Perempuan lebih rentan jadi korban bencana alam. Apa yang bisa dilakukan?
Lidwina Inge Nurtjahyo, Universitas Indonesia
Pada tahun 2018, Indonesia dilanda berbagai bencana. Mulai dari letusan gunung berapi di Bali, gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, gempa yang berujung tsunami di Palu, Sulawesi Tengah hingga tsunami yang melanda daerah sekitar Selat Sunda akibat letusan gunung Anak Krakatau.
Bencana tersebut menimbulkan banyak korban. Dari korban tersebut, banyak di antaranya adalah perempuan.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding pria dewasa. Hal ini disebabkan karena naluri perempuan yang ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya, sehingga seringkali membuat mereka mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Seminar Nasional Pendidikan Waspada Bencana Alam bagi Perempuan dan Anak di Universitas Indonesia (UI) baru-baru ini menyimpulkan setidaknya ada tiga alasan mengapa perempuan rentan menjadi korban bencana alam. Tulisan berusaha mengelaborasi alasan tersebut dan menyoroti pentingnya manajemen pendidikan bencana yang bisa diakses perempuan.
Data berbicara
Perempuan adalah kelompok rentan dalam masyarakat, terutama saat bencana alam terjadi. Sosiolog Elaine Enarson menyatakan dalam tulisannya bahwa korban terbanyak dalam bencana alam adalah perempuan. Perempuan menjadi korban terbanyak karena mendahulukan keselamatan anggota keluarganya.
Data yang ada menunjukkan kecenderungan yang serupa. Pada bencana tsunami di Aceh 2004, data menunjukkan sebanyak 55-70% korban meninggal adalah perempuan.
Kerentanan perempuan dalam bencana juga terjadi pada skala global. Perempuan pun menjadi korban terbanyak dalam bencana gelombang panas di Prancis pada 2003, yaitu 70% dari 15.000 korban meninggal. Korban badai Katrina di Amerika Serikat adalah mayoritas perempuan miskin Amerika keturunan Afrika.
Mengapa perempuan rentan?
Tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban bencana alam disebabkan beberapa hal.
Pertama, adanya konstruksi nilai dalam masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih dahulu menyelamatkan anggota keluarganya.
Kedua, perempuan sering tidak dapat hadir dalam latihan penyelamatan diri dari kondisi bencana alam. Hal itu terjadi karena konstruksi nilai budaya di mana perempuan fokus pada urusan domestik sehingga jarang bisa keluar rumah untuk mengikuti pelatihan.
Ketiga, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana membuat pengetahuan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Pengetahuan yang terbatas soal teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana alam.
Keempat, ada faktor memudarnya pengetahuan lokal dalam masyarakat tentang pengenalan gejala awal bencana alam. Dan perempuan sebagai kelompok dengan akses yang minim terhadap penyebaran pengetahuan menjadi rentan.
Pengetahuan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan dari leluhur untuk melihat perubahan alam yang bisa menandakan terjadinya bencana alam. Misalnya di Papua Nugini, masyarakat belajar ‘membaca’ awan. Apabila awan itu mengalami perubahan tekstur, warna, arah, kecepatan berpindah, maka hal tersebut dapat dibaca sebagai potensi badai.
Dalam seminar di UI juga diungkapkan bagaimana masyarakat di Bali bisa mengetahui pertanda gunung meletus dari gerombolan binatang yang turun dari hutan di gunung.
Pengetahuan tentang menjaga alam dan membaca gejala alam inilah yang sudah semakin tidak dipahami lagi oleh sebagian besar masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan.
Solusi yang ditawarkan
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam seminar tersebut adalah memberikan pendidikan kewaspadaan terhadap bencana. Tentu saja yang mudah diakses oleh perempuan.
Salah satu ahli manajemen bencana alam yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut, Eko Teguh Paripurno, mengatakan bahwa pengetahuan lokal tentang bencana itu sangat penting. Pengetahuan lokal tentang bencana adalah seperangkat informasi yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang cara membaca gejala alam. Terjadinya gejala tertentu pada alam diwaspadai sebagai pertanda akan terjadi bencana.
Antropolog dari Universitas Indonesia Mia Siscawati menjelaskan bahwa perempuan sering tidak dapat hadir pada penyuluhan oleh pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang bencana karena harus mengurusi anak dan rumah.
Menurut Mia, hal tersebut disebabkan karena adanya persepsi pembagian kerja yang bersifat dikotomis antara sektor publik (laki-laki) dan domestik (perempuan) yang pada akhirnya membuat perempuan mengalami hambatan mengakses pengetahuan atau fasilitas yang berada di ranah publik: sekolah, pekerjaan di sektor publik, informasi hukum, termasuk akses pengetahuan tentang tanggap darurat bencana. Keterbatasan pengetahuan perempuan tentang bencana mengurangi kesigapan dan menjadikan mereka kelompok yang rentan.
Mia menambahkan bahwa selain keterbatasan pengetahuan perempuan tentang bencana, nilai-nilai budaya patriarki juga membuat perempuan lebih rentan. Misalnya ada nilai budaya yang sering melarang perempuan melakukan aktivitas fisik (berenang, lari, memanjat) di alam terbuka. Hal ini tentu saja menyulitkan perempuan ketika menyelamatkan diri saat bencana.
Apa yang bisa dilakukan
Salah satu upaya mengurangi potensi kerugian harta benda dan korban jiwa adalah dengan memberikan pendidikan waspada bencana ke setiap lapisan masyarakat, termasuk perempuan. Dalam buku sakunya, BNBP menjelaskan pendidikan itu termasuk memberikan pengetahuan tentang kemampuan mengenali dan memahami gejala awal bencana, kesiapan fasilitas dan tenaga pendukung, durasi penanganan bencana, dan prosedur penyelamatan pada saat bencana.
Cara paling efektif memberikan pendidikan bencana kepada perempuan adalah melalui kurikulum sekolah. Materi waspada bencana penting diperkenalkan juga melalui muatan lokal dalam kurikulum pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar maupun menengah (misalnya dalam pelajaran bahasa daerah). Pengetahuan tersebut juga dapat disampaikan melalui sosialisasi kepada komunitas perempuan.
BNBP sudah mendidik setidaknya 50.000 perempuan sebagai agen kampanye. Pendidikan tersebut diselenggarkaan dalam rangka menyebar pengetahuan tentang penanggulangan bencana.
Dalam upaya untuk menyebarkan pengetahuan tentang bencana kepada perempuan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga telah membuat film pendek tentang pendidikan waspada bencana. Film ini memuat informasi yang mudah dipahami dan berisi keterangan yang bisa membantu perempuan untuk lebih mudah memahami prosedur penyelamatan diri pada saat bencana alam terjadi.
Tentu saja upaya di atas tidaklah cukup. Film, buku saku, pelatihan, tidaklah akan efektif tanpa ada partisipasi dari masyarakat, secara khusus perempuan itu sendiri. Pendidikan waspada bencana perlu diberikan dalam bentuk media yang sering digunakan oleh perempuan. Seperti misalnya, tayangan sinetron di televisi pada saat jam tayang utama atau dalam bentuk iklan layanan masyarakat di radio.
Lidwina Inge Nurtjahyo, Lecturer of law and gender studies, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment