Kalimat yang Menyesatkan: Bapak Bekerja di Kantor dan Ibu Memasak di Rumah
Kalimat “Bapak Kerja di Kantor dan Ibu Memasak di Rumah” ini sudah sering saya dengar ketika sekolah SD. Di dalam bacaan-bacaan Bahasa Indonesia, kalimat ini sering saya baca. Namun justru inilah yang membuat konstruksi berpikir kita tentang laki-laki dan perempuan sulit untuk berubah di kemudian hari.
*Aprelia Amanda dan Luviana- www.Konde.co
Buat saya ini adalah kalimat yang sangat menyesatkan. Bagaimana jika saya sudah tersesat dari saya kecil? Apa yang terjadi jika semua orang tersesat dan menganggap ini sebagai sebuah kebenaran? Apakah buku-buku bacaan ini mau bertanggungjawab ketika saya dan teman-teman saya ikut tersesat?
Sejak itulah anak-anak kemudian dibentuk untuk setuju dengan kalimat ini. Bahwa bapak adalah orang yang harus bekerja di kantor dan ibu harus bekerja di rumah.
Kalimat lain yang masih ada dalam buku bacaan SD sampai sekarang adalah kalimat:
“Ayah adalah kepala keluarga”
“Keluarga terdiri ayah, ibu dan anak”
Saya selalu tergelitik untuk bertanya soal ini pada keponakan atau anak yang masih SD,” Jika ayah adalah kepala keluarga, bagaimana jika ayah meninggal dan ibu yang memimpin keluarga? Apakah ibu tidak diakui sebagai kepala keluarga?”
Lalu, “Jika ada nenek, kakek, saudara, pekerja rumah tangga atau teman dan banyak relasi lain ada di rumah, apakah ini tidak dianggap sebagai keluarga?”
Kalimat ini menyadarkan saya ketika saya ikut dalam diskusi dengan topik feminisme dan pendidikan dengan pembicara Wulan Danoekoesoema, Ummanabiegh Ismail Julia dan Angie di acara Feminist Festival yang diadakan Jakarta Feminist Discussion Group, 23 November 2019 di Jakarta.
Beberapa pembicara di topik feminisme dan pendidikan yang datang waktu itu memulai diskusi dengan sharing soal ini. Dan ternyata banyak sekali yang mengalami hal yang sama ketika di SD.
Sering kita menerima buku bacaan yang kita tidak setuju, tapi apa mau dikata? Saya berpikir, sepertinya itu karena usia saya yang masih kecil membuat kita sering menelan mentah-mentah hal yang tidak kita setujui.
Jika mendapatkan guru yang membuka ruang untuk berdiskusi, ini akan menjadi diskusi yang menarik. Namun jika mendapatkan guru yang tertutup, ini akan menjadi dogma dan bahkan stigma tentang ibu yang baik adalah ibu yang hanya memasak di rumah.
Padahal ibu yang memasak dan bekerja di rumahpun tak kalah sibuk, kerja keras seharian dan tidak pernah diberikan gaji. Namun dengan kalimat yang simplisistik tersebut membuat banyak orang salah mengerti tentang kalimat yang seolah mentakdirkan tentang keberadaan ibu.
Kalimat-kalimat seperti ini juga tidak pernah berubah dalam waktu yang cukup lama, bahkan beberapa masih terjadi sampai sekarang. Tidak ada pertukaran peran atau ruang baru untuk memberikan kalimat yang berbeda.
Buku bacaan adalah salah satu hal yang memperngaruhi kita semua untuk berpikir. Jika bacannya kritis dan terbuka, maka ini akan membuat pembaca bisa berpikir kritis. Namun jika tidak ini akan menjadi bacaan yang menyesatkan.
Lalu, mari kita tengok tentang apa itu makna literasi?. www.Konde.co pernah menuliskan tentang literasi perempuan.
Literasi atau melek media yaitu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi digunakan untuk membaca secara kritis. Literasi lahir karena seringkali ada banyak bacaan digunakan untuk mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas.
Dalam Maggie Humm, Dictionary Feminist Theory, Feminis Charlotte Bunch kemudian mendeskripsikan tentang politik feminis mengenai apa itu literasi media bagi perempuan:
1. Literasi media merupakan sarana untuk menyampaikan gagasan dan informasi
2. Literasi merupakan akses perempuan terhadap interpretasi realitas untuk meningkatkan kapasitas pemikiran.
3. Sekaligus tindakan ketidaktaatan terhadap norma-norma budaya dan persepsi alternatif untuk bertindak secara politik
Bagi feminis, literasi kemudian digunakan sebagai kritik untuk melihat naskah-naskah yang patriarkhi dan tidak berpihak pada perempuan.
Kritik sastra feminis misalnya digunakan untuk mendekonstruksi politik patriarkhi yang sebagaimana sering direpresentasikan dalam tulisan-tulisan atau bahasa yang misoginis atau membenci perempuan.
Jadi mari kita kritisi kalimat-kalimat yang menyesatkan pandangan kita tentang perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Aprelia Amanda dan Luviana, tulisan ini merupakan kerjasama Konde.co dan Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) dalam acara Feminist Festival 2019.
Post a Comment