Bagaimana Memperjuangkan Pegawai Perempuan dalam Lembaga Birokrasi?
"Mengapa representasi perempuan dalam birokrasi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan diperjuangkan? Sebab pada dasarnya, peran birokrasi tidak hanya tentang tetek-bengek administrasi, melainkan memiliki peran penting yang mendominasi kehidupan sosial masyarakat atau dengan kata lain, birokrasi adalah cerminan masyarakat."
*Shofin Azimah Qolbi- www.Konde.co
Pusat Kajian Politik FISIP UI pada tahun 2011 melakukan penelitian pemetaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan di 34 Kementerian di Indonesia.
Hasilnya, secara kuantitatif, jumlah pegawai negeri yang menempati peran dan posisi strategis dalam mengeksekusi kebijakan kebanyakan adalah laki-laki (22.681 orang) dibandingkan perempuan (6.540 orang).
Jika dilihat dari persebaran jumlah laki-laki dan perempuan di Koordinator Kementerian (2011), jumlah perempuan secara kuantitatif maupun kualitatif, masih terbilang rendah. Meskipun dari tahun ke tahun jumlah perempuan di PNS mengalami peningkatan, namun jumlahnya masih belum mencapai kesetaraan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia birokrasi, perempuan masih belum terepresentasikan dengan setara.
Mungkin otoritas kebijakan memang banyak terpusat di tingkat legislatif dan eksekutif, namun kita juga perlu sadar bahwa birokratlah yang pada praktiknya menjalankan kebijakan tersebut. Sehingga sebagaimana representasi perempuan pada parlemen, pada lembaga birokrasi, representasi juga harus merefleksikan demografi yang merupakan representasi bangsa sehingga akan terlihat nilai-nilai yang sama dengan masyarakatnya (Naff & Thomas, 1994).
Jika dibiarkan, komposisi di birokrasi yang terlalu didominasi oleh satu kelompok akan ada terus dan menghasilkan kecenderungan marginalisasi terhadap kelompok-kelompok lainnya.
Simpelnya, coba bayangkan jika suatu kantor lembaga birokrasi di Indonesia diisi oleh terlalu banyak pegawai laki-laki. Apa situasi yang kemungkinan terjadi? Bisa saja warga perempuan yang datang ke kantor tersebut untuk mendapat layanan publik, tidak terlayani dengan baik atau pegawai perempuan yang berjumlah kecil di dalamnya kerap mengalami perlakuan diskriminatif dari lingkungan kerjanya yang patriarkal.
Terdapat banyak kritik akademisi mengenai perempuan dan birokrasi, di antaranya adalah bahwa birokrasi memang merupakan tempat di mana perempuan (tetap) diletakkan sebagai subordinat, sebagai kalangan yang kontribusinya tidak begitu berarti (Stivers, 2002).
Selain itu, birokrasi juga dikritik memiliki sifat yang kental dengan stereotipe maskulin pada pegawainya, yang mana pegawai-pegawai yang terpilih adalah mereka yang mampu bekerja dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada ruang publik (Acker, 1990). Kritik-kritik ini menandakan bahwa birokrasi merupakan dunia kerja yang kental dengan segregasi gender.
Segregasi gender biasanya terlihat pada bentuk peraturan yang diskiminatif dalam isu yang berkaitan dengan kesempatan kerja, promosi kerja, sistem penggajian, penghargaan, hingga bonus dan pensiun (Shiozawa & Hiroki, 1988).
Salah satu cara untuk mencapai representasi perempuan yang substansial di birokrasi adalah dengan memadukan konsep perempuan (female) dan birokrasi (bureaucrat) atau yang lebih dikenal dengan femocrat.
Konsep femocrat merujuk pada situasi di mana perempuan yang berada dalam birokrasi—baik sebagai pegawai negeri atau bukan—memiliki kemampuan menangani isu-isu perempuan yang ada di dalamnya (Gouws, 1996).
Keterlibatan perempuan di birokrasi harus dimaknai lebih dari sekadar jumlah, melainkan sejauh mana perempuan mampu memasukkan agenda pengarusutamaan gender dalam lembaga birokrasi. Pengarusutamaan gender sendiri merupakan strategi rasional dan sistematis untuk dapat mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan manusia (Subono, 2012).
Sebagai upaya dalam mencapai kesetaraan dalam birokrasi, terdapat dua jenis intervensi yang dapat dilakukan oleh para perempuan yang terlibat di dalamnya, yaitu secara individual dan struktural (Eisenstein, 1991).
Intervensi Individual dan Struktural
Intervensi individual dilakukan dengan cara perempuan sebagai aktor dalam birokrasi menggunakan perspektif feminis sebagai identitas dirinya dalam tingkat pengambilan kebijakan.
Dengan mengidentifikasi diri sebagai feminis, maka para perempuan dalam birokrat dapat menjadi seorang femocrat yang memperjuangkan hak dan isu-isu perempuan, dalam artian eksistensi mereka sudah masuk ke tingkat yang esensial.
Sedangkan intervensi struktural berarti perempuan mampu mencipatakan sebuah struktur baru dalam birokrasi yang bertujuan untuk memberikan keuntungan pada perempuan dan dapat menghasilkan kebijakan yang ramah perempuan (women friendly policy). Contoh intervensi perempuan secara struktural dalam sebuah birokrasi adalah adanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Reformasi birokrasi di Indonesia perlu dikawal dengan baik agar tercipta atmosfer aparatur yang ramah perempuan dan tak lagi patriarkis. Salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam birokrasi tanpa mencederai sistem merit yang ada adalah dengan melakukan blind recruitment.
Blind recruitment atau ‘rekrutmen buta’ adalah sebuah strategi rekrutmen di mana para rekruter tidak bisa melihat gender dari para kandidat pada saat seleksi kerja. Hal ini bertujuan untuk mengeliminasi perilaku seksisme atau bias gender dari para rekruter pada saat melakukan seleksi. Studi oleh salah satu peneliti Harvard dan Princeton menemukan bahwa blind recruitment meningkatkan kesempatan perempuan untuk direkrut hingga 25 – 46 persen.
Blind Recruitment di Australia
Salah satu negara yang sudah mencoba blind recruitment adalah Australia. Dalam praktiknya, para calon pegawai birokrat Australia yang hendak melamar diimbau untuk mengisi kolom gender dan etnis pada curriculum vitae mereka dengan tanda setrip.
Asumsi dari percobaan ini adalah meningkatnya jumlah pegawai perempuan yang direkrut melalui sistem merit yang ada. Terlepas dari statistik yang menunjukkan keberhasilan metode ini di beberapa tempat—seperti Australia Bureau of Statistic yang berhasil mendapat pejabat perempuan dua kali lipat lebih banyak melalui blind recruitment—metode ini berjalan bukan tanpa cacat sama sekali, sebab gender kandidat masih bisa diasumsikan melalui nama yang tertera.
Di Silicon Valley, seorang pengusaha bernama Kedar Iyer membuat software bernama GapJumpers yang berprinsip sama yaitu mereduksi bias yang tidak disadari (unconscious bias) pada saat rekrutmen pegawai dengan menghilangkan kolom nama, foto wajah, dan informasi personal selama proses rekrutmen. GapJumpers pun berhasil meningkatkan kesempatan kelompok marginal (termasuk perempuan) untuk diterima kerja hingga 40 persen (Feldmann, 2018).
Metode blind recruitment patut dicoba dalam rekrutmen PNS di Indonesia. Hal ini berguna untuk meminimalisasi kecurangan rekrutmen “orang dalam” yang sudah menjadi rahasia umum. Reformasi birokrasi perlu dimaknai sebagai perubahan yang tidak hanya dalam tataran praktis, melainkan esensial. Esensial dalam hal ini adalah bagaimana birokrasi sebagai aktor besar kehidupan masyarakat mampu menghasilkan kebijakan yang pro perempuan. Untuk mencapai titik itu, perlu ada perubahan pola pikir dari pemerintah, aparatur dan masyarakat untuk mampu menghadirkan perempuan dengan kompetensi dan jumlah yang setara dengan laki-laki.
Pola pikir yang harus diterapkan tidak lain dan tidak bukan adalah perspektif feminisme yang berprinsip pada kesetaraan dan keadilan gender.
*Shofin Azimah Qolbi, Mahasiswi Ilmu Politik UI 2015
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Referensi:
Acker, J. (1990). Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory of Gendered Organizations. Gender and Society, 139-158.
Eisenstein, H. (1991). Gender Shock: Practicising Feminism on Two Continents. Boston: Beacon.
Feldmann, J. (2018, April 3). Forbes.com. Diakses melalui Forbes: https://www.forbes.com/sites/forbeshumanresourcescouncil/2018/04/03/the-benefits-and-shortcomings-of-blind-hiring-in-the-recruitment-process/#281f207638a3 pada 20 November 2018 pukul 22:32
Gouws, A. (1996). The Rise of the Femocrat. Agenda No. 30, 31-43.
Naff, K., & Thomas, S. (1994). The Glass Ceiling Revisited: Determinants of Federal Job Advancement. Policy Studies Review 13, 249-269.
Shiozawa, M., & Hiroki, M. (1988). Discrimination Against Women Workers in Japan. Japan: Asian Women Workers' Center.
Stivers, C. (2002). Gender Images in Public Administration: Legitimacy and the Administrative State. California: SAGE Publications.
Subono, N. I. (2012). Femocrat: Kritik Feminis dan Representasi Birokrasi. Jurnal Perempuan, 17:24, 7-18.
Post a Comment