Header Ads

Jika Banyak Perempuan Terluka, Mengapa Masih Memperdebatkan Poligami?



“Jika poligami menyebabkan perempuan terluka, mengapa orang-orang masih saja memperdebatkan soal poligami? Karena buat saya, jika ada perempuan terluka, ini sama saja kita telah gagal memberikan kualitas cinta terhadap perempuan (pasangan) kita.”

*Rohmatul Izad- www.Konde.co

Entah mengapa, orang-orang dulu, laki-laki, begitu hobby dalam mengoleksi pasangan. Berdebat sana-sini soal poligami, seolah ingin mencari dukungan apa yang ia yakini benar tentang poligami.

Dan perempuan selalu diposisikan sebagai obyek yang harus meng(iya)kan tradisi menggelikan ini.

Yang saya yakini, dalam Islam, poligami itu kaidahnya bersifat praktis dan termasuk wilayah penetrasi, yakni suatu kebudayaan yang terpelihara di banyak tradisi orang-orang dahulu yang kemudian agama ikut campur dalam mengatur tradisi tersebut, meskipun ini tidak selalu bersifat saling mempengaruhi.

Hanya, Islam memberikan batasan terhadap mana wilayah kebudayaan yang pantas dipelihara dan diatur agar lebih terhormat dan tentu saja sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun tidak objektif, pandangan semacam ini penting untuk memahamai kehendak teks (Tuhan) atas realitas.

Dalam pandangan saya, konsep poligami dalam Islam, sama sekali tidak terkait secara esensial dengan persoalan teologis, tetapi lebih pada ketetapan syariat dalam mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan sekaligus jawaban atas tradisi yang menggelikan era Arab pra-Islam dahulu.

Jika ayat al-Qur’an bisa turun lebih banyak dan lebih panjang durasi waktunya, penulis meyakini bahwa akan ada ayat-ayat lagi yang turun untuk menghapus pembolehan tindakan poligami. Pengandaian semacam ini penting karena betapa sudah sangat ketinggalan zaman logika teks yang terlanjur terbangun soal poligami ini.

Betapa sangat rugi perempuan yang telah dan akan dipoligami. Betapa menyedihkan bagi tradisi yang masih dihargai hanya karena mempercayai bahwa Tuhan membolehkannya, betapa perempuan menjadi korban keganasan orang-orang dahulu yang begitu hobby mengoleksi perempuan-perempuan. Bukankah ini hanya sebatas tradisi yang sudah seharusnya ditinggalkan?

Tidak ada ilmu yang benar-benar bebas nilai, karena setiap ilmu mengandung kepentingan sesuai dengan kadar dan nilai kebenaran yang dikandungnya. Begitu juga dengan adil. Tidak ada sesuatu yang benar-benar seimbang dan bersikap secara sama rata, netral atau tidak berpihak.

Sebagai suatu tujuan, keadilan tidak akan pernah bisa dicapai secara objektif, manusia hanya sampai pada taraf proses mencapai keadilan itu, sehingga tidak ada alasan yang cukup meyakinkan bahwa berpoligami dapat mencapai suatu tingkat keadilan yang benar-benar adil.

Jika diandaikan bahwa poligami adalah ilmu yang tidak bebas nilai, maka hanya laki-lakilah yang memperoleh keuntungan atas kepentingan terselubungnya terhadap hasrat seks yang tak pernah padam.

Poligami adalah libido yang harus ditinggalkan, kemenyatuan dua insan secara abadi dan tak terbagi akan lebih memberi kualitas nilai bagi sikap cinta terhadap sesama.

Jangan pernah bersikap ingin mengangkat derajat perempuan dalam berpoligami ketika hasrat seks jauh lebih terselubung yang menikam sikap religiusitas palsu dibalik doktrin agama. Betapa nistanya laki-laki yang memiliki standar ganda dalam urusan cinta, sikap mendua tidak pernah bisa dimaafkan. Tuhan tak pernah suka dipersekutukan, itulah dosa abadi, dosa yang tak bisa dimaafkan.

Tidak ada maksud bagi penulis untuk menistakan ketetapan Tuhan dalam kitab suci, hanya mengajak untuk memikirkan kembali apakah poligami masih relevan bagi pola keragaman hidup yang begitu plural dan sikap keagamaan saat ini yang sudah mencapai tingkat egaliter yang paling maju dan sepadan?.

Jangan sampai ketetapan Tuhan menjadi semacam jebakan bagi kaum beriman yang tampaknya baik tapi menjerat esensi kebermaknaan hidup perempuan.

Ada banyak cara menuju surga, kecuali poligami. Pernyataan ini barangkali sangat tepat dalam mengambarkan betapa berpoligami itu tidak perlu, sangat menyedihkan dalam melanggengkan sistem patriarkhi yang begitu menyakitkan, melakukan kekerasan bagi perempuan.

Bagi penulis, agama itu sudah sangat egaliter, hanya kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam memasukkan makna ke dalam teks harus diarahkan, dikoreksi, dan diberi batas secara kontekstual.


(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Rohmatul Izad,Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak, Yogyakarta.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.