Pantaskah Memberikan 'Panggung' bagi Dosen Pelaku Pelecehan Seksual?
*Cecilia Novarina- www.Konde.co
Kemarin malam saya menemukan bahwa salah satu portal berita, March News, mengunggah potongan wawancara bertajuk "March Talk Communism: The Grand Idea of Communism."
Potongan ini merupakan bagian dari seri video wawancara dalam rangka (mungkin) membangun kesadaran masyarakat umum mengenai komunisme dan meruntuhkan fobia terhadap komunisme itu sendiri. Bulan-bulan begini isu komunisme memang sedang ngetrend.
Apalagi setelah ada acara nonton bareng fim G-30S-PKI kemarin. Maka maklum sebenarnya kalau media memuntahkan segala macam hal yang berhubungan dengan komunisme, entah karena ingin menangkap momen atau ingin menjaring euforia massa.
Memang tidak ada yang salah dengan konten wawancara itu.
Yang salah menurut saya adalah pemilihan narasumbernya, yaitu EH. Karena EH, merupakan pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa di kampusnya mengajar.
Kasus ini telah diakui oleh pelaku sendiri, dan telah mendapat "penanganan" dari Fisipol UGM sejak tanggal 25 Januari 2016. Sebagaimana diklarifikasi secara publik oleh surat tertanggal 3 Juni 2016 di samping. Saat ini yang bersangkutan berstatus diskors sebagai dosen Fisipol UGM, meskipun March News tetap mencantumkan bahwa beliau adalah "Lecturer" di UGM.
Zero Tolerance yang Salah Kaprah
Ada beberapa hal yang patut disayangkan dalam kasus pelecehan seksual yang menjerat EH ini:
1.Pertama, Tidak ada Tindakan Tegas
Keengganan fakultas mengambil tindakan tegas terhadap EH, meskipun mengaku "akan secara kontinyu melakukan kampanye Zero Tolerance terhadap pelecehan seksual."
Cambridge Dictionary mendefinisikan Zero Tolerance sebagai "the act of punishing all criminal or unacceptable behaviour severely, even if it is not very serious." Dalam hal ini tindakan pemberian sanksi memang sudah diambil oleh Fisipol UGM.
Tapi apakah sanksi yang diberikan sudah cukup severe (berat, dalam skala yang paling besar)?
Buat saya tidak.
Karena dalam putusan itu, Fisipol UGM masih meninggalkan lifeline untuk menarik EH kembali ke dalam lingkup pengajarnya. Untuk saya keputusan ini merupakan kesalahan fatal.
2. Kedua, Preseden Buruk
Tindakan yang diambil Fisipol UGM dalam merespon kasus-kasus EH, akan menjadi preseden, baik bagi dosen yang melakukan pelecehan seksual maupun mahasiswa penyintas (laki-laki maupun perempuan) yang ingin melaporkan kasus pelecehan oleh dosen yang dialaminya.
Saya yakin bahwa EH, bukan satu-satunya dosen di dunia (mungkin di UGM, tapi saya tidak yakin) yang pernah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pengontrol nilai mahasiswa untuk mendapatkan keuntungan secara seksual dari mahasiswanya.
Si dosen bisa saja menggunakan argumen bahwa ini dilakukan atas dasar mau sama mau. Tapi fakta bahwa beliau punya power lebih atas mahasiswanya membuat argumen ini menjadi tidak relevan. Karenanya hubungan seksual dosen dan mahasiswa dinilai sebagai sesuatu yang tidak etis, baik dalam kasus-kasus EH maupun yang lainnya.
Kekuatan Infiltrasi Media
Terus terang saya baru saja mendengar soal media seperti March News tadi malam. Tapi sebagaimana media lainnya, March News punya kekuatan yang sangat besar untuk bisa menyebarkan informasi dan membentuk wacana.
After all, information is power. Buktinya, dalam waktu kurang dari 24 jam video pertama dalam seri ini sudah dilihat oleh lebih dari 3000 orang, dibagikan oleh 26 orang, dan di-like oleh 48 orang. Sekarang pasti sudah lebih.
Media, apapun skalanya, merupakan entitas yang tidak bisa diabaikan dalam mengubah opini publik.
Dari pengalaman saya bekerja di Non Government Organisation (NGO), saya sudah melihat banyak kegiatan-kegiatan pembangunan kapasitas yang diarahkan untuk membuat wartawan lebih peka terhadap isu-isu tertentu; mulai dari isu gender, lingkungan, sampai ketidaksetaraan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika para wartawan ini menulis berita, mereka bisa menyampaikan isu-isu krusial yang sering terabaikan kepada pirsawannya.
Mengasumsikan dari pilihan web domainnya yang "ngaktivis" (wemarch.id) saya mengasumsikan bahwa portal berita ini ada untuk menyuarakan hal-hal yang tidak disuarakan media mainstream. Saya sepenuhnya mendukung hal ini. Apalagi di laman Facebook March News, kata-kata yang ditunjukkan dalam cover video-nya adalah: March, Politics, People, dan Culture.
Membaca kata-kata ini, saya mengasumsikan (atau minimal berharap) bahwa March News merupakan media yang punya niat untuk memulai dan melakukan gerakan. Pertanyaannya sekarang adalah: gerakan untuk apa?
Di dunia aktivisme, kita mengenal kata intersection. Berdasarkan definisi yang saya temukan di Google, Intersectionality menggambarkan suatu konsep di mana institusi-institusi represif (misalnya rasisme, seksisme, homofobia, transfobia, xenofobia, klasisme, dll) sebenarnya terkoneksi satu sama lain, dan karenanya tidak bisa dipisahkan.
Basis dari konsep ini adalah kenyataan bahwa manusia bukanlah entitas yang one dimensional, dan karenanya permasalahan yang dihadapi tidak hanya ada di satu dimensi. Contoh paling kuat dari interseksionalitas ini adalah kelahiran Black Feminist di Amerika dan Afrika Selatan.
Seberapa Pantas?
Saya sangat mendukung upaya March News men-de-demonisasi komunisme dan menyuguhkannya sebagai suatu konsep yang tidak jahat. Hal ini memang sangat diperlukan, dan harus dilakukan seintensif mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya, mengingat generasi terakhir korban demonisasi komunisme sudah mulai berguguran. Tapi apakah layak hal ini dilakukan dengan memasang muka opresor lain?
Ada orang yang berkomentar di video yang diunggah bahwa EH tetap layak berkomentar, mengingat beliau punya kompetensi di bidang itu. Well, Hitler juga punya kompetensi di bidang politik praktis, tapi apakah beliau masih pantas berkomentar soal politik praktis setelah Auschwitz? Meskipun dia sama sekali tidak menyebarkan ideologi anti-semitisnya dalam komentas tersebut? Mungkin iya, tapi secara etis kita tidak boleh memberikan dia panggung out of respect to the family of the victims.
Kita tidak bisa meminta para penyintas sejenak mengesampingkan pengalaman buruk mereka karena "beliau kompeten di bidangnya". Menurut saya ini argumen malas. Orang yang kompeten masih banyak dan bisa dicari dengan sedikit usaha.
Mungkin Fisipol UGM enggan sepenuhnya memutuskan hubungan dengan EH. Apabila anda sudah pernah menghabiskan waktu berdiskusi dengan beliau, pasti anda sadar kalau beliau adalah seorang akademisi brilian. Beliau adalah aset berharga untuk fakultas. Tapi seperti yang diungkapkan salah satu teman saya, dalam diskusi kami pagi ini.
"Apalah arti ilmu kalo yang memberi ilmu justru menjadi antitesis dari keilmuan itu sendiri?."
EH, dulu sempat mengajar mata kuliah Gender dan Politik, jadi ia pasti paham betul apa maksud diskriminasi terhadap perempuan dan pelecehan seksual. Despite that knowledge, dia membuat pilihan sadar untuk terus melakukan pelecehan terhadap mahasiswi-mahasiswinya.
Apakah ia masih pantas dianggap pendidik kalau begitu? Selama kita masih meng-glorifikasi kemampuan akademik dengan mengabaikan karakter, saya pikir kita masih punya masalah.
Kenapa?
Karena pelaku pelecehan seksual akan selalu menemukan bahwa masih ada orang yang akan menghargai dia, secara akademik maupun finansial, dan bahwa tidak ada konsekuensi nyata untuk tindakannya.
Dan hal inilah yang tidak bisa saya terima.
(Foto/ Ilustrasi)
*Cecilia Novarina, pekerja untuk isu gender. Tulisan ini merupakan upaya penulis dalam membantu advokasi korban pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.
Kemarin malam saya menemukan bahwa salah satu portal berita, March News, mengunggah potongan wawancara bertajuk "March Talk Communism: The Grand Idea of Communism."
Potongan ini merupakan bagian dari seri video wawancara dalam rangka (mungkin) membangun kesadaran masyarakat umum mengenai komunisme dan meruntuhkan fobia terhadap komunisme itu sendiri. Bulan-bulan begini isu komunisme memang sedang ngetrend.
Apalagi setelah ada acara nonton bareng fim G-30S-PKI kemarin. Maka maklum sebenarnya kalau media memuntahkan segala macam hal yang berhubungan dengan komunisme, entah karena ingin menangkap momen atau ingin menjaring euforia massa.
Memang tidak ada yang salah dengan konten wawancara itu.
Yang salah menurut saya adalah pemilihan narasumbernya, yaitu EH. Karena EH, merupakan pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa di kampusnya mengajar.
Kasus ini telah diakui oleh pelaku sendiri, dan telah mendapat "penanganan" dari Fisipol UGM sejak tanggal 25 Januari 2016. Sebagaimana diklarifikasi secara publik oleh surat tertanggal 3 Juni 2016 di samping. Saat ini yang bersangkutan berstatus diskors sebagai dosen Fisipol UGM, meskipun March News tetap mencantumkan bahwa beliau adalah "Lecturer" di UGM.
Zero Tolerance yang Salah Kaprah
Ada beberapa hal yang patut disayangkan dalam kasus pelecehan seksual yang menjerat EH ini:
1.Pertama, Tidak ada Tindakan Tegas
Keengganan fakultas mengambil tindakan tegas terhadap EH, meskipun mengaku "akan secara kontinyu melakukan kampanye Zero Tolerance terhadap pelecehan seksual."
Cambridge Dictionary mendefinisikan Zero Tolerance sebagai "the act of punishing all criminal or unacceptable behaviour severely, even if it is not very serious." Dalam hal ini tindakan pemberian sanksi memang sudah diambil oleh Fisipol UGM.
Tapi apakah sanksi yang diberikan sudah cukup severe (berat, dalam skala yang paling besar)?
Buat saya tidak.
Karena dalam putusan itu, Fisipol UGM masih meninggalkan lifeline untuk menarik EH kembali ke dalam lingkup pengajarnya. Untuk saya keputusan ini merupakan kesalahan fatal.
2. Kedua, Preseden Buruk
Tindakan yang diambil Fisipol UGM dalam merespon kasus-kasus EH, akan menjadi preseden, baik bagi dosen yang melakukan pelecehan seksual maupun mahasiswa penyintas (laki-laki maupun perempuan) yang ingin melaporkan kasus pelecehan oleh dosen yang dialaminya.
Saya yakin bahwa EH, bukan satu-satunya dosen di dunia (mungkin di UGM, tapi saya tidak yakin) yang pernah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pengontrol nilai mahasiswa untuk mendapatkan keuntungan secara seksual dari mahasiswanya.
Si dosen bisa saja menggunakan argumen bahwa ini dilakukan atas dasar mau sama mau. Tapi fakta bahwa beliau punya power lebih atas mahasiswanya membuat argumen ini menjadi tidak relevan. Karenanya hubungan seksual dosen dan mahasiswa dinilai sebagai sesuatu yang tidak etis, baik dalam kasus-kasus EH maupun yang lainnya.
Kekuatan Infiltrasi Media
Terus terang saya baru saja mendengar soal media seperti March News tadi malam. Tapi sebagaimana media lainnya, March News punya kekuatan yang sangat besar untuk bisa menyebarkan informasi dan membentuk wacana.
After all, information is power. Buktinya, dalam waktu kurang dari 24 jam video pertama dalam seri ini sudah dilihat oleh lebih dari 3000 orang, dibagikan oleh 26 orang, dan di-like oleh 48 orang. Sekarang pasti sudah lebih.
Media, apapun skalanya, merupakan entitas yang tidak bisa diabaikan dalam mengubah opini publik.
Dari pengalaman saya bekerja di Non Government Organisation (NGO), saya sudah melihat banyak kegiatan-kegiatan pembangunan kapasitas yang diarahkan untuk membuat wartawan lebih peka terhadap isu-isu tertentu; mulai dari isu gender, lingkungan, sampai ketidaksetaraan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika para wartawan ini menulis berita, mereka bisa menyampaikan isu-isu krusial yang sering terabaikan kepada pirsawannya.
Mengasumsikan dari pilihan web domainnya yang "ngaktivis" (wemarch.id) saya mengasumsikan bahwa portal berita ini ada untuk menyuarakan hal-hal yang tidak disuarakan media mainstream. Saya sepenuhnya mendukung hal ini. Apalagi di laman Facebook March News, kata-kata yang ditunjukkan dalam cover video-nya adalah: March, Politics, People, dan Culture.
Membaca kata-kata ini, saya mengasumsikan (atau minimal berharap) bahwa March News merupakan media yang punya niat untuk memulai dan melakukan gerakan. Pertanyaannya sekarang adalah: gerakan untuk apa?
Di dunia aktivisme, kita mengenal kata intersection. Berdasarkan definisi yang saya temukan di Google, Intersectionality menggambarkan suatu konsep di mana institusi-institusi represif (misalnya rasisme, seksisme, homofobia, transfobia, xenofobia, klasisme, dll) sebenarnya terkoneksi satu sama lain, dan karenanya tidak bisa dipisahkan.
Basis dari konsep ini adalah kenyataan bahwa manusia bukanlah entitas yang one dimensional, dan karenanya permasalahan yang dihadapi tidak hanya ada di satu dimensi. Contoh paling kuat dari interseksionalitas ini adalah kelahiran Black Feminist di Amerika dan Afrika Selatan.
Seberapa Pantas?
Saya sangat mendukung upaya March News men-de-demonisasi komunisme dan menyuguhkannya sebagai suatu konsep yang tidak jahat. Hal ini memang sangat diperlukan, dan harus dilakukan seintensif mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya, mengingat generasi terakhir korban demonisasi komunisme sudah mulai berguguran. Tapi apakah layak hal ini dilakukan dengan memasang muka opresor lain?
Ada orang yang berkomentar di video yang diunggah bahwa EH tetap layak berkomentar, mengingat beliau punya kompetensi di bidang itu. Well, Hitler juga punya kompetensi di bidang politik praktis, tapi apakah beliau masih pantas berkomentar soal politik praktis setelah Auschwitz? Meskipun dia sama sekali tidak menyebarkan ideologi anti-semitisnya dalam komentas tersebut? Mungkin iya, tapi secara etis kita tidak boleh memberikan dia panggung out of respect to the family of the victims.
Kita tidak bisa meminta para penyintas sejenak mengesampingkan pengalaman buruk mereka karena "beliau kompeten di bidangnya". Menurut saya ini argumen malas. Orang yang kompeten masih banyak dan bisa dicari dengan sedikit usaha.
Mungkin Fisipol UGM enggan sepenuhnya memutuskan hubungan dengan EH. Apabila anda sudah pernah menghabiskan waktu berdiskusi dengan beliau, pasti anda sadar kalau beliau adalah seorang akademisi brilian. Beliau adalah aset berharga untuk fakultas. Tapi seperti yang diungkapkan salah satu teman saya, dalam diskusi kami pagi ini.
"Apalah arti ilmu kalo yang memberi ilmu justru menjadi antitesis dari keilmuan itu sendiri?."
EH, dulu sempat mengajar mata kuliah Gender dan Politik, jadi ia pasti paham betul apa maksud diskriminasi terhadap perempuan dan pelecehan seksual. Despite that knowledge, dia membuat pilihan sadar untuk terus melakukan pelecehan terhadap mahasiswi-mahasiswinya.
Apakah ia masih pantas dianggap pendidik kalau begitu? Selama kita masih meng-glorifikasi kemampuan akademik dengan mengabaikan karakter, saya pikir kita masih punya masalah.
Kenapa?
Karena pelaku pelecehan seksual akan selalu menemukan bahwa masih ada orang yang akan menghargai dia, secara akademik maupun finansial, dan bahwa tidak ada konsekuensi nyata untuk tindakannya.
Dan hal inilah yang tidak bisa saya terima.
(Foto/ Ilustrasi)
*Cecilia Novarina, pekerja untuk isu gender. Tulisan ini merupakan upaya penulis dalam membantu advokasi korban pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.
Post a Comment