Ketika Seksualitas Menjadi Urusan Publik
Poedjiati Tan – www.konde.co
Bulan Mei bagi para aktivis LGBT adalah hari perayaan IDAHOT ( International Day Againts Homophobia and Transphobia). Bulan Mei harusnya sebagai bulan untuk mengkampanyekan penerimaan LGBT dan memerangi homophobia dan transphobia di masyarakat. Alih-alih menerima LGBT, justru di bulan Mei ini pasangan gay menerima hukuman cambuk di depan umum. Dan sebelumnya polisi melakukan penggerebekan dan penangkapan 141 pengunjung Atlantis gym Kelapa Gading pada Minggu 21 Mei 2017.
Meski telah didampingi oleh kuasa hukum dari Koalisi Advokasi untuk Tindak Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas Identitas & Seksual, para korban tetap diperlakukan secara sewenang-wenang oleh kepolisian se tempat dengan memotret para korban dalam kondisi tidak berbusana. Penggrebekan dan penakapan di Atlantis gym ini beredar luas di wa group ataupun di sosial facebook. Wajah dan tubuh mereka yang telanjang terpampang jelas tanpa di sensor. Mereka dengan keadaan telanjang diminta berjajar di lapangan dan didokumentasikan. Dokumentasi yang harusnya menjadi rahasia polisi tetapi menyebar ke publik. Foto tersebut menyebar viral baik melalui pesan singkat, media sosial maupun pemberitaan. Tindakan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan tidak manusiawi
Selang dua hari kembali kita melihat tindakan diskriminiasi terhadap pasangan gay dengan beredarnya video hukuman cambuk. Hukuman cambuk yang dilaksanakan di halaman Masjid Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh, Selasa 23 Mei 2017 adalah yang pertama kali dan disaksikan para penduduk. Mereka bersorak, memfoto dan membuat video dengan smart phone-nya, serta menyebarkan ke media sosial. Tidak hanya itu saja, mereka juga mengajak anak-anak untuk melihat adegan pencambukan.
Dua berita itu menuai komen yang sungguh menyesakan dada bila membacanya. Saya hanya membayangkan bagaimana perasaan keluarga mereka. Bagaimana masa depan dua korban hukuman cambuk? Apakah mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan setelah hukum cambuk? Mereka akan sulit melanjutkan kehidupan mereka disana. Keluarga mereka-pun akan menerima hukuman sosial. Begitupula dengan para pengunjung Atlantis gym yang tertangkap. Wajah mereka telah tersebar secara viral, bahkan diedit dengan berbagai komen. Padahal mereka mempunyai orang tua, kakak, adik, istri atau anak, yang juga mempunyai kehidupan sosial.
Akhir-akhir ini masyarakat seperti mempunyai kecenderungan terobsesi dengan kehidupan seks orang lain dan menjadi sexfobik. Mereka menjadi nyinyir mengurusi urusan ranjang orang yang seharusnya itu adalah masalah ppribadi. Apalagi bila itu berhubungan dengan kelompok Minoritas Identitas dan Seksual atau LGBT. Mereka makin keras dan mendadak menjadi moralis. Mereka seperti menjadi hakim-hakim kecil yang dengan ringan memberikan judgement dan kutukan. Media juga ikut memperparah dengan menggiring dan menjadikan pemberitaan tentang LGBT untuk menaikan rating dengan judul yang negatif. Media menggiring dan membentuk opini masyarakat bahwa gay adalah perbuatan seks bebas semata.
Dengan pemberitaan yang negatif dan homophobia membuat posisi LGBT makin terdiskriminasi dan sulit mendapatkan hak-haknya. Hak untuk mendapatkan pendidikan misalnya, Baru-baru ini Universitas Andalas Padang membuat persyaratan untuk membuat surat pernyataan bagi calon mahasiswa harus bebas LGBT. Calon mahasiswa diminta membuat surat pernyataan tidak termasuk kelompok LGBT dengan sanksi dikeluarkan bila di kemudian hari bila ketahuan. Meskpun akhirnya persyaratan itu dihapus dari webiste Universitas Andalas.
Belum lagi pengusiran teman-teman waria dari tempat kosnya karena dianggap mengganggu dan meresahkan. Sweeping di tempat kos-kos yang dilakukan baik oleh SATPOL PP, ormas-ormas mencari keberadaan LGBT.Tidak hanya itu penolakan terhadap lesbian di beberapa pabrik atau tempat kos dekat pabrik. Mereka tidak hanya ditolak bahkan ada beberapa yang dipecat dari pekerjaannya karena lesbian.
Dalam laporan Human Rights Watch (HRW) berjudul “Permainan Politik Ini Menghancurkan Hidup Kami: Komunitas LGBT Indonesia di Bawah Ancaman” yang dirilis Agustus 2016, disebutkan bahwa kelompok LGBT di Indonesia mengalami tindak kekerasan, ancaman, diskriminasi, dibenci, dan dilecehkan. Prasangka dan ancaman terhadap kelompok LGBT meningkat sejak tahun 2016, berbarengan dengan kian banyaknya ucapan diskriminatif dari pejabat negara ataupun dari para pemuka agama.
Pemerintah harusnya tidak melakukan pembiaran dan menunjukkan komitmennya untuk melindungi warga negara Indonesia dari kekerasan dan diskriminasi dengan menghapus aturan-aturan daerah yang diskriminatif, menolak pengajuan rancangan peraturan anti-LGBT, dan berjanji untuk mendukung kebebasan berekspresi dan keberagaman. Karena semua warga negara mempunyai hak yang sama dalam mendapatan pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan hak untuk hidup yang layak.
‘Man cannot be homophobic without having concerned himself with another’s sex life.’
~ Mokokoma Mokhonoana ~
Referensi :
Post a Comment