Perempuan dan Nasib di Hari Tua
*Kustiah-www.Konde.co
Kami memangilnya ibu Agung. Ia biasa datang ke rumah kami. Membawa cucu perempuannya bermain bersama anak kami.
Atau kadang datang sendiri, membawa makanan camilan.
Saya kadang memesan jika ibu Agung menawari makanan kecil yang dibawanya. Namun tak pernah memesan secara khusus karena memang tak mau membiasakan mengemil. Tetapi saya juga tak pernah menolak dagangan ibu Agung.
Biasanya jika dia membawa makanan atau camilan itu artinya dia sedang perlu uang. Entah untuk membeli beras atau untuk membayar biaya sekolah anaknya yang bungsu.
Siang kemarin dia datang ke rumah. Menawarkan jasa untuk menyeterika dan membersihkan rumah. Untuk urusan domestik sebenarnya saya tak pernah tega melihat orang lain memegangnya. Selain sebenarnya saya bisa menyelesaikan sendiri, melihat orang yang sedang kesulitan lalu melakukan sesuatu untuk ditukar dengan uang membuat batin saya miris.
"Tapi, bukankah ibu Agung harus menjaga mawar (cucunya, bukan nama sebenarnya)?" tanyaku.
Dan dengan cekatan tiba-tiba sapu sudah di tangan ibu Agung. Dan kain lap meja sudah menggantung di bahu.
Akhirnya kubiarkan ibu Agung menyapu sambil mengajaknya ngobrol. Setiap usai memandikan dan menyuapi anak saya yang paling kecil, ritual yang biasa saya lakukan adalah menyusui dan menidurkannya.
Jadi, setelah itu kami bisa mengobrol sambil sedikit teriak. Ibu agung di ruang depan, sedangkan saya menidurkan anak di kamar.
Tapi, tiba-tiba ibu agung mendekat. Duduk di pojok kasur tempat saya berbaring. Sambil membawa jemuran yang sudah kering dn melipatinya ibu Agung berkata-kata dengan suara berat.
Ia lalu bercerita tentang rumah tangga anak pertamanya. Awalnya bicaranya lancar namun perlahan air matanya tumpah. Suaranya tenggelam dengan tangis yang tak bisa ia tahan. Ia sangat kecewa dengan menantunya.
Rumah tangga anak pertamanya terancam bubar. Ia ceritakan semua yang terjadi dan perpecahan yang berimbas pada nasib bu Agung selanjutnya.
Ingin kuusap air matanya. Ingin kupeluk tubuhnya. Tetapi anak yang menyusu di depanku menguasaiku mmbuat tak bisa bergerak.
"Saya tak pernah menyangka mbak kalau hidup saya akan seburuk ini," ibu Agung meratap.
Ibu agung berbadan ringkih. Tak banyak bicara dan pekerja keras. Tak sekalipun kudengar ia mengeluh. jika kesulitan uang ia selalu membuat makanan untuk dijual. Saya selalu menjadi pembelinya yang tak terduga. Hanya beberapa kali saja ia meminjam uang untuk biaya sekolah anaknya.
Suaminya meninggal karena penyakit gula 5 tahun lalu. Dan untuk menyambung hidup beserta membiayai sekolah anaknya ia berjualan.
Tiga tahun lalu sebelum cucunya lahir dia menjadi pegawai perpustakaan di sekolah di sebuan yayasan di Bogor. Sejak cucunya lahir, pekerjaannya yang terakhir ditinggalkan.
Demi anak, menantu, dan cucunya. Meskipun ia tak pernah mendapatkan uang sepeser pun dari menantu atau anak untuk membiayai hidupnya dan anak bungsunya.
Dia lalu berjualan makanan kering kecil-kecilan di sela-sela mengasuh cucunya.
Tangis ibu Agung terhenti saat suara pintu pagar berderat bergeser. Suamiku bersama anak perempuanku yang paling besar pulang dari bermain bola di lapangan.
"Besok saya kesini lagi mbak. Saya pamit dulu,"..dan ibu Agung buru-buru mengusap muka dengan kedua telapak tangannya dan pergi
Orangtua atau Lansia seperti ibu Agung dalam masa tuanya seharusnya hidup berbahagia. Ia bisa menikmati perjuangan yang sudah dilakukan untuk anak-anaknya. Namun nasib
tak semua berpihak baik.Banyak Lansia yang kemudian justru harus hidup di luar rumah atau hidup tak menentu.
Kesulitan ekonomi atau hubungan yang memburuk kadang menjadi penyebab mereka tak bisa menikmati masa tuanya. Pemerintah sudah seharusnya memikirkan nasib Lansia, karena mereka adalah warga negara yang pernah menjadi tulang punggung nasib bangsa. Sudah seharusnya mereka mendapatkan jaminan hari tua agar ada jaminan secara ekonomi dan bisa hidup di masa depan dan hari tuanya.
Kuhela napas panjang. "Semoga ada jalan keluar bu..”
(Foto/ Ilutrasi: Pixabay.com)
*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com. Saat ini pengelola www.Konde.co dan Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Post a Comment