Pelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu
Lidwina Inge Nurtjahyo, Universitas Indonesia
Ketika belajar tentang pendampingan korban kekerasan seksual di Klinik Hukum Perempuan dan Anak di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mahasiswa kami dibekali pesan oleh kawan psikolog dari Yayasan Pulih: “Dengarkan dulu. Jangan banjiri dengan pertanyaan”.
Petunjuk tersebut terkait dengan upaya untuk melindungi pihak korban kekerasan seksual dari terjadinya double victimisation atau dalam tulisan ini dipadankan dengan “dikorbankan berulang-ulang”.
Minggu lalu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dalam wawancara dengan BBC Indonesia bahwa korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan. Apa yang dikemukakan oleh tokoh nomor satu dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia tersebut ternyata sering ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan dengan Sulistyowati Irianto pada 2006, aparat penegak hukum sering mengajukan pertanyaan tentang soal kesukarelaan hubungan seksual tersebut atau apakah korban menikmati proses terjadinya hubungan seksual itu.
Alasan aparat mengajukan pertanyaan adalah dalam rangka mengumpulkan bukti apakah benar terjadi pemerkosaan atau kekerasan seksual. Penelitian lain oleh Universitas Indonesia juga menemukan pertanyaan semacam itu tidak hanya diajukan oleh pihak kepolisian tetapi juga oleh jaksa dan hakim.
Dikorbankan berulang-ulang
Pertanyaan yang diajukan kepada penyintas atau korban kekerasan seksual harus dirumuskan sedemikian rupa supaya tidak menempatkan mereka pada posisi “dikorbankan berulang-ulang”. Saat mengalami kekerasan seksual, para korban mengalami tindakan yang melukai tubuh dan jiwa.
Pengalaman itu menyakitkan, tetapi tidak dapat dilepaskan oleh korban yang harus meneruskan hidup. Pertanyaan yang diajukan kepada korban kekerasan seksual tentang pengalamannya memaksa korban mengingat lagi situasi saat ia tidak berdaya.
Kekerasan seksual sering dipahami semata-mata terjadi karena hasrat seksual yang tidak terkendali. Sungguh suatu logika yang keliru tetapi terus menerus dipelihara dalam masyarakat.
Kekerasan seksual mestinya dilihat sebagai suatu tindakan yang lahir dari relasi kuasa yang timpang. Relasi kuasa adalah relasi yang terbentuk antara orang perorangan, kelompok, atau golongan. Terbentuknya relasi kuasa tersebut disebabkan karena kemampuan masing-masing kelompok atau orang melakukan tawar menawar untuk mempertahankan atau memperoleh haknya.
Relasi kuasa muncul dan menguat pada hubungan antargender, antarjenis kelamin, antargolongan dan kelas di dalam masyarakat. Pada relasi kuasa yang lahir di antara individu atau kelompok yang posisi tawarnya tidak setara, maka akan timbul relasi kuasa yang timpang.
Praktik nilai budaya sering menyuburkan relasi kuasa yang timpang ini. Dampaknya adalah pada ketimpangan akses terhadap hak dan sumber daya di dalam masyarakat.
Relasi kuasa timpang
Korban kekerasan seksual biasanya berada pada posisi tawar yang relatif lemah. Konsekuensinya, relasi kuasa yang terjalin antara korban dan pelaku bersifat timpang. Terbentuknya relasi kuasa yang timpang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial, kelompok minoritas berdasarkan etnis, kepercayaan/agama, afiliasi politik, dan sebagainya. Saya telah menuliskannya lebih jauh di dalam “Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual” dalam Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak.
Sebaliknya, pelaku berada pada posisi tawar yang lebih kuat daripada korban dalam berbagai aspek. Misalnya: usia, jabatan (kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru mengaji, pemuka agama, dan sebagainya), kelas sosial, kelas ekonomi, dan kelompok mayoritas.
Salah: berulang berarti nyaman
Kasus kekerasan seksual senantiasa melibatkan persoalan relasi kuasa, bahkan juga pada kasus yang terjadi berulang. Anggapan yang mengemuka terhadap korban kekerasan seksual yang berulang adalah korban menjadi “nyaman” dengan apa yang dilakukan pelaku.
Penting untuk meluruskan anggapan tersebut. Hubungan seksual yang sehat seyogianya terjadi antara dua orang yang relasi kuasanya setara, mampu mengambil keputusan secara objektif. Hubungan itu harus atas dasar persetujuan kedua belah pihak.
Pada hubungan seksual yang dimulai dengan kekerasan dan paksaan, ketika relasi kuasa antara para pihak timpang, maka kehadiran konsensus atau persetujuan suka rela itu patut dipertanyakan. Jadi, logikanya adalah bukan “pasti ada konsensus” atas terjadinya hubungan seksual tersebut, melainkan “tidak ada konsensus”. Logika ini sekiranya diterapkan pada proses pemeriksaan kasus kekerasan seksual, akan berdampak besar.
Beban pembuktian bukan pada korban
Beban pembuktian atas terjadinya kekerasan seksual tidak lagi terletak pada pihak korban. Soal kesucian, sejarah seksual korban, tidak lagi menjadi hal yang terus menerus harus diceritakan oleh korban. Sebaliknya, pelaku harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Kewajiban untuk menghadirkan bukti tindak kekerasan seksual, sesungguhnya terletak pada negara, bukan pada korban. Negara seharusnya mampu menggali bukti dari sumber-sumber lain (termasuk pelaku). Bukan hanya kepentingan pelaku yang harus dilindungi sesuai dengan aturan hukum, tetapi juga kepentingan korban supaya tidak “dikorbankan berkali-kali” dalam rangka mengakses keadilan bagi dirinya.
Fakta bahwa korban pernah berhubungan seksual atau mengalami kekerasan seksual berulang, tidak boleh mengurangi penghormatan negara atas hak-hak korban. Bukti tersebut tidak boleh dijadikan sebagai alasan peringan oleh hakim. Sudah dijelaskan sebelumnya, pada kekerasan seksual berulang, terjadi karena korban tidak berdaya akibat relasi kuasa yang timpang.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang penting untuk diperbaiki dalam sistem hukum pidana kita. Pertama, negara wajib merevisi, menghapus, dan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang merugikan perempuan berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia pada 1987.
Kedua, negara wajib memperbaiki standard operating procedure dari proses penyidikan. Misalnya: mengubah redaksional pertanyaan kepada korban dan melakukan pemeriksaan dengan menghadirkan pihak psikolog yang sudah terlatih dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Kedua hal tersebut penting dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan di ruang sidang dalam mengakomodir kebutuhan korban. Sudah tersedia Peraturan Mahkamah Agung No. 3/2017 terkait dengan Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk hakim. Perlu juga panduan demikian untuk polisi dan jaksa, khususnya untuk penggalian informasi kepada korban kekerasan seksual.
Ketiga, penting dipikirkan penguatan dan perluasan unit perempuan dan anak di kepolisian. Penguatan itu baik dari aspek kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia dan dukungan lembaga.
Semua perbaikan tersebut penting dilaksanakan karena korban kekerasan seksual adalah manusia. Tidak ada hal yang nyaman terkait dengan kekerasan tersebut.
Lidwina Inge Nurtjahyo, Lecturer of law and gender studies, Universitas Indonesia
This article was originally published on The Conversation. Read the original article.
Post a Comment