Menjadi Pekerja Lepas, Solusi atau Persoalan?
Sica Harum dan Luviana- www.Konde.co
Bekerja di rumah, tak selalu kondusif.
Teman yang bekerja freelance sebagai desainer grafis, dan mengerjakan layout-an, pernah bercerita. Jika ia bekerja di rumah, orangtuanya akan selalu tergoda meminta ia melakukan ini dan itu. Tak mungkin menolak, ia pasti mengerjakan. Tapi begitu kelar kerjaan dari orangtua, konsentrasinya sudah keburu buyar.
Padahal ia butuh waktu tak sebentar untuk kembali “tune in” dengan ritme kerjanya.
Seorang teman perempuan lain, yang memutuskan bekerja di media kreatif lain, yaitu sebagai penerjemah lepasan, juga mengalami distraksi serupa saat di rumah. Ia kesulitan membagi garis tegas kapan bekerja sebagai penerjemah, kapan mengerjakan pekerjaan domestik. Padahal ia cuma punya waktu sekitar 3 jam, dari jam 9-12 siang sebelum anak pulang sekolah.
“Lingkungan itu penting, kalo buat aku, ya. Ya, kali mindset-ku belum ajeg.”
Lingkungan ini maksudnya: lingkungan kerja.
Lalu apa yang mereka lakukan?
Ada yang memilih bekerja di kafe, ada yang memilih nge-kost di sebuah kamar, hanya untuk bekerja selama 1-2 bulan. Pilihan lain, nebeng di ruang kerja teman atau sekalian sewa co-working space yang makin menjamur saat ini.
“Sebab aku ini butuh mental visual bahwa pergi ke suatu tempat untuk bekerja. Jadi, agak sulit ya kerja di rumah,” ujarnya lagi.
Namun hal ini bisa disiasati dengan bekerja bersama-sama. Caranya, menyewa ruang kantor secara bersama. Sesama pekerja media kreatif, sering melakukan ini. Di kantor ini, juga sering ada ide bersama, gawe bersama yang kemudian terwujud dalam kerja-kerja baru. Kantornya bisa sangat sederhana, cukup 1 kamar yang berisi 3 meja kursi yang kemudian dibayar bareng di akhir bulan.
Walau hal ini bukan tanpa resiko.
Misalnya, tiba-tiba beberapa teman pekerja kreatif tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan mereka, karena sistem kerja mereka yang tanpa kontrak. Inilah yang menjadi keprihatinan para pekerja kreatif. Tanpa kontrak, lalu diputus secara tiba-tiba. Kantor bersama yang mereka bangun ini juga raib secara tiba-tiba karena mereka tiba-tiba tidak kuat lagi membayar.
Di satu sisi, bagi perempuan, mungkin lebih enak kalau bekerja dengan paruh waktu seperti ini, misalnya ia bisa membagi waktu untuk kerja di rumah dan kerja di kantor bersama ini. Dari segi waktu, mereka sendiri yang mengatur. Namun apakah pekerjaan ini sudah ada kontrak kerjanya? Sudah ada jaminan asuransinya misalnya?
Pertanyaan lain dari perspektif feminis misalnya: apakah hanya perempuan yang harus mengatur waktu kerja di rumah dan di luar? Mengapa laki-laki tidak?
Jika ada asuransi kerja, ada kontrak kerja tertulis, maka para pekerja media kreatif bisa mengatur nafasnya. Untuk berapa lama bisa mengontrak kantor, atau berapa lama jaminan mereka bisa mengatur pendapatan untuk kantor yang disewa secara bersama-sama ini?
Meningkatnya jumlah pekerja kreatif ini memang menjadi trend di dunia saat ini. Orang memandang bahwa bekerja secara lepas begini memberikan harapan baru karena waktu bisa diatur sendiri. Namun kenyataannya jauh lebih rumit. Karena pekerja kreatif benar-benar bekerja secara lepas, tanpa kontrak dan tanpa asuransi kerja.
Inilah yang sangat mendesak untuk diperjuangkan.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)
Post a Comment