Aparat Merepresi Aksi Damai di Kedubes Arab Saudi
Estu Fanani- www.konde.co
Jakarta, Konde.co- Bulan Maret menjadi bulan anti diskriminasi bagi perempuan maupun kelompok marginal. Karena di bulan Maret ada beberapa tanggal penting diingat dan terus digaungkan untuk menghapuskan tindakan dan pikiran yang diskriminatif dan penuh kekerasan yang didasarkan pada jenis kelamin, disabilitas, orientasi, identitas dan ekspresi gender maupun kondisi sosial lainnya. Ada tanggal 1 Maret sebagai hari Nol Diskriminasi, 3 Maret sebagai hari Pendengaran Internasional, 8 Maret sebagai hari Perempuan Internasional, dan 9 Maret sebagai hari Ginjal Sedunia.
Foto: Komite Aksi IWD 2017 di Aksi Kamisan 2 Maret 2017 (Estu Fanani) |
Mendengar kata Arab Saudi, tentunya mengingatkan kita kembali pada begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM Buruh Migran Indonesia (BMI), khususnya perempuan. Tingginya angka Perempuan Buruh Migran (PBM) di Arab Saudi tidak lepas dari peran Indonesia yang “meng-ekspor” warga negaranya untuk mengisi kekosongan pasar kerja dunia sejak 1990an. Dilansir dari data Bank Indonesia (BI), jumlah BMI yang bekerja di Arab Saudi per akhir tahun 2014, sebelum kebijakan penghentian pengiriman, adalah sebanyak 1,01 Juta jiwa.Alasan lain, anggapan persamaan agama dan budaya dengan Indonesia juga menjadi salah satu factor pendorong PBM memilih Arab Saudi sebagai Negara tujuan untuk bekerja. Padahal faktanya, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami PBM terjadi karena basis agama dan budaya.
Namun, ternyata Komite Aksi Bersama Internasional Women’s Day dalam aksinya mendapatkan perlakuan represif dari Polisi dan Badan Intelijen Indonesia (BIN). Alih-alih dapat menyuarakan aspirasi mengenai kegelisahan akan nasib buruh migran Indonesia yang banyak mengalami penindasan di Arab Saudi, massa aksi justru mengalami represi, intimidasi yang berujung pada pembubaran serta penangkapan dan sejumlah kekerasan.
Padahal, penyuaraan terhadap apa yang menjadi aspirasi massa aksi tersebut menjadi sangat penting untuk dikemukakan, terlebih mengingat momentum kedatangan Raja Arab Saudi beserta rombongan sekaligus bagian dari rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional yang akan jatuh pada 8 Maret 2017 mendatang. Pasalnya, kondisi Buruh Migran Indonesia (BMI) yang mayoritas Perempuan Buruh Migran (PBM) yang bekerja di Arab Saudi tidak kunjung membaik.
Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai eksploitasi serta kriminalisasi yang terjadi terhadap mereka. Siksaan tanpa henti serta hukuman mati merupakan fakta resiko yang harus dihadapi oleh Buruh Migran Indonesia. Pemerintah Indonesia dengan kedatangan raja Salman saat ini seakan menutup mata terhadap fakta-fakta tersebut.
Kebijakan-kebijakan dan tindakan pemerintah cenderung reaktif dan parsial karena tidak menyentuh akar persoalan serta tidak memperhitungkan dampak sosial dan hukum yang ditimbulkan. Salah satunya, dikeluarkannya Kepmen 260/2015 yang melarang pengiriman TKI pada pengguna perseorangan di negara Timur Tengah justru berbuah pada terjadinya peningkatan perdagangan orang di Arab Saudi pada tahun 2015.
Seakan tidak mempunyai itikad baik untuk memperbaiki keadaan, kini pemerintah Indonesia mengadakan kerja sama dengan Arab Saudi tanpa me jadikan isu perlindungan BMI di Arab Saudi. Jelas hal ini harus dikecam mengingat masih masifnya pelanggaran hak dan kekerasan terhadap BMI/PBM di Arab Saudi.
Sayangnya, penyuaraan terhadap aspirasi tersebut nampaknya harus menemui pembungkaman. Massa aksi yang mulai berkumpul di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan sekitar pukul 13.31 WIB, langsung dihadang oleh pihak kepolisian. Tak lama setelahnya, sekitar pukul 13.35 WIB, dengan dalih mengganggu kepentingan umum, aparat kepolisian mulai melakukan intimidasi dengan membentak serta mendorong paksa yang tidak mau meninggalkan lokasi uunjuk rasa.
Seakan tidak puas dengan hanya membentak dan mendorong massa, aparat kepolisian mulai menyeret secara paksa sekitar 12 orang massa aksi kedalam kendaraan panser dengan rencana untuk membawa seluruh pihak yang ditangkap ke Polda Metro Jaya guna pemeriksaan lebih lanjut. Adapun diantara massa aksi yang ditangkap tersebut antara lain adalah Hari dan Bobi dari SBMI. Setelahnya, sekitar pukul 13.45 WIB, aparat kepolisian kembali memerintahkan agar massa aksi yang tersisa membubarkan diri sambil mendorong mereka ke belakang gedung wisma Bakrie.
Seakan tidak puas dengan hanya membentak dan mendorong massa, aparat kepolisian mulai menyeret secara paksa sekitar 12 orang massa aksi kedalam kendaraan panser dengan rencana untuk membawa seluruh pihak yang ditangkap ke Polda Metro Jaya guna pemeriksaan lebih lanjut. Adapun diantara massa aksi yang ditangkap tersebut antara lain adalah Hari dan Bobi dari SBMI. Setelahnya, sekitar pukul 13.45 WIB, aparat kepolisian kembali memerintahkan agar massa aksi yang tersisa membubarkan diri sambil mendorong mereka ke belakang gedung wisma Bakrie.
Kendati massa aksi yang ditangkap kemudian telah dilepaskan pada pukul 14.40 sebelum sempat diangkut ke Polda Metro Jaya menyusul adanya negosiasi dengan juru bicara dari massa aksi, namun peristiwa pada hari ini merupakan cerminan bagaimana negara kembali gagal dalam menjamin pemenuhan hak fundamental bagi setiap orang untuk menyuarakan aspirasinya. Bagaimana tidak, dengan mengatasnamakan “kepentingan umum” yang dalam hal ini tidak jelas ukuran serta batasannya, aparat penegak hukum melakukan tindakan-tindakan represif yang secara jelas bertentangan dengan jaminan perlindungan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi.
Padahal, massa aksi sudah secara teliti menentukan lokasi unjuk rasa pada Kedutaan Besar Arab Saudi agar tidak mengganggu kedatangan tamu negara yakni Raja Salman yang rencananya pada hari ini akan berkunjung ke gedung DPR-RI. Sehingga dalih “kepentingan umum” yang didengung-dengungkan oleh aparat sejatinya berada jauh diluar konteksnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan-tindakan represif berupa penangkapan dan pembubaran seperti yang terjadi siang tadi. Tindakan aparat Kepolisian jelas merupakan pelanggaran atas hak kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum dan pelanggaran hak konstitusi.
Padahal, massa aksi sudah secara teliti menentukan lokasi unjuk rasa pada Kedutaan Besar Arab Saudi agar tidak mengganggu kedatangan tamu negara yakni Raja Salman yang rencananya pada hari ini akan berkunjung ke gedung DPR-RI. Sehingga dalih “kepentingan umum” yang didengung-dengungkan oleh aparat sejatinya berada jauh diluar konteksnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan-tindakan represif berupa penangkapan dan pembubaran seperti yang terjadi siang tadi. Tindakan aparat Kepolisian jelas merupakan pelanggaran atas hak kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum dan pelanggaran hak konstitusi.
Bahkan 3 hari menjelang aksi, aparat sudah menunjukkan sikap represifnya. Beberapa anggota Komite Aksi, yakni Serikat Buruh Migran Indonesia Cabang Indramayu didatangi BIN dan Polisi yang meminta SBMI menangguhkan aksinya. Bahkan di hari berikutnya (H-2) terjadi penyisiran ke rumah-rumah keluarga buruh migran Indonesia (BMI) yang akan datang aksi ke Jakarta. Aparat melakukan intimidasi kepada ibu-ibu dan perempuan keluarga BMI. Bahkan aparat terus berjaga sehingga 4 bus yang direncanakan untuk berangkat ke Jakarta dibatalkan. Desakan untuk memindahkan tempat aksi ke Kementerian Tenaga Kerja juga dilakukan oleh aparat.
Dalam konferensi pers yang dilakukan setelah aksi (2/3), Komite Aksi Bersama IWD 2017 menyatakan bahwa meskipun kebebasan mengeluarkan pendapat dan ekspresi telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM, Pasal 2 ayat (1) UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya, namun pada praktiknya negara selaku pengemban kewajiban pemenuhan HAM justru menjadi pihak yang seringkali melakukan pelanggaran. Dan pembubaran serta tindakan represi pada aksi di Kedubes Arab Saudi menjadi salah satu contohnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, Komite Aksi Bersama International Women’s Day 2017 mengecam tindakan pembubaran yang disertai dengan penangkapan serta kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polda Metro Jaya terhadap massa gabungan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Perempuan (SP) dan LBH Jakarta,karena merupakan pelanggaran terhadap jaminan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi.
Koalisi Aksi Bersama International Women’s Day 2017 meminta Presiden R.I. untuk menjadikan peningkatan perlindungan Buruh Migran Indonesia di Arab Saudi sebagai salah satu bentuk kerja sama dengan Raja Arab Saudi; meminta Presiden R.I. untuk meminta Raja Arab Saudi membebaskan BMI yang menjadi korban kriminalisasi; dan meminta Kapolda Metro Jaya untuk menindak tegas oknum kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap massa aksi.
Post a Comment