Apa rahasia perkawinan yang bahagia?
Alimatul Qibtiyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Siti Syamsiyatun, Indonesian Consortium for Religious Studies
Antara 2005 dan 2010, satu dari sepuluh pasangan suami istri di Indonesia bercerai, menurut data Mahkamah Agung (MA). Sebagian besar–70% dari semua kasus–istri yang mengajukan gugat cerai. Tren ini meningkat setiap tahunnya hingga 80% antara 2010 dan 2015.
Mengapa perempuan dua kali lebih mungkin mengajukan perceraian dibandingkan laki-laki? Salah satu asumsinya adalah bahwa ide mengenai kesetaraan gender yang dipromosikan gerakan feminis mendorong tingkat perceraian. Namun hal ini tidak terbukti.
Data dari Lembaga penelitian dan pengembangan Kementerian Agama RI menyebutkan setidaknya ada tiga alasan utama perceraian: ketidakharmonisan pernikahan, tanggung jawab, dan permasalahan keuangan. Alasan-alasan tersebut berkaitan dengan fleksibilitas peran istri dan suami dalam sebuah pernikahan.
Beragam peran perempuan
Meningkatnya keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah dan kegiatan publik tidak diimbangi oleh pergeseran peran laki-laki dalam pekerjaan domestik dan kehidupan reproduksi. Akibatnya, perempuan menanggung beban berlipat sebagai seorang anak, istri, ibu, pekerja, dan juga sebagai anggota masyarakat.
Sebagai anak, perempuan secara tradisional memiliki tanggung jawab merawat kedua orang tuanya. Sebagai istri, dia dituntut melayani suaminya, menyiapkan makanan, pakaian dan kebutuhan pribadi suami lainnya. Sebagai seorang ibu, perempuan harus merawat anak-anak dan memenuhi kebutuhan mereka, termasuk dalam hal pendidikan. Dan sebagai seorang pekerja, perempuan harus bersikap profesional, disiplin, dan menjadi karyawan yang baik.
Baca juga:
Butuh warga satu kampung untuk membesarkan seorang anak
Sebagai anggota masyarakat, perempuan diharapkan berpartisipasi dalam kegiatan komunitas dan kerja sukarelawan, baik di dalam komunitasnya maupun melalui organisasi sosial.
Sementara, laki-laki secara tradisional hanya memiliki satu peran saja, sebagai pencari nafkah dan hanya sedikit kewajibannya untuk aktif terlibat dalam kegiatan komunitas sosial.
Sampai sekarang beberapa budaya dan keluarga masih mempertahankan peran gender tradisional ini. Tidak heran beban berlipat yang dipikul seorang perempuan dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka dan membuat mereka menjadi rentan.
Peran yang fleksibel
Penting untuk membahas masalah pemikiran yang cenderung kaku terkait peran perempuan dan laki-laki dalam pernikahan.
Pertama mari kita setujui, melihat pada definisi peran yang fleksibel, bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan tanggung jawab untuk peran domestik dan pengasuhan dalam keluarga, yang dilakukan atas dasar persetujuan dan komitmen yang adil. Melakukan pekerjaan seperti mencuci piring, mencuci dan menyetrika, memasak, serta memberi makan kepada anak atau bayi bukanlah semata-mata pekerjaan istri, tapi juga tanggung jawab suami. Kesetaraan tidak berarti harus sama persis. Tiap-tiap keluarga mungkin membagi tugas dengan cara yang berbeda kepada setiap anggota keluarga.
Ide yang kedua adalah bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan tanggung jawab untuk mencari nafkah dan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Contoh fleksibilitas di sini adalah ketika pasangan memutuskan untuk memiliki seorang anak dan seorang istri hamil. Dalam, banyak kasus, kehamilan ini akan membawa konsekuensi bahwa perempuan akan berkontribusi lebih sedikit pada pendapatan keluarga.
Di dalam skenario yang lain, ketika perempuan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dibandingkan laki-laki, ini seharusnya tidaklah menjadi permasalahan. Poin terpenting adalah keputusan yang dilakukan merupakan hal yang terbaik demi seluruh anggota keluarga dan tidak membebani satu anggota keluarga secara tidak proporsional. Dalam hal ini seorang suami tidak perlu lagi untuk menghasilkan uang lebih dibandingkan istrinya begitu pun sebaliknya.
Baca juga:
Alasan mengapa kita mencari pasangan yang suka dan bisa membuat kita tertawa
Peran fleksibel membentuk kebahagiaan dalam pernikahan
Argumen yang lebih besar dalam peran fleksibel dalam ruang pernikahan ini didukung oleh bukti empiris. Pada 2018 awal kami melakukan sebuah survei di Yogyakarta didukung oleh Ford Foundation terhadap 106 responden yang menikah. Sebanyak 54% mengatakan bahwa mereka “sangat bahagia” dalam keluarga mereka. Dari angka tersebut, hampir dua per tiga menggambarkan fleksibilitas peran gender dalam pernikahan mereka “tinggi”. Sebagai perbandingan, dari 45% yang mengatakan bahwa mereka hanya “bahagia”, hampir dua per lima mengatakan fleksibilitas peran gender dalam pernikahan mereka hanya “moderat”. Semakin fleksibel peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, maka akan semakin bahagia kehidupan mereka dalam keluarga.
Temuan ini sangat menarik, khususnya bagi pembuat kebijakan dan pemuka agama, serta masyarakat luas. Ide dari peran fleksibel dalam pernikahan ini sejalan dengan karakteristik generasi milenial : dinamis, energik dan tidak kaku.
Menerapkan peraturan yang fleksibel untuk laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dapat berkontribusi dalam membentuk kebahagiaan anggota keluarga dan membantu mengurangi angka perceraian. Lagi pula, tidak ada seorang pun, yang bermimpi memiliki sebuah keluarga yang hancur.
Alimatul Qibtiyah, Lecturer in Communication Studies, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Siti Syamsiyatun, Director, Indonesian Consortium for Religious Studies
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment