agama dan kebebasan
Pagi ini berseliweran di wall facebook saya soal suku Baduy yang tidak
memilik KTP karena agamanya Sunda wiwitan sehingga tidak termasuk dalam Agama
yang ada di Indonesia. Masyarakat Baduy tidak ingin kolom agama pada KTP mereka
diisi dengan agama lain yang bukan keyakinan mereka. Yang menarik adalah komen
salah satu dari penduduk suku Baduy, “Anda yang Islam apa mau kolom agamanya di
isi dengan agama Kristen atau Budha?
Cerita ini mengingatkan pengalaman keluarga kami.
Kakek saya adalah salah satu pendiri tempat Ibadah Klenteng Kampung Dukuh
Surabaya. Kami sekeluarga selalu pergi sembayang disana. Ketika SD saya tidak
mengikuti pelajaran agama karena di sekolah negeri saya tidak ada pelajaran
agama Khonghucu. Lalu ketika masuk SMP swasta ada pelajaran agama Khonghucu
tetapi itu tidak lama, begitu naik kelas 2 SMP, Agama Khonghucu dilarang. Di
sekolah saya diminta memilih 5 agama yang ada. Saya memilih agama Katolik,
Kakak saya memilih agama Kristen dan kedua orang tua saya memilih agama Budha.
Mereka semua harus mengganti KTP mereka dengan agama baru.
Klenteng Kampung Dukuh dilarang melakukan keramaian dan mereka harus
mengganti namanya menjadi Vihara. Saya masih ingat di Klenteng Kampung Dukuh
ada perayaan mengarak dewa dari Kampung Dukuh sampai jalan Kembang Jepun.
Diikuti tabuhan barongsai dan iring-iringan orang sembayang. Ketika sembayang
pia ada lelang pia yang hasilnya untuk renovasi klenteng dan menyumbang ke
fakir miskin. Semua kegiatan itu dilarang bahkan acara sembayang leluhur di
rumah dibatasi.
Yang lebih repot ketika ada yang menikah. Salah satu persyaratan untuk
menikah adalah membawa surat pengantar atau keterangan dari gereja, vihara atau
pura. Sepupu saya yang agamanya hanya untuk KTP bingung mencari Vihara atau
gereja yang mau memberikan surat keterangan untuk menikah. Akhirnya banyak yang
memilih menikah di klenteng lalu pesta mengundang sanak saudara dan kerabat.
Tetapi pernikahan itu tidak sah secara hukum karena tidak dicatatkan di catatan
sipil. Dampak dari tidak memiliki surat nikah, ketika para perempuan melahirkan
anak, anaknya menjadi anak diluar nikah secara akte kelahiran. Ini menimbulkan
stigma baru yang seakan-akan anak mereka adalah anak haram lahir tanpa suami.
Kami warga keturunan Tionghoa tidak punya keberanian seperti suku Baduy
yang menolak memilih agama yang ada dan tidak ber-KTP. Karena itu akan membuat
kami dituduh sebagai komunis atau atheis dan bisa disangkutkan dengan PKI. Tahun
baru imlek juga harus dilakukan dengan diam-diam tidak boleh ada perayaan atau
sembayang yang meriah di klenteng-klenteng. Semua harus dilakukan dengan diam
dan tanpa keramaian.
Sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), kami kembali
boleh melakukan upacara sembayang dan agama Khonghucu diperbolehkan. Tetapi
sayang, Orang-orang yang asalanya beragama khonghucu akhirnya berpindah agama
atau malas mengurus kembali KTP yang sudah terlanjur diisi agama lain.
Kebijakan ini juga tidak diikuti dengan pelajaran pendidikan agama di
sekolah-sekolah. Sehingga banyak generasi muda dari keturunan Tionghoa
meninggalkan tradisi sembayang di klenteng atau tradisi sembayang leluhur.
Agama yang seharusnya mengenai keyakinan dan keimanan seseorang berubah
menjadi sesuatu yang rumit di Indonesia. Begitu banyak aliran kepercayaan
terhadap Tuhan di Indonesia dan itu adalah agama asli yang dilakukan secara
turun menurun. Kebebasan Agama tidak lagi bebas memilih keimanan seseorang.
Mereka bebas memilih agama asal sesuai dengan Agama yang ada. Agama bukanlah
pemenuhan rasa spiritual seseorang tetapi menjadi suatu kewajiban beragama
untuk negara.
Kata Mama saya tidak penting apa agamamu dalam KTP, Bagaimana kamu
bersembayang, yang penting kamu percaya pada Tuhan dan selalu berdoa, berbuat
baik kepada orang lain, berbakti kepada orang tua, cinta terhadap keluarga maka
kamu akan mempunyai karma yang baik dan hidupmu menjadi tenang. Perilaku
seseorang bukan ditentukan oleh apa agamanya tetapi bagaimana dia berbuat baik
dan berguna untuk orang lain dan negaranya.
Post a Comment