Cerita Perempuan yang Terhubung dengan Modal Usaha
*Raisya Maharani- www.Konde.co
Bogor, Konde.co - Usianya 62 tahun, bertubuh kecil, kulit cokelat dengan tinggi sekitar 155 sentimeter. Ia tengah menggodok bahan baku tahu di sebuah bilik kayu di luar rumahnya saat kami-rombongan Village Tour dari Lembaga Amartha Fintech berkunjung ke rumahnya pada penghujung tahun 2017 lalu. Amartha merupakan Lembaga Keuangan Mikro dengan misi menghubungkan pelaku usaha di pedesaan yang kesulitan mendapat modal usaha.
Dengan senyum mengembang ia menyalami kami dan memperkenalkan diri sebagai salah satu pengusaha mikro penerima pinjaman modal usaha dari Amartha.
Namanya Ibu Ronih, Ia menjalankan bisnis tahu rumahan di Kecamatan Ciseeng Kabupaten Bogor sejak tahun 2000. Ibu Ronih adalah satu dari sekian perempuan di Ciseeng yang menjadi peminjam modal usaha dari Amartha. Dapur usaha tahu-nya beroperasi di halaman luar rumahnya, di sebuah bilik kayu berukuran 3 x 2,5 meter dan memperkerjakan tiga perempuan yang masih anggota keluarga besarnya. Kondisi finansialnya jauh dari standar layak.
Kehidupan Bu Ronih dan keluarganya hanya bergantung dari produksi tahu dan sumbangan uang dari anak kandungnya yang bekerja di Tangerang. Hanya produksi tahu yang paling dapat mereka andalkan karena kemampuan itu diturunkan dari keluarganya. Sebelum Amartha masuk ke Ciseeng, modal usaha tahu ini mengandalkan tabungan Bu Ronih dan suaminya.
Per-hari bisnisnya mampu menghasilkan 40 tahu per hari dengan pendapatan bersih Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Pendistribusian dilakukan menggunakan transportasi publik ke pasar Parung Panjang. Karena tidak menguntungkan, bisnis tahunya berhenti pada 2007 selama 5 tahun berikutnya.
Selama vakum, Bu Ronih menggantungkan hidup kepada hasil ladang orang yang digarap oleh suaminya di samping subsidi uang dari anaknya. Semenjak berhenti dari usaha tahu, finansial hidupnya tidak menentu. Terlebih ada tujuh kepala di dalam rumahnya yang harus diberi makan.
"Kalau panen singkong sedang banyak ya kami untung, kalau tidak ya seadanya," kata Bu Ronih di sela-sela kunjungan yang diadakan Amartha. Kunjungan itu merupakan acara rutin yang diadakan Amartha untuk memantau perkembangan bisnis dan proses pengembalian dana dari peminjam.
Pada 2012 berkat sumbangan dari anak-anaknya, Bu Ronih bisa kembali berbisnis tahu. Tapi tidak begitu menguntungkan. Keadaan mulai membaik ketika seorang tetangganya memberi tahu ada lembaga yang bisa memberikan pinjaman dana untuk modal usaha di Kampung itu. Bu Ronih bergerak cepat mengikuti tetangganya untuk mendatangi Amartha pada tahun 2015.
Ia tidak sendiri, kala itu ibu-ibu lain di Kampung yang sama juga bersemangat untuk meminjam dana kepada Amartha. Bekerjasama dengan Amartha tidak hanya sekedar transaksi pinjam dan meminjam saja. Lembaga peminjaman modal usaha mikro tersebut juga mengimbangi peminjaman dana dengan kegiatan pemberdayaan dan pemantauan untuk Keterbukaan transaksi dana melalui pembentukan koperasi. Para peminjam dana, diberikan penataran selama lima hari untuk mengenal konsep dan kerjasama dengan Amartha.
Kegiatan pemberdayaan dan pemantauan transaksi itu dilakukan dengan membentuk koperasi. Koperasi Amartha yang diberi sebutan Majelis. Majelis ini merupakan kumpulan warga peminjam dana yang rutin mengadakan perkumpulan berkala untuk saling memantau proses peminjaman, perkembangan bisnis dan proses pengembalian dana.
Anggota Majelis atau koperasi Amartha ini berperan untuk saling membantu keterbukaan transaksi dana pinjaman dari Amartha, bertukar wawasan untuk mengembangkan bisnis masing-masing dan membantu mengawal proses pengembalian pinjaman. Ibu Ronih berkesempatan menjadi peminjam modal pada 2015 kala itu sebesar Rp 3 juta rupiah.
Maksimal dana sesuai ketentuan Amartha maksimal hanya sebesar itu. Pinjaman itu memiliki batas waktu pengembalian yang fleksibel menyesuaikan kemampuan peminjam dan tanpa bunga. Dari pinjaman itu, Bu Ronih mulai bisa menambah jumlah produksi dari semula 40 tahu per hari menjadi 70 sampai 80 per hari. Bisnisnya pun mulai berkembang, ia mulai bisa mencicil mobil bak untuk mempermudah distribusi tahu ke pasar-pasar.
Keuntungan bersih yang ia miliki dari penjualan tahu setiap harinya sebesar Rp 250 ribu, tetapi jika sedang sepi ia hanya mendapatkan sekitar Rp 150 ribu. Kondisi keuangannya memang ia rasakan membaik berkat kehadiran Amartha. Bu Ronih kini memegang peranan sebagai tulang punggung keluarga.
Bisnis tahunya ia kelola sendiri mulai dari manajemen keuangan, pegawai dan juga ke urusan teknis pembuatan. Suami Bu Ronih sesekali membantunya dengan bertukar jadwal membuat tahu. Selebihnya, suaminya mengurus empat ternak sapi yang mereka miliki untuk dijual setiap menjelang hari raya lebaran haji.
Ibu Ronih bilang, suaminya tidak mau mengurusi bisnis tahu karena alasan stamina tubuh. Usia suaminyanya 65 tahun, tiga tahun lebih tua daripada Bu Ronih. Ia mengakui adanya ketimpangan pembagian tugas dengan suaminya itu.
Terlebih lagi karena selain bisnis, urusan domestik masih diurus oleh Bu Ronih dengan bantuan anak-anaknya yang tinggal serumah dengannya. Namun ia merasa tak ada jalan lain karena kesehatan dijadikan alasan oleh suaminya.
"Berat ya berat tapi mau bagaimana lagi tetap harus dijalani," ujar Bu Ronih.
Setelah pinjaman pertamanya ke Amartha dirasa sukses mengembangkan finansialnya, Bu Ronih berencana mengajukan peminjaman kedua sebesar Rp 7 juta. Uang itu ingin ia gunakan untuk memperbaharui beberapa mesin pembuat tahu yang baru dan merenovasi dapur pembuatan tahu.
Pada setiap kunjungan kepada mitra (peminjam dana) staf Amartha menjalankan tugas pemantauan proses pembayaran utang. Sekaligus mencatat rencana-rencana pengajuan peminjaman baru yang ingin dilakukan mitra serta menjadi konsultan bisnis yang mereka jalani.
Amartha berdiri pada 2010 sebagai Lembaga Keuangan Mikro yang bertujuan membantu pelaku usaha di pedesaan yang kesulitan mendapat modal usaha. Berangkat dari keprihatinan terhadap ketimpangan sosial, seorang mantan konsultan multinasional dan lulusan bisnis Institut Teknologi Bandung tergerak untuk mendirikan Amartha.
Amartha kemudian bertumbuh untuk membantu meminjamkan dana bagi para pelaku usaha para perempuan di desa. Dalam sebuah diskusi yang digelar 16 Film Festival di Kemang, Jakarta pada awal Desember 2017 diceritakan bahwa para perempuan yang kemudian meminjam dana ini mempunyai modal usaha secara ekonomi. Ada perempuan yang meminjam dana kemudian mempunyai usaha toko kelontong, ada yang awalnya berjualan makanan di pasar, kemudian mempunyai usaha katering yang maju pesat (Bersambung)
*Raisya Maharani, Mantan jurnalis Detik.com, saat ini menjadi jurnalis lepas di beberapa media dan pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI).
Post a Comment