Dalam Prostitusi Online, Mengapa Perempuan yang Selalu Disalahkan?
Melly Setyawati- www.Konde.co
Dari dulu, jika ada kasus prostitusi, yang selalu disalahkan adalah perempuan. Yang selalu diarak dan kemudian dimunculkan oleh media terutama televisi adalah perempuan.
Banyak aktivis perempuan dalam social media kemudian menggugat ini: dimana lelaki hidung belang yang menggunakan jasa perempuan? Mengapa mereka tidak pernah ditulis, tidak pernah dipertanyakan apa yang telah dilakukannya?
Komnas Perempuan mendapatkan berbagai pengaduan dari masyarakat tentang maraknya pemberitaan prostitusi online yang terjadi khususnya yang melibatkan artis.
Protes masyarakat menyatakan bahwa pemberitaan yang terjadi sangat sewenang-wenang dan tidak mempertimbangkan pihak perempuan yang terduga sebagai korban beserta keluarganya. Selain nama, wajah juga disebutkan keluarga mereka.
Komnas Perempuan telah melakukan sejumlah pemantauan dan pendokumentasian tentang berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang berhubungan dengan industri prostitusi atau perempuan yang dilacurkan (Pedila).
Mereka adalah perempuan korban perdagangan orang, perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual. Sekalipun dalam level artis, kerentanan itu kerap terjadi.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyatakan bahwa dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini semakin kompleks.
“Prostitusi Online kami khawatirkan sebagai bentuk perpindahan dan perluasan lokus dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal cyber crime yang berbasis kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus revenge porn (balas dendam bernuansa pornografi) yang dapat berupa distribusi image atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan.
Selain itu, perlu ada kajian mendalam karena tidak sedikit yang menjadi korban femicide atau seseorang dibunuh karena dia adalah seorang perempuan atau mengalami kematian gradual karena kerusakan alat reproduksi.
Karenanya Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa prostitusi adalah kekerasan terhadap perempuan, namun Komnas Perempuan menentang kriminalisasi yang menyasar pada perempuan yang dilacurkan.
Komnas Perempuan telah melakukan analisa pada sejumlah media yang telah melanggar kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban. Dalam analisa media tersebut, masih banyak media yang saat memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada korban.
Komnas Perempuan menyayangkan ekspos yang berlebihan pada perempuan (korban) prostitusi online, sehingga besarnya pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru berjalan
Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban ‘pantas’ menjadi korban kekerasan dan pantas untuk dihakimi.
Mariana menyatakan bahwa dengan adanya kasus yang makin marak ini Komnas Perempuan meminta agar penegak hukum berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi online yang dilakukan, agar pihak media tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini artis yang diduga terlibat dalam prostitusi online.
“Kemudian agar media menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan, agar masyarakat tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan korban ekspoitasi industri hiburan dan mengajak semua pihak untuk kritis dan mencari akar persoalan, bahwa kasus prostitusi online hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual dimana banyak perempuan ditipu, diperjualbelikan, tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi "pekerja seks" sehingga mereka rentan dipidana/ dikriminalisasi.”
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment