Melissa Karim: Membangun Solidaritas dengan Perempuan
Setiap tahun pada 25 November- 10 Desember, Indonesia memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagai bagian dari kampanye internasional menolak kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. 16 hari ini sebagai penanda masih banyak terjadinya kekerasan yang menimpa perempuan. www.konde.co menjadi bagian dari kampanye jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan #GerakBersama dan 16 FilmFestival. Dalam waktu 16 hari ini, kami akan menuliskan berbagai persoalan, ide dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan. Selamat membaca.
*Kustiah- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Ucapan Melissa Karim, salah satu volunteer ambasador festival film 16 hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan membuat saya terhenyak dan ingat akan beberapa hal.
Bahwa kata Melisa, sesama perempuan seharusnya kita bersaudara dan saling menguatkan. Mau mendengar, menjadi teman baik, dan berempati dengan orang lain. Karena, salah satunya dengan berbicara dan berbagi, kasus bunuh diri, pembunuhan, dan kekerasan terhadap perempuan bisa dihindari.
"Kasus bunuh diri, pembunuhan, dan kekerasan terhadap perempuan biasanya tidak terjadi tiba-tiba. Ada cerita panjang di balik itu semua. Dan kejadian yang tidak kita inginkan itu bisa kita hindari jika ada teman baik yang mau mendengar dan ikut ambil bagian," ujarnya kepada saya saat usai konferensi pers peluncuran pemutaran film 16 HKATP di Art Soceity, Kemang, pekan lalu.
Saat ini perempuan modern sudah berani tampil di depan publik. Dan sebagian besar dari mereka tampak tangguh. Padahal, kata Melissa, tak jarang dari mereka, yang disebut sebagai perempuan modern dan tangguh itu, tengah menghadapi persoalan berat akibat paradigma yang salah tentang perempuan. Mulai dari perlakuan diskriminatif, korban labeling, dan korban kuatnya budaya patriarkhi di dalam dunia kerja maupun di lingkungan keluarga.
Sesuai dengan tema kampanye festival film bahwa the future is equal, penyiar radio dan mantan presenter televisi ini berharap tak ada lagi diskriminasi terhadap perempuan.
Pengalaman Tidak Mengenakkan
Melissa sendiri pernah punya pengalaman tak mengenakkan selama menjadi 'teman baik', teman berbagi saat mendampingi temannya yang sedang menghadapi masalah berat. Ia juga tak jarang mencari tahu atau bahasa anak sekarang disebut 'kepo' untuk memastikan temannya yang dalam masalah itu baik-baik saja.
"Tak jarang saya 'ikut campur' urusan orang. Karena niat saya baik. Saya tidak mungkin diam sementara saya tahu bahwa teman saya itu sedang dalam masalah," ujarnya.
Saya sependapat dengan Melissa. Dua tangan kita tak cukup kuat untuk menghadapi persoalan yang menimpa perempuan di mana pun dan kapan pun. Kita perlu banyak tangan yang terulur, yang saling berempati manakala melihat perempuan lainnya sedang menghadapi kesulitan. Tangan-tangan kuat itu bisa saling menguatkan untuk bersama-sama mendorong kebijakan yang sensitif terhadap perempuan. Salah satunya memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk segera disahkan.
Suatu kali saat di sebuah stasiun seorang perempuan yang tengah hamil besar menangis saat saya memberinya minum dan menawarinya mengantar pulang. Dia tak henti-hentinya mengucap terima kasih sambil mengusap air mata. Padahal saya hanya membantu menenangkan anaknya saat rewel menangis dan teriak memukul-mukul ibunya. Anaknya berumur sekitar tiga tahunan. Menurut penuturan ibunya, anaknya dalam kondisi tidur saat mereka hendak turun. Dan dia memaksa anaknya bangun.
Saya pernah mengalami yang ibu itu alami. Jadi, melihat kondisinya yang tengah hamil besar, bepergian dengan anak yang rewel sendirian bukanlah perkara mudah. Jika di dalam rumah mungkin kita bisa membiarkan anak menangis hingga dia merasa tenang dan lega. Namun, di tempat umum jangan harap bisa demikian.
Yang ada kita malah diomeli, 'dipencurengi', disalahkan karena dianggap tidak bisa mengurus anak dan 'slentingan' kata "kasihan ya, anak masih kecil sudah hamil besar" oleh orang-orang di sekitar kita yang terdengar di telinga, yang justru bukan menyelesaikan persoalan. Tetapi malah membuat telinga merah dan membuat saya kala itu seperti perempuan yang paling malang sedunia.
Di lain waktu, masih di sebuah stasiun juga, saya melihat seorang perempuan menangis sesenggukan sambil menggendong anaknya yang berumur sekitat setahu. Tak jauh dari tempat ia duduk seorang lelaki berdiri sambil 'mencap-mencep' seperti menahan marah.
"Aku nggak akan pulang sebelum kamu memberi uang. Selama ini kerjamu untuk siapa? untuk minum, main dengan perempuan itu?" ujar perempuan itu setengah berteriak sambil mengusap air matanya yang bercucuran. Aku yang tak sengaja lewat di depannya kaget. Tentu saja orang-orang yang lewat, adik dan saudaraku yang jalan bersamaku juga tampak kaget.
Kuperhatikan mereka melihatnya sepintas sambil lalu.
Kukatakan kepada adikku supaya ia menunggu dan aku menghampiri perempuan yang berteriak tadi. Kulihat perempuan itu sudah menarik-narik dan memukuli badan suaminya.
"Aku sudah nggak kuat kamu beginikan terus mas. Sampai kapan mau begini terus," teriak perempuan itu.
Kudekati keduanya. Anak perempuan cantik berpipi gembil yang ada di gendongan tampak ketakutan. Karena keduanya sedang emosi aku mendekat dengan basa-basi terlebih dulu bertanya tentang umur anak, jenis kelamin, dan tempat tinggal mereka. Pekerja Rumah Tangga yang duduk di sebelahnya mengusap air mata. Tanpa kutanya ia mengatakan kesusahan yang ia alami. Lelaki yang disebut suami mengambil jarak, menjauhi istrinya. Kupegang bahu suaminya. Kukatakan betapa cantik dan sehat anak perempuan yang digendong istrinya.
"Banyak orang berjuang untuk memiliki anak dan tak sedikit orang tua yang berjuang supaya anak-anak mereka yang sakit lekas pulih mas. Anak mas sehat dan cantik. Jaga dia mas ya. Sayangi dia dan ibunya supaya kelak kalau dewasa jadi anak hebat," kataku yang entah mengapa tiba-tiba mendadak dari mulutku meluncur kata-kata seperti seorang motivator ulung sekelas David Pranata.
Dari pembicaraan antara suami istri itu, sepintas kuketahui betapa menderitanya seorang perempuan yang hidupnya diombang-ambingkan oleh suami. Dia menghadapinya sendirian. Sambil menangis dia bercerita bagaimana ia tak henti-hentinya berjuang dan bersabar. Bahkan ketika hamil besar ia memilih tinggal di depan kantor sebuah partai di kawasan Sudirman karena ia dan suaminya tak memiliki untuk mengontrak. Dan saat ini, ketika anaknya telah lahir dan berusia setahun suaminya masih tak berubah. Sering tak memberi istrinya uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sore itu ia mengatakan tak berani pulang karena ibu pemilik rumah petak yang ia sewa mengancam akan mengusirnya keluar jika pulang tak membawa uang. Jujur air liur tercekat dan dada saya mendadak sesak.
"Tak ada yang mustahil dalam hidup ini mbak. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya," entah bualan apalagi yang kukatakan.
Kusarankan keduanya berembuk dengan kepala dingin dan tidak menyelesaikannya dengan kekerasan. Kuberikan nomor teleponku kepada perempuan itu. Dan saat suaminya menghilang entah kemana kuulurkan uang yang tak seberapa untuk membelikan makanan anaknya dan ongkos untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pulang hati saya pedih. Entah sudah berapa banyak perempuan yang sudah saya temui sedang dalam kondisi menderita secara fisik dan psikis. Mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Mereka korban patriarkhi yang oleh sebagian orang anggap biasa.
(Melissa Karim Foto: Detik.com)
* Kustiah, Pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mantan jurnalis www.Detik.com
Post a Comment