Perempuan dalam Hukum Hak Asasi Manusia
*Tiasri Wiandani – www.Konde.co
Perempuan sebagai struktur kedua dalam lingkungan sosial masyarakat sangat rentan mendapat perlakukan diskriminasi. Banyak data menunjukkan hal ini. Dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih buruk dan lemah dibanding dengan laki-laki.
Diskriminasi terhadap perempuan telah berlangsung secara terus-menerus dalam hukum, masyarakat (public) maupun dalam keluarga (private). Hal ini terjadi merupakan akibat dari warisan sejarah panjang yang menempatkan perempuan sebagai kelompok kedua setelah laki-laki.
Artikel 2 dalam Deklarasi Universal HAM (DU HAM) secara jelas tidak memperbolehkan adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi DU HAM juga tidak memberikan perhatian pada perempuan. Dalam artikel 7 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya hanya melindungi perempuan sebatas dalam memperoleh perlakuan upah yang sama di sektor publik (tempat kerja), tetapi tidak menyangkut persoalan terhadap kekerasan perempuan di sektor privat.
Karena kelemahan- kelemahan UN Declaration of Human Right, untuk mengupayakan perlindungan bagi perempuan maka sesudah tahun 1948 dibentuk CSW (Commision on the Status of Women) sebuah komisi yang bertugas untuk mempersiapkan rekomendasi dan lapporan pada U.N untuk meningkatkan status perempuan di bidang politik, ekonomi, sipil, sosial, dan pendidikan. Eleoners Roosevelt (Istri Presiden Amerika) waktu itu yang ikut membuat rancangan DUHAM, menyadari bahwa ternyata persoalan perempuan tidak tercover atau tidak dilindungi di dalamnya. Kemudian Eleoners Roosevelt membentuk suatu komisi yakni Commission on the Status of Women (CSW) untuk mempersiapkan Undang-undang atau konvensi yang bisa melindungi perempuan berdasarkan laporan-laporan atau kasus-kasus terhadap perempuan seperti penindasan, marginalisasi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Komisi tersebut menghasasilkan konvensi hak politik perempuan pada tahun 1953. Hak politik perempuan dimaksud adalah hak bagi perempuan untuk ikut memilih dan dipilih dalam pemilihan umum serta menjadi anggota parlemen yang harus diambil atau dijadikan hukum bagi semua anggota PBB.
Tahun 1957 muncul konvensi tentang hak warga negara bagi perempuan menikah tidak harus mengikuti warga negara suaminya, tetapi berhak memilih dan menentukan warga negara sesuai pilihannya. Tahun 1960 UNESCO mendesak PBB untuk mengeluarkan konvensi anti diskriminasi pendidikan. Berdasarkan penelitian UNESCO terbukti bahwa gender telah berdampak pada perempuan tidak mendapatkan akses informasi, pendidikan, dan yang lainnya. Karena tidak mendapatkan akses informasi dan pendidikan, maka berdampak pada kehidupan perempuan yang tetap terkurung di dalam rumah (domestik) dan tidak dapat mengembangkan potensinya sebagai manusia.
Pada tahun 1979 PBB mensyahkan konvesi CEDAW (Convention for the Elimination of Discrimination Againts Women). CEDAW adalah konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh 139 negara anggota PBB termasuk Indonesia. CEDAW adalah konvensi hak asasi manusia yang telah menjabarkan persoalan Hak Asasi Manusia di dalam DUHAM dari perspektif perempuan. CEDAW sebagai pelengkap dari UN Declaration of Human Right yang melihat persoalan HAM dari perspektif perempuan.
Meskipun diskriminasi terhadap perempuan terus berlangsung, akan tetapi upaya untuk menghapus atau mengurangi diskriminasi tersebut masih terus dilakukan. Sejak CEDAW disahkan pada tahun 1979 hak asasi perempuan diakui oleh DUHAM yang sudah diratifikasi oleh PBB. CEDAW telah mensyaratkan pada negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengimplementasikan ke dalam aturan hukum, yaitu peraturan anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1984 Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW.
Sejak Indonesia menandatangi Konvensi CEDAW, maka Indonesia berkewajiban melakukan berbagai upaya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan yang telah diatur dalam Konvensi CEDAW yaitu:
- Pasal 6, yaitu hak untuk bebas dari perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi.
- Pasal 7, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam politik dan kehidupan publik.
- Pasal 8, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam tingkat internasional.
- Pasal 9, yaitu hak kewarganegaraan.
- Pasal 10, yaitu hak pendidikan.
- Pasal 11, yaitu hak ketenagakerjaan,
- Pasal 12, yaitu hak kesehatan.
- Pasal 13, yaitu hak ekonomi sosial.
- Pasal 14, yaitu hak perempuan pedesaan.
- Pasal 15, yaitu hak persamaan di muka hukum.
- Pasal 16, yaitu hak dalam kehidupan perkawinan.
Tahun 1992 juga telah didesakkan satu draf Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan oleh CSW pada tahun 1992. Deklarasinya kemudian disahkan pada konferensi di Wina. Tujuan Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Pertempuan adalah untuk memperkuat CEDAW. Maka sejak disahkannya Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, maka kekerasan terhadap perempuan tidak lagi sebagai persoalan privat atau persoalan rumah tangga. Kini kekerasan terhadap perempuan dapat diangkat ke tingkat publik dan tingkat internasional. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Dalam Konferensi Hak Asasi Manusia tahun 1994 di Geneva, semua negara peserta mengadukan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia serta mencoba melihat kembali seluruh konvensi HAM yang tidak berperspektif perempuan. Masyarakat internasional ada suatu usaha besar untuk memasukkan perspektif perempuan ke dalam konvesi HAM.
Akar Diskriminasi Terhadap Perempuan
Banyak yang salah mengartikan tentang gender, banyak yang mengartikan bahwa gender itu adalah anti laki-laki. Gender adalah perspektif yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki untuk melihat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Tidak ada aktivis gender yang anti laki-laki, anti perempuan, dan anti perkawinan. Feminisme adalah perspektif anti kekerasan. Dalam feminisme terkandung humanisme, karena feminism adalah paham yang memerangi ketidakadilan yang diakibatkan oleh struktur sosial politik yang bisa menindas perempuan bahkan struktur itu sendiri bisa menindas perempuan dan laki-laki.
Gender berangkat dari perspektif perempuan untuk melihat ketimpangan hubungan atau relasi laki-laki dan perempuan. Konstrusi gender sudah tersosialisasi dan membudaya sejak lama. Sering kita mendengar bahwa anak perempuan tidak boleh berlaku kasar dan tidak boleh duduk seenaknya, dan anak laki-laki dikonstruksikan tidak boleh nangis, tidak main boneka, bisa memanjat dan lain-lain. Konstruksi gender inilah yang telah menimbulkan diskriminasi dan subordinasi yang menganggap perempuan itu lemah atau dilemahkan. Konstruksi gender setiap budaya, agama, kelas sosial, antara kelas atas dan kelas bawah berbeda-beda.
Perbedaan perempuan dengan laki-laki hanya pada perbedaan biologis, bukan bersifat konstruksi gender. Pembedaan wilayah publik sebagai wilayah laki-laki, dan wilayah privat sebagai wilayah perempuan sebagai pihak yang lemah dan tidak memiliki posisi tawar bagi dirinya. Perempuan hanya sebagai milik dan benda yang tidak dipandang sebagai manusia. Sistem patriarki menempatkan laki-laki sebagai pemilik kekuasaan utama dalam kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, penguasa harta, memiliki otoritas terhadap perempuan, dan anak-anak. Jadi, akar diskriminasi terhadap perempuan adalah konstruksi gender yang bias laki-laki (sistem patriarki).
Pengertian Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Pasal 1 Konvensi CEDAW adalah “Segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan juga berdampak pada munculnya kekerasan terhadap perempuan yang bisa terjadi di rumah tangga, di tempat kerja, di tempat publik. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang disahkan oleh U.N Declaration of Human Right, (dalam CEDAW), antara lain:
1. Pelecehan seksual (fisik) secara verbal.
2. Pelecehan seksual secara fisik.
3. Kekerasan di media masa.
4. Pemukulan istri dan anak perempuan dalam rumah tangga.
5. Perkosaan.
6. Kekerasan untuk kepentingan perdagangan perempuan (TKW).
7. Kekerasan yang berbentuk pornografi.
8. Sunat pada perempuan.
9. Pemaksaan pemakaian alat-alat Keluarga Berencana (KB).
*Tiasri Wiandani, Wakil Ketua Bidang Perempuan, Serikat Pekerja Nasional PT. Pancaprima Ekabrothers, Tangerang
Post a Comment