Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia
Poedjiati Tan, www.konde.co
Love is an active power in man; a power which breaks through the walls which separate man from his fellow men, which unites him with others. ~ Erich Fromm
Cinta adalah kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia; kekuatan yang mengatasi tembok yang memisahkan manusia dengan sesamanya, kekuatan yang menyatukan manusia dengan yang lainnya. 72 penulis menyatukan dirinya dalam sebuah tulisan dan menjadi buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. Buku yang menyuarakan cinta, kebersamaan, bertoleransi, dan bagaimana perbedaan itu menjadi indah penuh kasih.
Sebuah pengalaman yang membanggakan bisa terlibat dalam sebuah proyek kebersamaan mewujudkan kebhineka tunggal-ikaan. Pembuatan buku yang digagas oleh Aan Anshori ketika melihat tergerusnya rasa persaudaraan berbangsa dan menjadikan perbedaan etnis sebagai alat penyebar kebencian.
Buku yang ditulis oleh 72 orang dengan latar belakang yang berbeda. Dalam buku ini, kita bisa membaca bagaimana pengalaman pribadi para penulis dalam bertetangga, berteman, berelasi, berhubungan dengan orang lain terutama antara ethnis Tionghoa dan bukan ethnis Tionghoa. Selain itu, juga terkait dengan bagaimana penilaian dari beberapa penulis tentang gambaran warga Tionghoa atau pengalamannya sebagai warga Tionghoa di beberapa wilayah di Indonesia.
Yang menarik dari semua itu, para penulis buku ini memeiliki latarbelakang yang sangat beragam. Dari yang pemula menulis, sampai dengan yang sudah menulis dengan sangat baik. Dari teman yang kegiatan sehari-hari di rumah dengan kegiatan domestik, sampai dengan yang memiliki kegiatan publik yang sangat luar. Perbedaan latar belakang, perbedaan yang berkembang karena konstruksi sosial sehingga ada anggapan yang stereotipe berbeda yang berkonotasi negatif dan memojokkan sampai dengan yang sangat mengharu biru karena persahabatan yang erat terjadi karena perbedaan yang ada. Dari yang seniman, akademisi, pegiatan sosial keagamaan, sampai yang ilmuwan.
Ranah perbedaan itu, menggambarkan bahwa pengalaman berhubungan dengan sesama, sama sekali tidak dibatasi dengan jurang perbedaan, baik itu secara fisik sampai perbedaan secara agama dan kepercayaan, atau secara ethnis dengan akar budaya yang sangat berbeda. Jadi dalam buku ini, menggambarkan dengan sangat tegas bahwa interaktif, hubungan sosial bisa dibangun dari mana saja, kapan saja dan dari keadaan apa saja namun melengkapi.
Tentu, bahwa rasa sakit karena berpedaan dan rasa lelah karena harus berhadapan dengan pemojokan karena berbeda juga digambarkan. Namun itu semua adalah pembelajaran yang penting bagi kita agar bisa merajut kebangsaan dan persaudaraan. Di mana berhubungan antar sesama yang digambarkan dari sudut pandang posisi ethnis Tionghoa memberikan banyak pelajaran yang berharga, bagaimana seharusnya sesama manusia dengan berbagai latar belakang yang berbeda bisa menghargai, dipersatukan dalam suatu masyatakat yang saling menolong dan memberi.
Seperti yang disampaikan Anita Wahid dalam kata pengantar buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia”
Saya bahagia sekali berkesempatan mengenal banyak orang Cina. Sama bahagianya dengan mengenal banyak orang Jawa, orang Padang, orang Manado, orang Timor, orang Sunda, orang Madura, orang Bugis, dan orang-orang suku dan ras lain. Juga orang-orang dengan agama yang berbeda dengan saya. Karena perkenalan dengan banyak orang yang berbeda ini mengajarkan saya satu hal: suku dan ras hanya menjelaskan dari mana asal seseorang, tapi tidak menjelaskan apapun mengenai karakter orang tersebut. Agama hanya menjelaskan apa yang dia yakini, tetapi sama sekali tidak menjelaskan mengenai bagaimana dirinya sebagai seorang manusia.
Dan satu-satunya cara untuk benar-benar tahu mengenai orang-orang dari suku, ras, dan agama lain adalah dengan membuka diri terhadap mereka. Dan ketika kita melakukannya, kita akan menemukan bahwa di balik semua identitas suku, ras, dan agama, setiap orang sama dengan kita. Sama-sama menginginkan hidup dalam damai, sama-sama bisa bekerja dalam rasa aman, sama-sama ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga, sama-sama ingin menjadi bermanfaat untuk orang lain, sama-sama ingin menyayangi dan disayangi, sama-sama ingin menjadi bagian dari masyarakat, dan sama-sama ingin membawa perubahan positif dalam dunia.
Karena suku, ras, dan agama bukanlah siapa mereka sesungguhnya. Karena siapa mereka sesungguhnya adalah sesama anak manusia. Begitu juga dengan mereka, orang-orang keturunan Tionghoa.
Buku yang diterbitkan secara mandiri dan dikerjakan secara kerelawanan, serta dibiayai oleh para donatur yang peduli dengan keberagaman. Buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia” merupakan wujud nyata bahwa masih banyak orang yang peduli dengan persaudaraan dan berbangsa, bahwa perbedaan itu alat pemersatu seperti semboyan kita Bhineka Tunggal Ika. Buku ini akan di launching serentak di 20 Kota di Indonesia pada tanggal 21 Maret 2018, bertepatan dengan hari anti diskriminasi.
Post a Comment