Mengapa Saya Merayakan International Women's Day di 8 Maret?
*Veronica “Pheo” Iswinahyu - www.Konde.co
Hampir setiap tahun sebagai femisnist (agak berat sebenenarnya memikul ideologi ini ditambah lagi manyampaikan di muka publik) saya merayakan Internastional Women's Day (IWD) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Hari Perempuan Internasional di 8 Maret. Tiap tahun pula saya mengorganisir, terlibat atau sekedar datang ke acara-acara pra 8 maret dengan tema-tema IWD. Biasanya banyak kelompok perempuan, gerakan perempuan yang membuat kegiatan dalam rangkaian perayaan IWD. Sekurangnya tahun ini yang saya hadiri adalah:
1. Woman March – march yang diikuti perempuan dari berbagai kalangan, march yang diakhiri di Istana ini membawa beragam poster dengan beragam isu mulai dari penolakan RKUHP, men of quality font fear equality, Times Up, not my body or my clotes foult, kawal pembahasan RUU PKS di parlemen, perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender dan lainnya.
2. Woman Talk Perempuan Menembus Batas – yang memberikan ruang bagi perempuan-perempuan klien LBH Jakarta untuk mengungkapkan apa yang mereka alami, bagaimaan perempuan memperjuangkan haknya serta bagaimana pengalaman perempuan dalam mengakses keadilan khususnya di Jakarta.
3. Temu Nasional Perempuan untuk Kedaulatan Pangan – berisi perempuan dari berbagai sektor produksi pangan mulai dari perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh migran dan perempuan-perempuan pejuang yang mempertahankan kedaulatan pangan. Peserta Temu Perempuan ini terdiri dari perempuan dari berbagai provinsi di Indonesia khususnya perempuan-perempuan yang tanah air, dan akses produksi pangannya direbut oleh penguasa.
4. Parade Juang Perempuan, elemen organisasi dan serikat buruh yang menolak kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan yang melakukan aksi di DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Istana Negara.
Saya yakin ada juga kegiatan bertemakan IWD yang tidak saya sambangi di Jakarta ini. Saya apresiasi semua pelaksana dan semua perempuan yang datang meramaikan atau mengorganisir kegiatan-kegiatan tersebut. Saya kagum dan salut pada mereka yang bekerja keras untuk perayaan IWD tahun ini.
IWD sendiri berasal dari protes perempuan buruh di New York terkait kondisi kerja dan upah pada 5 Maret 1857; dilanjutkan 1908 dengan isu jam kerja yang lebih pendek dan upah yang lebih baik serta hak pilih perempuan. Di Amerika Serikat dirayakan setiap 28 Februari dimana perempuan merayakan hari perempuan nasional di minggu terakhir setiap bulan Februari hingga 1913.
Pada 1910 di Copenhagen, konferensi internasional pekerja perempuan mengusulkan gagasan Hari Perempuan Internasional untuk dirayakan diseluruh dunia dihari yang sama pada 28 Februari setiap tahunnya. Pertama kalinya International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional (HPI) dirayakan di Austria, German dan Switzerland pada 19 Maret 1911. Reli menuntut pemenuhan hak-hak perempuan untuk bekerja, mendapatkan hak pilih, hak dilatih kerja, hak menempati posisi di kantor pelayanan masyarakat dan penghapusan diskriminasi. Seminggu setelah perayaan IWD, tepatnya 25 Maret terjadi insiden “Triangle Fire” di New York yang mengorbankan 140 perempuan pekerja. Peristiwa berdarah ini menjadi sorotan banyak pihak. Kondisi kerja dan peraturan perburuhan menjadi tema dalam peringatan IWD selanjutnya.
Pada 1913, perempuan Rusia merayakan IWD pertama mereka pada dengan mengkampanyekan perdamaian pada Minggu terakhir Februari, malam sebelum Perang Dunia I meletus. Kemudian, berdasar diskusi bersama perayaan, sejak 1913 inilah secara universal perayaan IWD dipindah menjadi 8 Maret. Pada 1914, perayaan IWD, perempuan di kawasan Eropa melakukan aksi anti perang dan mengekspresikan solidaritas perempuan sedunia.
Pada tahun 1917, di Minggu terakhir Februari, perempuan Rusia melakukan demonstrasi “Roti dan Perdamaian” sebagai respon atas tewasnya 2 juta tentara Rusia di medan perang. Aksi ini mendapat kecaman dari pimpinan politik Rusia. Perempuan Rusia melanjutkan demonstrasi hingga 4 hari dan mendesak pemerintahan Czar mengundurkan diri. Demonstrasi juga mendesak pemerintahan terpilih untuk menjamin hak perempuan untuk memilih. Dalam kalender Julian, demonstrasi perempuan Rusia ini terjadi pada Minggu 23 Februari, yang menurut kalender Gregorian jatuh pada tanggal 8 Maret. Sejak 1918 IWD mulai diperingati dan dirayakan secara global di seluruh negara, baik negara maju maupun miskin.
Sejarah 8 Maret bukan sejarah yang mudah dilalui, 8 Maret bukan hal yang mudah diperjuangkan, 8 Maret mengandung sejarah perjuangan perempuan yang sangat penting. 8 Maret sebagai suatu tanggal terlalu penting untuk tidak dirayakan secara besar-besaran. Sejarah panjang itu yang membuat saya memilih tidak pernah absen pada aksi yang diadakan ditanggal 8 Maret. Untuk saya, semua perempuan adalah istimewa, belum lagi perempuan-perempuan pendahulu yang berjuang, menjalani sejarah bahwa perempuan adalah bagian signifikan bagi gerakan sosial dan politik. Bahwa dunia membutuhkan perempuan untuk bergerak dan roda produksi berputar. Sehari saja perempuan tidak melakukan apa-apa maka dunia ini akan berhenti berputar. Produksi tidak akan berjalan, pertanian dan pangan tidak akan ada, nelayan tidak dapat melaut, dunia akan berhenti tanpa perempuan, dunia tidak berarti tanpa perempuan.
IWD bukan sekedar sejarah panjang perlawanan perempuan. Tapi lebih dari itu adalah penghargaan bahwa dari 365 hari dalam satu tahun, perempuan memiliki satu hari khusus dimana perempuan bisa merayakan dirinya sebagai perempuan, bukan sebagai nelayan, bukan sebagai pejuang, bukan sebagai petani, bukan sebagai ibu rumah tangga, bukan sebagai buruh tapi sejatinya sebagai PEREMPUAN. Perempuan dengan segala peran, fungsi, identitas gender, ideologi, politik dan segala latar belakang yang menjadi tempelan dibelakang “perempuan” itu sendiri.
Perempuan dalam berbagai level mengalami penindasan secara vertikal dan kekerasan horisontal yang berbasis pada gendernya. Perempuan mengalami ketimpangan dalam berbagai sektor, termasuk ketimpangan dalam pengambilan keputusan dan penguasaan sumber daya, yang memperparah ketimpangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, informasi, pengetahuan, dan lain sebagainya bagi perempuan. Tidak hanya itu, perempuan juga mengalami berbagai kekerasan yang berbasis identitas gender dan seksualitasnya. Apapun yang dilakukan oleh seorang puan, maka yang diserang adalah identitas keperempuanannya, karena dia adalah seorang Puan.
Bagi saya hari ini adalah hari di mana perempuan dari berbagai latar belakang, dari berbagai sektor, latar belakang sosial sosial, dari berbagai pendidikan, dari berbagai keistimewaan atau kerentanan, dari berbagai macam pekerjaan dan indentitas yang menempel, dari berbagai agama suku rasnya, dari berbagai orientasi dan identitas gendernya hanya mengenal dirinya sebagai perempuan. Perempuan yang bersatu atas nama solidaritas sesama perempuan atas nama segala penindasan dan perjuangan yang dijalaninya. Atas nama segala pengalaman perempuan yang istimewa dalam konstruksi sosial yang patriarki. Momentum 8 Maret ini juga mengharap agar dapat membangun interkseksionalitas gerakan bahwa masalah yang dihadapi perempuan adalah isu bagi perempuan lain, karena masalah yang dihadapi perempuan berkelindan, maka perjuangan yang dilakukan perempuanpun harus bersifat interseksi (baku kait) beragam sektor beragam latar belakang. Bagi perempuan dengan keistimewaan berikan ruang kepada perempuan yang memiliki kerentanan lebih, lihat kembali identitas di belakang perempuanmu dan sisterhood harus menjadi solidaritas politik untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan!
I am not free while any woman is unfree, even when her shackles are very different from my own – Audre Lorde, 1981
Saya akan aksi di 8 Maret untuk merayakan Hari Raya Perempuan! Saya ajak kawan-kawan perempuan saya untuk turut berdampingan dalam perjuangan ini; saja ajak kawan-kawan laki-laki untuk berada dibelakang kami menjadi pendukung, bukan di samping, apalagi di depan. Berikan ruang bagi kami merayakan hari raya kami.
Selamat hari perempuan Internasional 2018!
Veronica “Pheo” Iswinahyu, seorang feminist dan pembela HAM, aktif di PurpleCode Collective – kolektif yang fokus pada isu gender dan tekhnologi. Aktif dalam berbagai gerakan pelanggaran HAM masa lalu, advokasi hak-hak minoritas khususnya minoritas gender dan seksualitas, aktif membantu ibu-ibu petani Kendeng dalam melawan pabrik semen. Memiliki kepedulian tinggi untuk pendampingan psikososial aktivis. Banyak bekerja di bidang community development.
Post a Comment