Takut Istri
*Ika Ariyani- www.Konde.co
Waktu saya bekerja di lingkungan yang kental dengan budaya patriarkal, teman-teman lelaki yang sudah menikah memiliki hal-hal kecil yang saya simak:
Pada suatu kesempatan, kantor kami kala itu akan melaksanakan rekreasi akhir tahun. Ketika sedang rapat, salah seorang teman diminta untuk membawa mobilnya dalam acara ini. Ketika itu teman laki-laki ini berkata:
“Sebentar, saya tanya istri saya dulu.”
Lalu ia pergi ke luar dan menelepon istrinya.
Para lelaki di ruang itu lalu tertawa habis-habisan, mereka berseru, “Dia takut istri!, pasti mobil itu dibeli oleh istrinya.”
Perihal ‘takut istri’ ini merupakan lelucon yang digemari di lingkungan patriarkal. Mengetahui ada seorang lelaki yang kedapatan melakukan hal-hal seperti belanja di pasar, menjemur pakaian, pendapatnya dibantah istri di depan orang lain, pulang cepat saat nongkrong bareng teman lelaki, atau hal kecil seperti membuka pintu mobil untuk istrinya, pasti akan menjadi bahan pergunjingan yang disukai, dan pasti pada orang tersebut akan menempel label ‘takut istri’.
Saya tidak mengerti mengapa lelaki begitu angkuh sehingga mereka mengiklankan slogan bahwa suami yang takut istri itu cemen.
Sungguh aneh rasanya saat mengetahui realitas bahwa seorang lelaki yang jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang perempuan, dulu memandang bahkan menyentuh tangannya saja pun takut dan akan melakukan apa saja bahkan melampaui kemampuannya untuk mencuri hati pujaannya, tiba-tiba setelah menikah, mereka menuntut agar istri patuh padanya. How come?
Sesungguhnya, istilah takut istri mengindikasikan bahwa istri tidak boleh ditakuti karena perkawinan sejatinya adalah sebuah relasi antara keduanya. Apakah pernikahan hanya sebatas diartikan siapa yang menang, antara suami dan istri? Agar terlihat sebagai suami yang berwibawa di mata masyarakat? Supaya apa?
Sebagian perempuan juga mengamini bahwa suami takut istri adalah hal buruk, sehingga mereka yang sudah menikah sedapat mungkin menjaga relasi dengan suaminya.
Di satu sisi, perempuan di mata masyarakat juga sering diposisikan sebagai individu yang lemah dan bergantung kepada suami, Inilah yang selalu memberatkan perempuan. Sehingga perempuan selalu diidentifikasi sebagai orang yang takut kehilangan suaminya kemudian melakukan hal-hal berlebihan yang tidak ia sadari seperti cemburu berlebihan, mengatur suami, meminta perhatian suami sepenuhnya, membatasi aktivitas di luar rumah dan menganggap dirinya sebagai istri membutuhkan banyak perhatian karena telah menjalani hidup yang membosankan di rumah setiap hari.
Identifikasi inilah yang selalu memberatkan perempuan. Padahal pertanyaanya, mengapa perempuan mengatur suaminya? Benarkah laki-laki suami ini adalah orang yang mau bertanggungjawab atas perkawinan yang telah ia pilih? Benarkah ia paling banyak meninggalkan rumah, tak banyak berada di rumah, tak pernah membantu kesibukan domestik, pulang pagi, tidur dan tak melakukan apapun di rumah? Apakah ia memberikan perhatiaan pada istri dan anaknya seperti janjinya pada upacara perkawinan dulu?
Walau tidak semua relasi terjadi seperti ini. Karena hal tersebut tidak terjadi pada beberapa teman saya, mereka saling support satu sama lain, saling belajar, dan saling mengembangkan diri tanpa mempedulikan penilaian orang lain. Pasangan dipandang sebagai sahabat, partner, dan kekasih yang setara dengan dirinya, pasangan juga bebas untuk menjadi hebat dan memaksimalkan potensinya. Tidak ada ketakutan bahwa pasangan yang hebat akan meruntuhkan harga diri, karena sekali lagi, tidak ada persaingan dan kalah menang dalam rumah tangga.
Jadi sudahlah, berhenti menilai dan mengomentari hidup orang lain apalagi menstigmakan sebagai: suami yang takut istri.
Jika kita menertawakan seorang suami dan menyebutnya takut istri, maka setelah ia pulang ke rumah, ia akan menganggap istrinya adalah seseorang yang menyebalkan karena akibat sikap istrinya, ia mengalami perisakan oleh lingkungan sekitar. Tidak semua suami bisa mengabaikan bullyan tersebut, ada yang malah terpengaruh dan akhirnya malah membenci istrinya.
Teman saya tadi menelepon istrinya karena selalu sepakat untuk mendiskusikan dan mengkomunikasikan apapun dengan istrinya, ia menghargai pendapat istrinya, bukan berarti karena ia seorang suami, maka ialah yang selalu mengambil keputusan. Tidak ada yang perlu ditakuti dari seorang istri.
Istri adalah kini partnermu yang dulu membuatmu jatuh cinta karena kamu mengaguminya. Lalu, mengapa harus takut istri?
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Ika Ariyani, seorang penulis, tinggal di Surabaya dan aktif melakukan kampanye di sosial media
Post a Comment