Menyukai Rasa Pahit dengan Optimis
Sica Harum- www.Konde.co
Lidah saya, menyukai rasa manis. Tergila-gila rasa asin, dan bisa menoleransi rasa asam.
Namun satu dan lain hal, mungkin karena perasaan mellow seharian kemarin, mungkin karena satu dan lain kejadian yang membuat saya gusar, -tentang menjadi umat mayoritas di negeri ini- saya mulai berusaha berhenti sepenuhnya untuk menambah aksesoris pada satu dan banyak hal.
Dalam hidup. Dalam keseharian.
Karena itu barangkali, pagi ini, saya urung menambahkan gula pada secangkir kopi dengan uap panas yang masih mengepul. Tidak juga krimer. Tidak juga susu kental manis.
Saya mau berdamai dengan rasa pahit.
Memahami tentang rasionalitas, adalah salah satu hal yang pahit. Manusia diciptakan dengan alat pikir. Kita belajar belasan (atau mungkin puluhan) tahun untuk menjadi manusia yang rasional. Memilah mana yang benar dan salah. Berusaha menyelaraskan dengan mana yang baik dan buruk.
Tapi kita juga belajar, di mana-mana, rasionalitas tidak bisa menang atas emosionalitas. Pelaku dunia bisnis pasti khatam dengan hal ini, apalagi pelaku kegiatan periklanan. Itulah kenapa, pesan yang sangat rasional harus dibalut sedemikian rupa -bahkan norak dan kampungan- demi relevansi yang menyentuh audiens.
Apakah rasionalitas berkolerasi dengan tingkat pendidikan?
Tidak juga. Kita banyak melihat mereka yang berpendidikan tinggi pun sering gagap menegakkan argumentasi. Kita banyak melihat perempuan, kelompok minoritas yang diremehkan dengan berbagai argumentasi rasional.
Tidak juga. Kita banyak melihat mereka yang berpendidikan tinggi pun sering gagap menegakkan argumentasi. Kita banyak melihat perempuan, kelompok minoritas yang diremehkan dengan berbagai argumentasi rasional.
Apakah rasionalitas berkolerasi dengan tingkat penghasilan?
Tidak juga. Mereka yang punya banyak penghasilan bisa jadi malah jadi pemodal untuk hal-hal yang irasional.
Tidak juga. Mereka yang punya banyak penghasilan bisa jadi malah jadi pemodal untuk hal-hal yang irasional.
Dan barangkali, alasan mencintai negeri inipun semakin tidak rasional.
Lahir dan besar di sini, sebutan ‘perempuan Indonesia yang beragama Islam’ terasa lebih relevan bagi saya, ketimbang sebaliknya: ‘orang Islam yang berwarganegara Indonesia’.
Kita bisa memilih menjadi warga negara mana berdasarkan alasan-alasan rasional. Misalnya karena tawaran kehidupan yang lebih mudah.
Dan, sekarang saya ingin mencintai negeri ini untuk alasan-alasan sederhana saja. Karena sisi rasional seperti berhenti pada semua karya luar biasa yang menurut saya esensial, namun tenggelam dalam ingar bingar hal-hal yang sengaja dibuat rumit dan kompleks.
Saya menyesap kopi pahit sambil melihat tayangan langsung mereka yang menyanyikan lagu-lagu toleransi hari ini. Lagu-lagu yang melambangkan perdamaian, yang memperjuangkan perempuan dan kelompok minoritas.
Untuk itu semua, untuk segala alasan irasional, saya akan berdamai dengan rasa pahit. Karena memang itu adanya, sembari mengumpulkan semangat dan nyali untuk tetap optimis.
Melanjutkan hidup.
Melanjutkan perjuangan mencintai toleransi di negeri ini. Mencintai orang-orang yang memperjuangkan perempuan dan kelompok kecil di negeri ini.
Melanjutkan perjuangan mencintai toleransi di negeri ini. Mencintai orang-orang yang memperjuangkan perempuan dan kelompok kecil di negeri ini.
…
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
foto : kopitravel
Post a Comment