Header Ads

Deretan Ancaman Perempuan Buruh Migran


Poedjiati Tan- www.konde.co

Jakarta, konde.co- 18 Maret 2018 lalu merupakan masa kelam bagi buruh migran Indonesia. Indonesia kembali berduka dengan berakhirnya hidup buruh migran, M Zaini Misrin Arsyad, dengan cara yang tidak bisa diterima akal nurani, melalui eksekusi mati pada tanggal 18 Maret 2018 oleh pemerintah Arab Saudi. Zaini didakwa membunuh majikannya sejak tahun 2004.

Dan sebelumnya ada sejumlah buruh migran perempuan juga mengalami nasib yang tak jauh beda.

Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa hukuman mati tidak hanya membunuh yang dipidana mati, tapi juga seluruh keluarganya.

Komnas Perempuan memantau 3 cluster, yaitu buruh migran yang sedang menanti eksekusi, sudah dieksekusi dan yang berhasil dibebaskan. Dampak-dampaknya antaralain: rapuhnya daya bertahan keluarga akibat ketakutan masa menanti dan perasaan gagal melindungi, sehingga mudah mengundang kematian dan sakit anggota keluarga, gangguan kejiwaan, padam harapan hidup anak-anak mereka yang membuat anak-anak tersebut buta huruf, jadi kuli, dll.

Menurut komisioner Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah ada yang berdampak pada keretakan rumah tangga, karena saling menyalahkan dan rasa bersalah, ada beberapa sejarah perempuan terpidana mati “dimatikan” sebelum kematian fisik, karena ketidaksanggupan keluarga menghadapi eksekusi, pemiskinan akut untuk proses penyelamatan baik untuk mobilitas atau untuk biaya perlindungan spiritual yang cenderung “lapar” biaya.

“Yang pasti perempuan-perempuan terpidana mati tersebut mayoritas korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan korban kondisi kerja domestik yang represif, sehingga dakwaan kriminal yang dilakukan juga tak lepas dari upaya menyelamatkan diri dari kekerasan seksual yang mengancamnya,” kata Yuniyanti.

Komnas Perempuan juga melihat bahwa Indonesia akan semakin kehilangan justifikasi moral untuk melindungi warga negaranya di luar negeri yang terancam hukuman mati, apabila Indonesia masih gencar melakukan eksekusi dimana sejumlah kasus yang sudah dan nyaris dieksekusi, padahal terindikasi korban unfair trial dan korban trafficking.

Kasus-kasus hukuman mati, selalu sangat berkait erat dengan kesigapan negara untuk cepat dan gigih melindungi. Sejumlah kasus terjadi karena keterlambatan rezim masa lalu, juga alasan yang dikemukakan negara, karena terlambat atau tidak adanya notifikasi otoritas lokal pada konsuler Indonesia, dimana negara baru tahu setelah ada putusan inkracht

“Eksekusi Zaini Misrin Arsyad, jangan sampai disusul dengan eksekusi lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Setidaknya dua perempuan pekerja migran Indonesia di
Arab Saudi sedang  dalam posisi di ujung tanduk  eksekusi, walaupun negara  menginformasikan berbagai upaya tengah dan telah dilakukan.”

Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya  menulis surat kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan mendapatkan balasan tentang informasi perkembangan kasus dan upaya yang tengah dilakukan negara atas 3 kasus genting yang ditanyakan. Informasi tersebut, juga dilanjutkan ke PBB yang turut mengkhawatirkan situasi 3 kasus ini.

Pada intinya, Komnas Perempuan mendapatkan informasi posisi kasus dan sejumlah upaya yang tengah dilakukan pemerintah Indonesia, termasuk kasus Zaini yang sebetulnya tengah diajukan peninjauan hukum kembali untuk memastikan prinsip fair trial.

Panduan Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984) yang mengacu pada Kovenan Sipil Politik menegaskan bahwa: “Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak sedikitpun ada celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian”.

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati menyatakan bahwa Komnas Perempuan akan mendorong pemerintah Arab Saudi meratifikasi konvensi Wina tentang relasi konsuler, yang dalam artikel 36 menyatakan bahwa otoritas lokal harus menginformasikan segera apabila ada warna negara  asing yang berhadapan dengan hukum kepada konsuler warga negara tersebut. Ketidakmauan untuk ratifikasi, menandakan rendahnya penghormatan pada negara-negara lain, juga rendahnya penghormatan pada hak dasar seseorang yang dieksekusi.

“Kami juga mendorong Presiden Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri dan organ-organ strategis lain untuk saling bersinergi menyelamatkan daftar/ list Buruh Migran Indonesia (BMI) di Arab Saudi yang terancam hukuman mati dengan segala upaya yang maksimal. Selain itu, mendesak pemerintah Arab Saudi untuk bertanggungjawab atas eksekusi Zaini dimana yang bersangkutan masih menempuh peninjauan kembali proses hukum.”

Selain itu mendorong PBB untuk mendesak Arab Saudi meninjau dengan cermat kasus-kasus kekerasan berbasis gender untuk jadi pertimbangan pembebasan hukuman mati, termasuk mendorong penghapusan hukuman mati di Arab Saudi dan seluruh dunia dengan penghukuman yang lebih manusiawi, menyerukan pada Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan seluruh dunia termasuk Indonesia untuk bersama-sama melakukan penghapusan hukuman mati.

Dan terakhir meminta pemerintah daerah untuk memberikan hak pemulihan keluarga korban terpidana mati baik pemulihan psikis, fisik, ekonomi dan hak rehabilitatif.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.