Perempuan, Dari Menjadi Pemanis Hingga Obyektifikasi di Televisi
“Banyak anak-anak perempuan kita bertahun, bermimpi tentang sebuah pernikahan dan sebuah kelahiran. Padahal tak demikian halnya dengan anak laki-laki kita—yang banyak menghabiskan mimpinya mengubah dunia.”
Dewi Candraningrum (2013)
*Muhammad Rajib Rakatirta- www.Konde.co
Pernahkah anda merasakan bahwa terkadang perempuan-perempuan yang muncul dalam televisi hanya ada sebagai pemanis?
Seorang pegiat film di Amerika bernama Laura Mulvey memikirkan hal yang sama. Ia berteori bahwa dalam film-film dan layar kaca, perempuan terkadang hanya berfungsi sebagai sesuatu untuk dilihat, dan hal ini tentu saja merupakan hal yang buruk bagi kesetaraan bagi manusia.
Masalahnya tentu jelas: film dan televisi adalah jenis media massa, dan media massa mampu mempengaruhi persepsi banyak orang. Sehingga, tayangan-tayangan dengan diskriminasi gender tentu dapat melekat dalam benak banyak orang yang melihatnya.
Meski Murvey mengajukan teorinya di Amerika, hal yang sama ternyata juga terjadi di Indonesia dalam sebuah acara televisi. Acara televisi yang saya maksud adalah ‘Take Me Out’. Sekarang acara ini memang sudah tidak lagi ditayangkan, namun saat dulu ditayangkan di Televisi ANTV, entah kenapa saya benar-benar resah melihatnya, dan saya rasa hal ini perlu dibahas.
Setidaknya ada 3 masalah yang sangat ingin saya lihat dalam acara ini:
1. Tubuh dan Gairah Seksual
Hal yang pertama adalah mengenai gairah seksual. Menurut saya, gairah seksual merupakan salah satu hal yang menunjukkan bahwa perempuan juga manusia yang sama dengan laki-laki.
Dengan menghilangkan atribut dan hak seksualitas perempuan, maka sama saja dengan menanggalkan atribut kemanusiannya. Sehingga, jika Take Me Out memang ingin memperlihatkan sisi tersebut dari perempuan, sah-sah saja. Toh setiap perempuan yang ada pasti sudah memiliki consent(persetujuan) untuk acara ini. Masalah terjadi saat acara hanya berfokus seolah-olah perempuan-perempuan hanya peduli pada masalah percintaan dan gairah seksual.
Adalah baik sebenarnya memberikan hak seksualitas dan kebertubuhan (hak untuk memiliki tubuh sendiri tanpa ada intervensi orang lain) kepada perempuan, namun bukan dengan mengerdilkannya menjadi objek seks belaka.
2. Obyek Tontonan
Dalam beberapa episodenya, tampak perempuan-perempuan harus berjalan dengan genit dan harus mengutamakan bentuk tubuh mereka untuk menarik perhatian laki-laki. Tidak ada hal yang salah mengenai hal ini, namun ada hal yang terlupakan, yakni menjadikan diri sendiri sebagai objek tontonan, dan hal ini masuk ke masalah kedua: perempuan sebagai objek tontonan.
Memangnya apa yang salah menjadi objek tontonan? Sebagai objek sesuatu tidak punya kendali yang besar dan justru malah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pihak yang berkuasa. Dalam hal ini, pihak berkuasa adalah produser acara. Dengan demikian, apa yang ditampilkan oleh para perempuan bukanlah murni keinginan mereka, namun apa yang mereka lakukan demi tidak dipecat oleh produser yang menginginkan uang. Paham ini yang secara tidak sadar mewajarkan masyarakat hanya menganggap perempuan sebagai objek.
3. Perempuan Harus Memenuhi Standar Kecantikan
Masalah selanjutnya datang ke poin nomor 3: penggambaran perempuan yang tidak beragam. Melihat Take Me Out Indonesia seperti melihat sebuah lingkaran etalase boneka dengan label “cantik” terpampang besar, karena betapa serupanya ‘bentuk’ satu perempuan dan perempuan yang lain.
Hal ini jelas menjadi standarisasi ‘cantik’ bagi perempuan. Hampir tidak ada perempuan yang berbadan gemuk (overweight), berkulit hitam, atau bertubuh pendek. Tinggi setiap perempuan hampir sama, dengan tingkat kecerahan kulit yang sama, serta tata busana yang serupa. Ketidakadaan keragaman ini jelas membunuh banyak perempuan lain yang seakan-akan tidak dianggap keberadaan.
Pernah dalam beberapa ada episode perempuan yang berasal dari Timur, namun dari cara perempuan tersebut bertutur, logat Timur yang diberikan kentara dibuat-buatnya. Selain itu, beberapa kali hal tersebut justru menjadi bahan cemoohan. Sehingga, tidak hanya memarjinalisasi perempuan, acara ini juga memarjinalisasi warna kulit, bentuk tubuh, hingga kesukuan.
Tentu kita tahu bahwa ‘Take Me Out’ tidak asli berasal dari Indonesia, namun berasal dari sebuah acara TV di Inggris dengan judul yang sama.
Menariknya, ada hal-hal dari ‘Take Me Out’ UK yang menurut saya jauh lebih baik daripada di Indonesia. Setelah melihat beberapa episode melalui YouTube, nampak bahwa masalah di poin 1 dan 2 (penggambaran perempuan yang hanya peduli dengan gairah seksual serta menjadi objek tontonan) tidak terselesaikan. Cenderung sama saja.
Perempuan dalam acara tersebut masih berperan sebagai pemanis yang tidak segan harus mengerdilkan kemanusiaan ke dalam sebatas gairah seksual. Meski demikian, yang dilakukan oleh Take Me Out UK tidak separah Indonesia.
Dalam Take Me Out di Inggris misalnya, hanya ada satu host yang menggiring jalannya acara, sementara di Indonesia, ada beberapa orang yang berperan sebagai komentator untuk menambah unsur keseruan dan kelucuan dari acara. Bertambahnya komentator tersebut justru semakin menambah kemungkinan para perempuan untuk dieksplorasi seksualitasnya dan menjadi bahan candaan belaka.
Hal lain yang sukses dilakukan oleh Take Me Out di UK adalah peserta perempuan yang beragam. Hal ini terlihat dari beragamnya warna kulit, tinggi tubuh, serta berat badan. Memang, ada artikel-artikel yang menunjukkan bahwa perempuan-perempuan tersebut memiliki Gladi Resik dan pakaian yang dibawa harus dengan persetujuan produser, namun setidaknya tidak ada standarisasi kecantikan yang terlalu mengungkung seperti yang masih ada dalam Take Me Out Indonesia.
Maka, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Take Me Out dalam merepresentasikan perempuan hanya melanggengkan budaya yang mengobjektifikasikan perempuan.
Sudah untung Take Me Out tidak lagi tayang di Indonesia (dan sebaiknya tidak perlu lagi), karena sebagai media massa yang bisa menjangkau banyak orang, televisi seharusnya bisa lebih bermartabat daripada apa yang telah ANTV siarkan. Sudah cukup masyarakat kita mendiksriminasi perempuan, tidak perlu memperkuatnya dengan tayangan-tayangan yang hanya melanggengkan diskriminasi semacam itu.
*Muhammad Rajib Rakatirta, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Bisa dihubungi melalui: Twiter-Instagram : @Rajib_Ngeeeeeng, Blog :timunlaut.wordpress.com
Referensi
Candraningrum, D. (2013). Depolitisasi Seksualitas. Jurnal Perempuan 77, 114-122
Eagleton, T. (1991). Ideology: An Introduction. London: Verso
Laughey, D. (2007). Key Themes in Media Theory. New York: McGraw-Hill
Meyers, E. (2012). Gossip Blogs and ‘Baby Bumps’: The New Visual Spectacle of Female Celebrity in Gossip Media. The Handbook of Gender, Sex, and Media. New Jersey: Wiley-Blackwell
Post a Comment