Para Perempuan yang Berjuang Bersama Kanker
*Kustiah- www.Konde.co
Mendengar kata kanker yang terbesit di kepala sebagian orang mungkin adalah perasaan ngeri. Lalu secara tak sadar akan muncul perasaan takut, cemas, dan bayangan kematian yang membuntuti.Itulah yang dirasakan Rahmi Fitria, penyintas kanker payudara stadium 3.
Meski ibunya meninggal karena kanker, kakak, sepupu, tante dari pihak ayah dan ibunya juga terkena kanker, Rahmi tetap saja shock begitu tahu hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa benjolan di ketiaknya merupakan kanker payudara yang sifatnya agresif. Ia merasa tidak siap dengan vonis kanker yang menimpanya. Apalagi menerimanya. Sejumlah pertanyaan dan perasaan menyalahkan terus berkelindan hingga kemudian ia menemukan cara bagaimana harus ’berdamai’ dan menjinakkannya.
Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu 2 ( era Susilo Bambang Youdhoyono) Endang Rahayu Sedyaningsih sebelum meninggal karena kanker pernah bercerita tentang penyakit kanker.
Dalam sambutannya untuk buku yang mengupas tentang kiat para survivor kanker ia menulis, siapa pun yang baru menerima diagnosa kanker dari dokter pertanyaan pertama yang akan terlontar dalam benak pasien adalah “Kenapa??” “Kenapa SAYA” “WHY??” “WHY ME??”.
Menurut Endang perasaan “shock” ini tidak hanya akan dialami penderita, tetapi juga oleh keluarganya. Fase-fase penyangkalan, marah, kemudian depresi, sering dialami oleh para penderita dan/atau keluarganya. Padahal, menurutnya banyak hal positif yang bisa dilakukan dari sekadar mengeluh dan menyalahkan.
Hal positif yang dimaksud salah satunya adalah ’berdamai dengan kanker’ supaya penyakit mematikan ini bisa mengubah hidup pasien menjadi lebih baik. Di antaranya dengan melakukan introspeksi makanan, gaya hidup, dan cara memandang banyak hal dalam hidup.
Endang menerapkan teorinya dan membuktikan dengan kesanggupannya melewati masa berat mengemban amanat menjalankan tugas sebagai menteri seraya menjalani serangkaian pengobatan untuk penyakitnya.
Entah sejak kapan Endang divonis kanker, dari keterangan media ia didiagnosa penyakit kanker pada 2010 dan meninggal dua tahun kemudian setelah diagnosa kanker.
Menghalau Kanker dengan Perasaan Tenang
Rahmi mantan jurnalis. Saat menjadi jurnalis hidupnya penuh tekanan. Setiap hari tak ada istilah senang, santai atau ’leha-leha’, karena setiap waktu baginya adalah deadline.
Perjalanan hidupnya penuh warna. Ia pernah merasa bahagia karena mampu menggapai cita-citanya menjadi seorang jurnalis televisi, sebuah cita-cita yang ia pupuk semasa sekolah dan ia bisa mewujudkannya di kemudian hari.
Merasa jenuh dengan rutinitasnya di tengah perjalanan menjadi jurnalis, Rahmi kemudian tergoda untuk membangun bisnis sendiri. Ide dan semangat ia peroleh saat meliput dan menulis sosok Martha Tilaar yang membangun bisnisnya dari toko kecil hingga menjadi bisnis kosmetik besar seperti sekarang ini. Ia kemudian merintis bisnis kecantikan.
Tetapi, kenyataan tak selalu berbanding lurus dengan harapan.Bisnis yang ia rintis mengalami kemandekan selama bertahun-tahun. Hingga kemudian Rahmi memutuskan untuk kembali bekerja kembali sebagai jurnalis di media televisi nasional sambil terus berusaha menjalankan usahanya.
Meski bisnisnya tak berkembang sebesar harapan Rahmi, namun ia selalu berupaya dan terus memupuk mimpinya. Ia yakin di kemudian hari akan menjadi pengusaha sukses salon atau produk kecantikan.
Usaha SPA dan produk kecantikan yang ia rintis dengan memanfaatkan garasi rumah orang tuanya itu ia gadang bisa menjadi bisnis spa dan kosmetik setidaknya terbesar di Bogor dan merambah ke skala nasional.
Dan benar, jalan menuju sukses bagi Rahmi kemudian mulai terbuka. Ia berkesempatan bertemu dengan investor yang tertarik dengan usahanya. Seorang investor mengundangnya untuk menjelaskan skema bisnisnya. Namun, Tuhan berkehendak lain. Di tengah usaha dan semangatnya yang sedang naik-naiknya justru ujian hadir tiba-tiba. Diagnosa dokter yang menyatakan Rahmi terkena kanker stadium 3 meluluhlantakkan mimpinya.
Persis yang dikatakan mantan Endang Rahayu, pertanyaan why me? selalu menjadi pertanyaan Rahmi. Dan perasaan menyalahkan diri sendiri akan terus berkelebat saat seseorang tak siap dengan musibah yang menimpanya.
Di tengah kegalauan dan ketakutan Rahmi bertanya-tanya, satu dari banyak pertanyaan yang berkelindan di kepalanya adalah, apakah bijak jika serta-merta menyalahkan faktor genetik jika ia divonis kanker? Mengingat ibu dan beberapa anggota keluarganya meninggal karena kanker, juga saudara perempuannya yang telah divonis kanker.
Rahmi menggali informasi dan mengkaji hasil penelitian para dokter, ilmuwan, dan penyintas kanker untuk mencari tahu apakah pemicu kanker berasal dari genetik dan hanya menyangkut persoalan fisik saja? Karena, menurut Rahmi, meski hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab kanker, ia menduga kanker yang ia alami bersumber dari emosi negatif dan stres berkepanjangan.
Mungkin terdengar sederhana. Atau sebagian orang mungkin menganggap Rahmi menyederhanakan penyebab atau pemicu penyakit "kelas berat"?
Sebagai penyintas kanker dan berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah penyintas kanker perempuan diketahui bahwa faktor emosi, pikiran, dan hati diduga berperan memicu berkembangnya kanker, sekaligus berperan membantu proses penyembuhan kanker (hal xiv).
Menurut seorang ilmuwan dan psikiater asal Amerika, David R. Hawkins, atom, sel, elemen, elektron, dan segala hal yang membentuk tubuh manusia dipengaruhi oleh kesadarannya. Dengan kata lain, kesadaran seseorang terkait emosi, sikap, dan keyakinannya, dapat mempengaruhi kesehatannya.
Titik kesadaran positif yang membantu proses penyembuhan adalah keberanian untuk mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri untuk sembuh. Sebaliknya, keputusasaan dan ketidakberdayaan yang merupakan kesadaran negatif justru akan mempercepat perkembangan kanker dan menghambat proses penyembuhan.
Jadi, jika seorang penderita kanker memiliki keberanian maka dua jenis kesadaran negatif yang kerap dialami para pasien kanker bisa dihalau. Dampaknya, proses penyembuhan akan lebih cepat.
Proses "penerimaan" terhadap kanker memang tak semudah membalik telapak tangan. Ada yang menyalahkan Tuhan, mengapa harus dia yang dipilih menerima kanker? Ada yang menyalahkan diri sendiri, dan banyak lagi penolakan terhadap vonis kanker.
Hingga akhirnya para penyintas termasuk Rahmi, menemukan jalan bagaimana menerima kanker sebagai 'anugerah', teguran, dan teman. Rahmi bahkan menganggap bahwa sel kanker sebetulnya hidup dorman, berupa sel mikrotumor tak berbahaya, yang terdapat dalam tubuh semua manusia. Tergantung dari lahannya (tubuhnya), apakah berpotensi menyuburkan sel mikrotumor atau tidak. Semua tergantung dari kesadaran positif yang dimiliki setiap tubuh, kesadaran seseorang terkait emosi, sikap, dan keyakinannya, juga gaya hidup setiap orang.
Buku yang ditulis Rahmi dengan gaya bercerita ini menarik. Tak hanya menggugah emosi pembaca karena pengalaman Rahmi yang emosional sebagai jurnaalis, baik saat menghadapi lonceng kematian pertama yang hendak merenggut nyawanya saat kasus bom bunuh diri yang meledak di depan Kedutaan Australia pada 2004.
Juga vonis kanker yang ia terima saat ia merasa sedang sangat percaya diri bisa menggapai mimpi keduanya yakni menjadi pengusaha sukses SPA dan produk kecantikan.
Rahmi memperkaya bukunya ini dengan menuliskan kisah inspiratif para penyintas kanker. Di antaranya kisah Titiek Puspa, Shahnaz Haque, dan Indira Abidin yang berhasil 'berdamai' dengan kanker.
Banyak sekali informasi dan pesan yang bisa diambil dari para survivor di buku ini. Baik informasi seputar bagaimana menghadapi kanker, mengobati, dan bagaimana menyiapkan mental ketika seseorang didiagnosa kanker. Jadi, buku ini sangat recommended untuk dibaca siapa saja, khususnya para perempuan.
Judul : Berdamai Dengan Kanker
Pengarang : Rahmi Fitria
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2018
Ketebalan buku : 228 Halaman
*Kustiah, penyuka buku dan ibu dua anak yang suka belajar tentang banyak hal.
(Foto: Deskgram)
Post a Comment