Menjadi Pemimpin Perempuan Di Saat Muda
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Siapa yang takut menjadi pemimpin di saat muda? Tantangan inilah yang kemudian menjadikan para perempuan muda yang tergabung dalam Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM) menjadi membesar, baik dari jumlah maupun persebarannya. Tantangan untuk menjadi pemimpin perempuan muda.
Didirikan di tahun 2012 di Indonesia, jaringan FAMM kini telah beranggotakan lebih dari 350 perempuan muda dari 30 provinsi di Indonesia.
FAMM kemudian menyatukan aktivis pedesaan, perkotaan, masyarakat adat, muslim, kristen dan Lesbian, Biseksual, Transgender dan (LBTI). FAMM dan anggotanya juga mengatasi masalah yang beresiko dan sensitif, seperti mempertahankan lahan dan air, sensitif terhadap “pembangunan” yang merusak lingkungan, memperjuangkan hak untuk perempuan dan juga keamanan pribadi.
FAMM juga berjuang atas tertutupnya ruang bagi masyarakat sipil, meningkatnya fundamentalisme agama dan kekerasan. Untuk inilah para perempuan muda ini berorganisasi.
Awalnya bernama JASS Indonesia. Kemudian berganti nama menjadi FAMM di tahun 2012, kelompok ini kemudian berevolusi dari proses gerakan feminis yang difasilitasi JASS Asia Tenggara.
JASS sendiri adalah jaringan dari gerakan feminis muda yang sejak tahun 2002 telah lahir, dan kemudian mulai melebarkan jaringannya di Amerika Latin, Afrika selatan dan kemudian Asia Tenggara.
Nani Zulminarni, ketua PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) yang merupakan salah satu mentor di JASS menyatakan bahwa anak-anak muda di FAMM kemudian telah mengembangkan kesadaran kritis dan kepercayaan diri sebagai perempuan muda. Nani Zulminarni menyatakan hal ini dalam launching buku FAMM yang berjudul “Solidarity, Safety and Power” di Jakarta, 10 Agustus 2018 lalu.
“Kepercayaan diri para perempuan muda ini sangat penting untuk mengembangkan kepemimpinan politik dan aksi kolektif perempuan,” kata Nani Zulminarni.
FAMM kemudian juga merawat organisasi dan individu para perempuan muda di pedesaan. Dampak sebagai anggota FAMM ini juga ditunjukkan oleh beberapa anggota FAMM yang hadir dalam acara. Mereka terlibat dalam organisasi, komunitas dan gerakan yang transformatif.
“Perubahan harus dimulai dari hal-hal yang berdampak, salah satunya dari para perempuan muda dengan metode pendekatan populer.”
Maka kemudian FAMM dan JASS berinisiatif membuat situs www.werise-toolkit.org dimana disana terdapat tulisan tentang perempuan, cerita perempuan yang semuanya adalah untuk pembelajaran perempuan muda.
Almida Karim dari FAMM Indonesia menyatakan bahwa dengan situs ini maka para perempuan bisa bercerita dan belajar tentang perempuan dengan cara populer. Selain membaca, mereka juga menulis dan berproses bersama.
Buku yang diluncurkannya hari itu bercerita tentang bagaimana para perempuan muda ini bertemu dan membentuk gerakan solidaritas perempuan muda. Di Indonesia, FAMM kemudian juga tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Maluku dan Papua. Mereka belajar memberikan kekuatan dan solidaritas bagi para perempuan muda lainnya.
Selama ini FAMM juga bekerja untuk mempengaruhi politik lokal di daerah agar berperspektif perempuan dan LBTI. Mereka menggunakan cara-cara populer untuk memberikan masukan seperti berdiskusi secara partisipatoris dan menulis.
Almida Karim menyatakan, dengan membaca buku ini, kita bisa belajar pengalaman-pengalaman advokasi para perempuan muda di Indonesia.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment