Kelahiran tinggi, mengapa laki-laki di Jawa Barat enggan ikut KB vasektomi?
Asmanedi, Universitas Indonesia
Pada 2016, di Jawa Barat, jumlah penduduk mencapai 46,7 juta jiwa, tertinggi dari seluruh provinsi Indonesia.
Pertumbuhan penduduk di sana hampir 2% setiap tahun, di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Setiap tahun, di provinsi itu bertambah 900 ribu hingga 1 juta jiwa.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat akan menjadi masalah serius bila tidak diimbangi oleh kemampuan negara menyediakan akses ke sumber pangan, energi, tempat tinggal, layanan pendidikan dan kesehatan, dan akses pekerjaan.
Salah satu cara menahan laju pertumbuhan penduduk adalah program keluarga berencana (KB) dengan Metode Operasi Pria (MOP) alias vasektomi. Vasektomi dilakukan dengan cara bedah atau operasi minor untuk mencegah sperma bercampur dengan air mani saat laki-laki ejakulasi. Metode ini merupakan jenis kontrasepsi jangka panjang dan sangat efektif untuk pengaturan dan pengendalian kelahiran untuk kaum laki-laki.
Namun, penelitian kami pada 2015 menunjukkan pengaruh pilihan personal, sosial, atau akses terhadap layanan vasektomi membuat metode ini tidak populer di kalangan laki-laki di Jawa Barat.
Kondom jauh lebih populer dan disukai di kalangan laki-laki ketimbang vasektomi.
Keluarga berencana
Program KB tidak hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki. Namun laki-laki nyatanya hanya sedikit yang ikut program keluarga berencana yang menggunakan kontrasepsi.
Di wilayah Jawa Barat, menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, hanya 4% laki-laki kawin yang menggunakan kondom saat berhubungan seks, 1% senggama terputus, dan hanya 0,2% yang menggunakan Metode Operasi Pria (MOP) alias vasektomi..
Peserta KB aktif secara keseluruhan (perempuan dan laki-laki) di Jawa Barat pada 2012 adalah 60,1 % dari para pasangan usia subur. Di tingkat nasional di seluruh Indonesia, perempuan berstatus kawin berusia 15-49 tahun yang melaporkan penggunaan kondom dan senggama terputus masing-masing 2 %, 1 % pantang berkala, dan sterilisasi kurang dari 1%.
Dalam penelitian ini, kami mewawancarai 56 informan, terdiri dari laki-laki pemakai vasektomi dan perempuan yang pasangannya pemakai vasektomi, pasangan usia subur yang tidak menggunakan kontrasepsi apa pun, petugas kesehatan, petugas kantor KB kecamatan, kader desa, dan para tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat. Data kami ambil dari Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi; Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi; Kecamatan Lewi Sadeng, Kabupaten Bogor; Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor; dan Kecamatan Beji, Kota Depok.
Dari mereka terungkap alasan mengapa sedikit laki-laki di Jawa Barat yang ikut keluarga berencana dengan vasektomi. Berikut ini alasan-alasan mereka:
Alasan keyakinan agama
Mereka berpendapat bahwa ajaran Islam tidak mengharamkan keluarga berencana, tapi titik masalahnya adalah metode apa yang dipilih. Ada yang berpendapat bahwa ajaran Islam tidak menolak vasektomi bila niatnya untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga. Pendapat lain mengatakan vasektomi haram hukumnya apa pun niatnya. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa meski metode itu hukumnya haram, dibolehkan menggunakannya jika keadaan memaksa, seperti karena kondisi kesehatan istri.
Alasan yang berbasis keyakinan agama ini, sangat tergantung pada komunitas keagamaan individu bertempat tinggal dan bergaul serta menjadi anggota dari komunitas.
Alasan sosial ekonomi
Laki-laki dan pasangannya tidak bersedia divasektomi karena khawatir akan dampak yang ditimbulkannya. Vasektomi dianggap akan merugikan laki-laki maupun pasangannya, baik bersifat sosial maupun ekonomi. “Mitos” bahwa vasektomi akan meningkatkan kemampuan seksual suami, membuat beberapa istri khawatir suami akan menikah lagi atau selingkuh. Namun, ada juga anggapan bahwa suami divasektomi akan membuat kemampuan seksual suami menurun. Anggapan lain bahwa suami divasektomi akan menurunkan stamina, sehingga mengganggu suami dalam aktivitas mencari nafkah, apalagi jenis pekerjaan yang mengandalkan otot.
Alasan kesehatan
Sejumlah laki-laki tidak bersedia divasektomi karena khawatir muncul masalah kesehatan setelah operasi, yang dianggap sebagai dampak dari penggunaan vasektomi. Sementara itu, pemerintah tidak menjamin pengobatannya.
Anggapan-anggapan tersebut secara sosial menyebar di tengah masyarakat dan menjadi “seperti benar” adanya. Karakteristik masyarakat yang masih guyub cenderung menyimak anggapan umum dan menjadikan hal itu sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
Alasan eksternal
Alasan-alasan lainnya terkait dengan faktor ekternal: pelayanan KB yang tidak selalu tersedia, tidak tersedianya dokter yang ahli operasi vasektomi, fasilitas kesehatan yang jauh dari jangkauan warga masyarakat, dan petugas yang kurang ramah.
Satu alasan dengan alasan lainnya sebenarnya saling terkait dan bahkan saling memperkuat. Alasan ini yang menjadi dasar bagi laki-laki maupun pasangan mereka di provinsi ini tidak bersedia divasektomi. Konteks masyarakat atau karakteristik masyarakat, seringkali mewarnai alasan yang disampaikan mereka. Misalnya:
“Bapak-bapak takut MOP karena di kampung kerjaannya kan berat, khawatir sakit. Ada juga yang takut lemah (dalam berhubungn seks). Kakak ipar saya udah dari dulu MOP, tapi sekarang sudah meninggal. Dia cerita malah lebih kuat (dalam berhubungan seks).”
“Saya berusia 57 tahun. Setelah MOP, ereksi bagus, tidak berubah. Kalau ada malah masalah itu kebanyakan sugesti saja. Kadang ada omongan dari luar yang memengaruhi, jadi takut ikut MOP.”
Masyarakat di desa dan kota: kesamaan dan perbedaan
Laki-laki di desa dan kota memiliki alasan yang hampir serupa ketika enggan divasektomi. Perbedaannya, dalam hal alasan keyakinan. Di pedesaan umumnya pemukiman terpusat di wilayah tertentu misalnya di sekitar pusat kegiatan keagamaan dan pusat pendidikan keagamaan dan rumah tokoh agama. Sementara di perkotaan, mereka menyebar tempat tinggalnya, namun mereka memiliki komunitas keagamaan yang sama (kelompok pengajian tertentu, atau organisasi keagamaan tertentu) lintas wilayah.
Masyarakat perkotaan cenderung lebih terbuka, lebih berpendidikan, dan lebih beragam strata sosial maupun ekonominya, sehingga, lebih mandiri (otonom) dalam mengambil keputusan. Implikasinya adalah informasi tentang dampak vasektomi yang sifatnya muncul dari mulut ke mulut, kurang mendapat perhatian dan tidak dijadikan alasan menolak mereka divasektomi.
Masyarakat perkotaan cenderung lebih mandiri dalam menemukan pengetahuan atau informasi, sehingga persoalan dampak divasektomi itu ditanggapi lebih rasional. Berbeda dengan masyarakat di perdesaan, “desas-desus” dan “kabar burung”, masih memainkan peran penting dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan terkait vasektomi.
Vasektomi adalah keputusan sosial
Pengambilan keputusan untuk vasektomi oleh para suami dari pasangan usia subur, sebenarnya adalah sebuah keputusan yang bersifat sosial, bukan bersifat individual. Maksudnya, keputusan itu diambil seseorang setelah dirinya mendapatkan pengaruh, informasi, dan pembelajaran, dari pihak lain. Keluarga inti, keluarga luas, teman-teman sebaya, dan tokoh-tokoh agama setempat merupakan pihak lain yang berpengaruh, baik melalui mekanisme formal—seperti penyuluhan—maupun informal melalui perbincangan atau obrolan antar tetangga atau di warung kopi.
Ada kecenderungan mekanisme informal lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan individu. Bagaimana pengaruh tersebut berlangsung, bagaimana cara kerja dari aspek-aspek tersebut, seringkali terkait juga dengan bagaimana karakter masyarakat di tempat mereka bermukim.
Apa jalan keluarnya?
Pemberian informasi dalam bentuk penyuluhan yang lebih baik dan berkelanjutan adalah salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi laki-laki agar bersedia divasektomi. Pemberian informasi harus dilakukan secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah terkecil (desa). Petugas yang dibebani tugas untuk penyuluhan tersebut harus menguasai isu mengenai vasektomi.
Penyuluh sebaiknya petugas laki-laki karena peserta vasektomi adalah laki-laki. Waktu penyuluhan sebaiknya di luar hari kerja sehingga bisa dihadiri oleh mayoritas laki-laki.
Lokasi penyuluhan juga penting untuk diperhatikan, sehingga para peserta akan merasa nyaman untuk hadir. Mungkin di rumah penduduk lebih nyaman ketimbang di balai desa atau Puskesmas. Penyuluhan juga sebaiknya menyertakan akseptor MOP sebagai narasumber, sehingga peserta dapat menjadikannya sebagai rujukan.
Perlu dipikirkan adanya kompensasi yang menarik bagi laki-laki yang divasektomi, supaya mereka tertarik metode KB ini. Misalnya, ada warga yang mengusulkan laki-laki yang ikut vasektomi diberi dana Rp5 juta. Dalam kaitan layanan medis, perlu meningkatkan layanan operasi vasektomi baik pada aspek kemudahan akses, kecepatan, maupun standar operasional yang jelas dan baku petugas kesehatan.
Asmanedi, Peneliti Lembaga Demografi, Universitas Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment