Menjadi Istri Yang Baik
Ika Ariyani - www.konde.co
“Menjadi istri yang baik itu adalah kewajiban dan tuntutan yang harus dijalani seorang anak perempuan setelah ia menikah. Tujuan akhir hidup seorang perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Sebanyak apapun kontribusimu bagi dunia, kalau kamu tidak menikah, kamu tetap saja nothing.”
Itulah kalimat yang sering saya dengar. Hmm..sebenarnya, dogma itu asalnya dari siapa ya?
Menjadi Istri yang “Baik”?
Menjadi istri yang baik versi normal itu bagaimana maksudnya? Bisa memasak, bisa beres-beres rumah, menanam bunga dan menata rumah, bisa memijat suami, rajin ikut arisan, disayang mertua, pintar atur keuangan, harus jaga kecantikan, telaten urus anak, rajin ibadah, plus sambil kerja nyari uang. Ini istri atau siluman sih?
Kalau seorang perempuan dibiarkan melakukan itu semua, kapan waktunya dia memikirkan diri sendiri? Sering (banget) temen-temenku yang sudah menikah, merasa bersalah saat mereka hang out bersama temannya di luar. Mereka takut dan ingin segera pulang karena tidak enak sama suami, apalagi kalau sudah punya anak.
Memangnya kenapa kalau perempuan bergaul setelah jam kerja? Memangnya perempuan itu seperti ayam, yang kalau mau maghrib harus masuk kandang? Kenapa suami kok bebas saja keluar rumah sampai tidak ingat waktu?(memang tidak semua sih).
Terlalu sibuk bekerja, mengurus rumah, belum lagi meladeni suami yang manja, akan membuat perempuan lelah dan tidak sempat lagi memikirkan dirinya sendiri, menjaga kesehatan bahkan merawat kecantikannya.
Dan yang lebih miris, seorang perempuan yang dulunya juara kelas, punya gelar sarjana bahkan master, memenangkan kejuaraan ini itu, harus menjadi istri yang ‘baik’, sehingga ia lupa mengembangkan dirinya sendiri, tidak sempat baca buku, tidak sempat merenung, tidak sempat diskusi, bahkan lupa apa impiannya, saking banyaknya tuntutan yang ditujukan kepadanya.
Akibatnya perlahan ia menjadi terlihat tua. Dan setelah begitu, suami malah menghinanya dan tebar pesona kepada perempuan lain yang lebih cantik dan smart. Tidak ingin suami pindah ke lain hati adalah ambisi satu-satunya dalam hidup. Sehingga istri melakukan apa saja supaya tampil cantik dan seksi.
Harus Menyenangkan Keluarga Besar?
Lalu apa gunanya seorang perempuan yang selalu dipuja puja saat masih tahap pacaran oleh pacarnya?, jika akhirnya setelah menikah ia akan diberi segudang tanggungjawab yang kadang melewati batas kemampuannya? Apalagi jika harus menurut pada keluarga besar yang sering menuntut banyak pada pasangan yang telah menikah.
Entah siapa yang membuat aturan jika menikah, juga harus ikut ‘menikahi’ keluarganya. Sehingga seorang perempuan yang masuk ke keluarga suami berhak dijadikan objek penilaian, apakah ia layak dipuji karena kualifikasinya sesuai selera keluarga, atau dicemooh karena tidak bisa seperti istri pada umumnya seperti rajin menyambangi mertua, dekat dengan saudara ipar, dsb. Pokoknya hidup adalah hanya tentang menyenangkan hati keluarga suami.
Banyaknya media yang menerangkan cara agar disayang suami, agar suami betah di rumah, cara menjadi istri yang baik, membuat saya heran. Ini sudah tahun 2017, dan tetap tidak ada bedanya dengan peran istri pada jaman dulu.
Berikan perempuan ruang untuk mencapai segala mimpinya. Hidup ini bukan hanya tentang kesuksesan seorang laki-laki atau suami saja. Mungkin para laki-laki ada yang mengkhawatirkan istrinya lebih hebat.
Setiap perempuan butuh dukungan, bukan hanya laki-laki saja yang butuh dukungan, perempuan akan selalu menyandarkan dirinya pada orang yang menyayanginya setulus hati. Ia takkan bisa hidup tanpa seseorang yang selalu ingin berkembang bersamanya.
Perempuan diciptakan bukan hanya untuk menjadi bayangan. Pernikahan jangan menjadi alasan untuk ‘menundukkan’ istri agar tidak ‘too much’ dalam mengembangkan dirinya dan seakan memprioritaskan urusan domestik rumah tangga menjadi bakti dan prestasi paling tinggi di mata masyarakat. Perempuan juga berhak untuk punya arti dalam kehidupannya tanpa terikat oleh batasan-batasan dalam pernikahan.
(Ika Ariyani, Saat ini sedang mempelajari Human Resource dan fakta sosial perempuan Indonesia. Sehari-hari tinggal di Surabaya, Jawa Timur)
Post a Comment