ribuan orang setelah 1965 seolah "termaafkan" dan mendekam dalam kepala publik dalam tempo lama.
Para perempuan itu didongengkan sebagai Durga yang beringas, brutal, gila lelaki, maniak seks, dan liberal kelamin. Di dinding-dinding kota Jakarta hingga pelosok Indonesia, sumpah serapah yang paling kotor terhadp organisasi yang terkena fitnah dongeng ini dilontarkan.
Perempuan, sang pemilik rahim, dilecehkan hingga di luar nalar. Sekali lagi, arogansi kekuasaan -yang berjenis kelamin lelaki- memposisikan perempuan bukan sebagai kawan sejajar. Perempuan hanya bisa diterima jika ia “manis”, “patuh”, dan indah sebagai “pajangan”.
Derap modernisasi dan industrialisasi yang mendorong perempuan ke luar rumah, dan memasukkan mereka ke gerbong-gerbong sekolah untuk kemudian menyeret mereka ke pabrik-pabrik sebagai penggerak mesin industrialisasi, ternyata tetap tak membuat mereka "sejajar" dengan kaum lelaki.
Perempuan tetap menjadi, dalam istilah Simone de Beauvoir, "sosok yang lain". Sosok manusia yang tidak lengkap, sosok “lelaki separuh jadi”.
Hal ini menjadikan setiap upaya untuk membuat perempuan tampak “jantan" atau menjadi “manusia utuh”--privilege yang hanya dimiliki oleh lelaki dalam konsep Aristoteles maupun Santo Agustinus—memicu kecemasan. Apakah itu dalam pertarungan ideologi, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Maka yang terjadi kemudian adalah menyeret kembali perempuan pada "ketidakutuhan", kepada tubuhnya yang menjadi pusat kecemasan. Dan negara yang berkelindan dengan kekuasaan patriarki kemudian menelorkan aturan yang selalu mengingatkan bahwa perempuan tak akan pernah punya kedaulatan atas tubuh mereka. Tak peduli apakah itu negara yang mengatasnamakan agama atau kapitalisme. Tak peduli apakah itu negeri dengan sistem yang mencemaskan penampakan tubuh telanjang atau yang menjadikan tubuh telanjang sebagai komoditas.
Puluhan tahun setelah G30S meletus, di negeri yang melahirkan Cut Nyak Dien dan Kartini, tubuh perempuan tetap menjadi sasaran atas sebuah obsesi terhadap stabilitas.
Sejumlah peraturan daerah yang dibuat atas nama agama, menjadikan tubuh perempuan sebagai objek aturan, dari cara berpakaian, urusan keluar malam, hingga cara duduk di atas motor. Alih-alih melindungi perempuan, aturan ini justru menunjukkan kecemasan akut.
"Tak ada seorang pun yang lebih arogan, lebih agresif, atau lebih menghina perempuan, kecuali laki-laki yang merasa cemas akan kejantanannya," tulis de Beauvoir.
Aturan apa pun yang menyasar pada tubuh perempuan sebenarnya tak lebih hanya mempertontonkan kengerian para pembuat aturan itu terhadap hawa nafsunya sendiri terhadap perempuan.
Sementara klaim yang mengatakan bahwa perempuan yang mengenakan baju terbuka bertanggung jawab atas serangan atau perkosaan yang terjadi atas mereka adalah klaim serampangan yang sebenarnya hanya menunjukkan ketidakmampuan Negara untuk membuat semua orang setara di depan hukum. Hanya menunjukkan bahwa kekuasaan yang mengendalikan Negara selalu memiliki bias terhadap tubuh.
*Fransisca Ria Susanti, seorang penulis dan Jurnalis. Ia menulis sejumlah buku tentang kasus-kasus 1965 di Indonesia. Tulisan ini pernah dimuat di Sinar Harapan pada 9 Januari 2013. Dimuat kembali di www.Konde.co atas seijin penulis.
Post a Comment