Memperjuangkan Agenda Perempuan di Tahun Politik
Gerakan perempuan seharusnya tak lupa bahwa gelombang pertama gerakan perempuan pada awal 1900-an adalah memperjuangan hak pilih perempuan di Pemilu. Hari Perempuan Internasional yang pertama kali dirayakan pada 28 Februari 1909 juga berdasar perjuangan partai politik yang berpihak pada perempuan buruh pabrik yang berdemonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York, Amerika Serikat. Lalu akankah agenda membangun politik berperspektif perempuan ini menjadi agenda gerakan perempuan di masa-masa Pemilu dan Pilkada di Indonesia di tahun 2018-2019?
*Usep Hasan Sadikin- www.Konde.co
Tahun 2018 merupakan tahun penyelenggaraan Pilkada serentak. Ini merupakan Pilkada gelombang tiga yang keserentakannya bertujuan menyamakan periode pemerintahan daerah sehingga seluruh Pilkada provinsi, kabupaten, dan kota bisa diserentakan dalam satu kali pemungutan suara pada 2024.
Namun sayang, saya melihat bahwa tuntutan yang menghubungkan politik kultural dan struktural ini banyak yang hilang dari tuntutan perempuan, padahal tahun 2018 adalah tahun politik lokal yang juga menghubungkan tahun politik nasional 2019.
Pilkada Serentak 2017 sebagai gelombang dua setelah 2015 seharusnya mendapat perhatian lintas daerah dan negara karena Pilkada Ibu Kota Indonesia berlangsung, namun Pilkada serentak di tahun 2018 merupakan pesta demokrasi lokal terbanyak yang akan diikuti warga/ para pemilih.
Ada 171 daerah berpilkada dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Provinsi berpilkada di antaranya merupakan provinsi terbesar Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Tahun 2018 juga merupakan tahun yang menjadi bagian tahapan Pemilu 2019. Ada tahap rekrutmen calon legislator untuk Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Pemilu DPRD Kota, dan Pemilu DPRD Kabupaten. Negara melalui Undang-undang No.7/2017 tentang Pemilu telah memfasilitasi afirmasi perempuan dalam pencalonan minimal 30 persen di daftar calon untuk Pemilu DPR dan DPRD.
Dalam pemilihan kepala daerah, solidaritas antar perempuan sangatlah dibutuhkan untuk melakukan negosiasi agenda kepada calon kepala daerah. Terhubungnya solidaritas perempuan aktivis, perempuan pemilih berbasis kelompok/organisasi masyarakat, dan politisi yang berkepentingan dengan agenda perempuan akan menjadi satu jaminan untuk bisa digenapkan dengan kebijakan adil gender pasca keterpilihan.
Namun, ada kebutuhan nyata yang belum cukup dipenuhi dalam afirmasi perempuan di tahap pencalonan Pemilu DPR dan DPRD. Semua partai politik masih buruk berkaderisasi sehingga kesulitan menyusun Caleg perempuan baik secara kuantitas maupun kualitas. Ini seharusnya menjadi ruang strategis yang harus diisi solidaritas antar perempuan aktivis dan perempuan dalam organisasi masyarakat. Ada sumberdaya perempuan dengan kualitas yang baik dan ada dukungan masa menyertakan kebutuhan agenda dalam organisasi masyarakat, namun hal ini belum disuplai optimal kepada partai politik.
Sinergi Agenda Perempuan dan Partai Politik
Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dikejar di 2018 ini adalah mensinergikan agenda perempuan yang terputus itu. Dalam Tuntutan aksi di beberapa hari perempuan internasional, saya mencatat ada dua agenda yang tak pernah hilang dan makin banyak diperjuangkan perempuan aktivis. Pertama, perjuangan hak perempuan buruh. Kedua, perlawanan terhadap intervensi negara dan masyarakat terhadap tubuh perempuan dan kebebasan berekspresi.
Pertanyaannya, apakah dua agenda gerakan perempuan itu juga sudah diperjuangkan oleh partai politik dan perempuan di bidang politik? Dan apakah dua agenda gerakan perempuan yang disuarakan sebagian besar perempuan aktivis itu pun dipahami organisasi masyarakat yang punya basis warga berhak pilih? Jawaban kedua pertanyaan ini adalah “belum”.
Tampaknya ini yang membuat perempuan aktivitis yang berdasar pengalaman dan perjuangan kultural makin tak percaya dengan politik struktural, khususnya Pemilu dan partai politik. Jika tak dibilang belum setuju, pemangku kepentingan Pemilu dan partai politik belum memahami dua agenda besar gerakan perempuan yang selalu diingatkan setiap 8 Maret.
Semoga makin ragu tak berarti menjadi tak percaya terhadap Pemilu dan partai politik. Jika gerakan perempuan merupakan bagian warga yang bersyahadat pada negara demokrasi, konsekuensinya harus menerima Pemilu sebagai satu syariat kekuasaan menyerta partai politik sebagai wasilah.
Jika gerakan perempuan tak percaya dengan Pemilu dan partai politik, gerakan perempuan menjadi pada asal gerakan perempuan dimulai. Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada 28 Februari 1909 berdasar perjuangan partai politik yang berpihak pada perempuan buruh pabrik yang berdemonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York, Amerika Serikat. Dari konteks era industri hingga kini, perempuan buruh menjadi bagian warga yang mengalami diskriminasi kultur dan struktur.
Gerakan perempuan pun seharusnya tak lupa bahwa, gelombang pertama gerakan perempuan pada awal 1900-an adalah memperjuangan hak pilih perempuan di Pemilu. Pada 26 Agustus 1920, amandemen ke-19 Amerika Serika memberikan perempuan hak pilih dan ditetapkan menjadi hukum konstitusional.
Perempuan saat ini memang sudah mendapatkan hak politiknya, memilih dan dipilih. Tapi gerakan perempuan seharusnya selalu mengingat dasar dari pentingnya mendapatkan hak politik itu, menghapuskan diskriminasi dan kekerasan oleh negara dan masyarakat terhadap tubuh perempuan yang masih terjadi hingga kini.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
(Artikel ini merupakan program kolaborasi antara www.konde.co dan rumahpemilu.org)
*Usep Hasan Sadikin, aktivis rumahpemilu.org dan Perludem
Post a Comment