Marlina Si Pembunuh Empat Babak, Perempuan Menolak Kalah
*Achmad Muchtar- www.Konde.co
Judul film: Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak | Durasi: 93 menit | Sutradara: Mouly Surya | Pemain: Marsha Timothy, Egi Fedly, Dea Panendra, Yoga Pratama | Produksi: Cinesurya, Kaninga Pictures, Shasha&Co., Astro Shaw | Tahun: 2017
Perjuangan orang-orang marginal atau terpinggirkan selalu mencuri perhatian. Biasanya mereka digambarkan tidak berdaya atas struktur sosial yang mengungkungnya. Seolah menjadi manusia yang serba salah pun dapat menjadi drama yang menyedihkan.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak bertutur mengenai manusia marginal, yaitu perempuan, yang seolah menjadi kelompok yang harus kalah dalam kungkungan kultur sosialnya. Seolah sejak lahir, perempuan harus menjalankan kodratnya seperti itu. Harus menerima segalanya seperti itu.
Dalam Marlina, Mouly Surya ingin menggugat mengenai ketidakadilan gender yang seperti itu. Yang sangat merugikan bagi dirinya sebagai perempuan.
Sejak menit-menit awal, Marlina menyuguhkan keadaan Sumba yang kelihatannya indah karena bentangan alamnya yang luas bak daerah di Texas, Amerika Serikat, tetapi sebenarnya kering kerontang. Jarak antar-rumahnya sangat jauh sehingga di suatu bentangan sabana yang luas, tak mengherankan jika hanya terdapat satu rumah mungil.
Hal itulah yang membuat Marlina (Marsha Timothy), seorang janda yang baru saja ditinggal mati oleh suami, tak bisa berkutik ketika kepala perampok, Markus (Egi Fedly), berencana merampok dan memerkosanya secara terang-terangan. Markus tiba-tiba saja masuk sebagai tamu tak diundang.
Hal ini seolah menggambarkan bahwa dalam dunia patriarkal, laki-laki bebas menjamah perempuan. Sebagai tamu, Markus bebas meminta hidangan karena ia menyebutkan dirinya sebagai tamu. Dalam kultur di Indonesia, khususnya, tamu adalah raja. Mereka harus diperlakukan sebaik mungkin. Karena hal itulah, sebagai sosok perempuan, yang sejatinya harus bisa masak sebagai kodratnya melayani laki-laki,
Marlina tidak menolak ketika Markus menginginkan dibuatkan makan malam berupa sop ayam. Apalagi ketika Markus berkata bahwa, ia tak sendirian karena ada enam perampok lagi yang akan datang. Pun juga ketika Markus berkata bahwa ia akan memerkosanya, Marlina seolah tak berdaya. Marlina bisa saja lari, tetapi hal itu urung dilakukan mengingat walaupun bentangan alam di luar sangat luas, tetapi sebenarnya itu mengimpit.
Jika saja Marlina lari untuk menghindari perkosaan terhadap dirinya, ia tidak bisa lari jauh karena sudah pasti Markus dan kawan-kawannya bisa dengan cepat mengejarnya. Apalagi transportasi di daerah itu minim sekali. Digambarkan dengan orang-orang menunggu truk yang lewat di adegan-adegan film Marlina ini. Salah satu cara yang tepat untuk menghindari perkosaan terhadap dirinya adalah meracuni mereka.
Marlina tahu, sebagai janda yang tinggal sendirian di sebuah rumah, ia tidak mungkin terbebas dari bahaya. Makanya, buah saga sebagai racun pun sudah ia siapkan di lemari rias di kamarnya. Empat perampok datang menunggu hidangan makan malam di ruang tamu, yang juga terdapat mumi suami Marlina. Markus masuk kamar Marlina. Sebagai kepala perampok, ia ingin dilayani secara istimewa.
Dengan sungguh-sungguh, Marlina menyiapkan hidangan makan malam. Saat ia memasak, dua perampok datang lagi, mencuri hewan-hewan ternaknya, berupa sapi, babi, dan ayaam. Mereka mengangkutnya entah ke mana. Marlina tetap saja pasrah. Hingga tinggal lima orang saja yang ada di rumah Marlina.
Empat orang di ruang tamu sudah berhasil diracuni, sedangkan Markus belum berhasil diracuni karena hidangan tiba-tiba terjatuh saat Markus bangun di kamar Marlina. Saat itu juga Markus ingin memerkosa Marlina. Marlina tak berkutik. Markus berhasil memerkosa Marlina dan di sinilah perkosaan secara fisik terjadi.
Ketika Markus dalam kondisi keenakan, Marlina pun segera meraih parang Markus, dan memenggal kepala Markus setelah ia ejakulasi.
Di sini, dapat ditarik sebuah tafsir bahwa perempuan jika ingin “menang” dari laki-laki, mereka harus melayaninya sampai kepuasan puncak, karena pada saat-saat seperti itu, laki-laki bisanya lengah sehingga mudah dilawan atau jatuh.
Demi memperoleh keadilan atas apa yang telah menimpanya. Marlina berniat ke kantor polisi yang letaknya sangat jauh, dengan membawa barang bukti berupa kepala sang perampok, Markus. Saat menunggu transportasi datang,
Marlina berjumpa dengan sahabatnya, Novi (Dea Panendra), yang tengah hamil 10 bulan. Awalnya, Novi ingin mengajak Marlina pergi bersamanya, termasuk ke gereja untuk melakukan pengakuan dosa. Namun, secara lantang Marlina menyatakan bahwa dirinya adalah korban dan dia merasa tidak bersalah sedikit pun. Marlina tetap ingin mencari keadilan dengan mendatangi kantor polisi, lembaga yang dipercayai Marlina akan menjadi pelindung dan penegak keadilan atas sesuatu yang telah dan akan terjadi pada dirinyaa.
Kontradiksi terjadi, Marlina yang merasa tidak bersalah, malah selalu dihantui Markus tanpa kepala. Hal tersebut menandakan tingkat kesensitifan perempuan dan posisi Marlina sebagai manusia. Walau bagaimanapun, Marlina adalah manusia, yang tahu bahwa memenggal kepala manusia adalah tindakan yang tidak manusiawi. Hantu tubuh tanpa kepala Markus seolah-olah merupakan tanda bahwa dalam diri Marlina, masih tersisa rasa penyesalan atas tindakannya itu.
Setelah mencapai tujuannya, Marlina masih bimbang. Apakah ia akan datang ke kantor polisi dengan membawa barang bukti atau tidak. Di sinilah perempuan lagi-lagi kalah. Setiba di kantor polisi, bukannya langsung menerima tindakan, Marlina justru harus menunggu para polisi yang sedang bermain pingpong. Dan, lagi-lagi juga Marlina harus kalah setelah ia mengetahui bahwa ekspektasinya untuk segera memperoleh keadilan masih saja terhambat.
Birokrasi yang rumit, tidak tersedianya alat karena terpencil, hingga hukum yang menangani kasus pemerkosaan yang lamban membuat Marlina yang notabene tidak sabaran membuatnya berpikir ulang. Apalagi, di luar sana masih berkeliaran dua perampok lainnya yang mengincar agar kepala Markus dikembalikan. Marlina kembali terpojok setelah mengetahui bahwa salah satu perampok itu mengancam nyawa sahabatnya, Novi, yang tertawan di rumahnya.
Dalam menghadapi berbagai cobaan yang harus dihadapi, Marlina hanya bisa menerimanya. Kalaupun ia tidak bisa membendungnya, ia akan meluapkannya dengan cara perempuan, yaitu menangis.
Lalu, yang bisa mengerti perempuan hanyalah perempuan lainnya.
Dalam film ini dihadirkan pula karakter anak kecil bernama Topan, yang mempunyai nama yang sama dengan anak laki-laki Marlina yang sudah meninggal, yang kemudian memeluknya. Hal yang sama juga terjadi pada babak terakhir: “Tangisan Bayi”.
Marlina si Pembunuh Empat Babak (2017) tayang kali pertama di Cannes Film Festival 2017 dalam sesi Directors’ Fortnight pada Mei 2017. Setelah itu, film ini melanglang buana ke berbagai festival film internasional, seperti Melbourne International Film Festival, Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival, hingga Sitges International Fantastic Film Festival yang memenangkan Marsha Timothy sebagai Aktris Terbaik, mengalahkan Nicole Kidman.
Tak dapat dimungkiri, Marsha Timothy memang bermain cemerlang dalam film ini. Ia berhasil menampilkan raut wajah getir, bimbang, hingga pasrah. Pujian juga hadir untuk aktris pendatang baru, Dea Panendra, yang bermain bagus. Tak dapat diacuhkan juga akting Egy Fedly yang kendati porsinya singkat, tetapi menohok. Pun juga sebagian besar pemain lainnya.
Dalam departemen akting, Marlina sangat bagus. Hal itu dibarengi dengan sinematografi yang juga cukup baik. Alam Sumba disajikan sedemikian menawan dengan pemilihan palet warna yang tepat, juga shot-shot panjang yang artistik.
Jika diamati, tidak ada pergerakan kamera sama sekali. Dalam artian, adegan-adegannya disajikan dengan kamera statis atau diam, dalam artian dalam objeknya saja yang bergerak. Music score film ini juga sangat merdu, yang menyuarakan kegetiran sekaligus kebimbangan, yang juga jika diperhatikan dapat mengingatkan pada film-film western.
Hal inilah yang membuat kritikus film dari Variety, Maggie Lee, menyebut bahwa Marlina adalah film bergenre satay western. Hal ini membuat Marlina dapat disejajarkan dengan film dunia lain yang lebih dahulu populer dengan genre yang disebut bersama nama makanan khas, seperti spagheti western dari Italia, dengan film Django (1966) dan The Good, The Bad and the Ugly (1966). Hanya saja, dalam film Marlina, tidak ada aksi tembak-tembakan seperti di film-film western. Marlina lebih ke genre drama. Beberapa hal itu akan menjadikan Marlina sebagai film yang akan menjadi klasik untuk bertahun-tahun mendatang.
Sebagai sebuah film, Marlina si Pembunuh Empat Babak (2017) sangat kuat dalam hal kontennya, dalam hal apa yang ingin disampaikan. Tentang perjuangan untuk melawan ketidakadilan gender. Juga tentang nasib orang-orang marginal. Termasuk birokrasi di negara ini yang menyulitkan.
Namun, Marlina tampaknya lebih ke karya yang personal dari Mouly Surya. Dalam film, Mouly Surya membabat habis semua karakter laki-laki. Seolah laki-laki tidak diberi kesempatan untuk “berbicara”. Di luar itu, sebenarnya Marlina berhasil menyampaikan secara lantang mengenai ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan.
Dalam film ini perempuam digambarkan lemah dan tak berdaya dengan pusaran lingkungan yang patriarkal. Marlina berjuang untuk melawan, bahkan dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun. Hal itu sebagai gugatan atas kaumnya, yang marginal, yang seolah terlahir untuk didominasi oleh laki-laki.
Suara feminisme sangat kencang dilontarkan oleh Mouly Surya, sang sutradara. Ditambah akting yang bagus dari para pemainnya. Juga, secara teknis film ini berkualitas nomor wahid. Sajian lanskap Sumba yang eksotis dihadirkan dengan artistik, termasuk pemilihan palet warna yang menawan. Pun juga music score yang sungguh merdu.
Film ini memang membuat film Indonesia berada di level puncak dalam sajian sinema. Sungguh film yang mengagumkan.
(Gambar 1. Marsha Timothy berperan sebagai Marlina (marlinathemurderer.com)
(Gambar 2. Perjalanan Marlina untuk memperoleh keadilan (marlinathemurderer.com)
(Gambar 3. Marlina dan Novi (Dea Panendra) (marlinathemurderer.com)
Achmad Muchtar, lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 26 Oktober 1991. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Penyuka buku, sastra, film, dan sepi. Tinggal di Yogyakarta. Bisa disapa di Twitter: @achmadmuchtar.
Post a Comment