Aksi Catatan Hitam Buruh Perempuan: Pak Presiden Kapan Kami Mendapatkan Kerja, Upah dan Hidup Layak?
Jakarta, Konde.co- Dengan mengusung buku Catatan Hitam Buruh Perempuan, para buruh perempuan melakukan longmarch dari Bundaran HI menuju Patung Kuda, Jakarta.Aksi buruh tahun ini berbeda dengan aksi buruh di tahun tahun sebelumnya, karena istana ditutup oleh barikade polisi dan tentara. Diberikan pagar pembatas. Para buruh perempuan yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan (KAP) ini tak bisa ke kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan juga ke istana.
Aksi para buruh perempuan yang terdiri dari sejumlah organisasi buruh dan perempuan seperti www.Konde.co, JALA PRT, Solidaritas Perempuan, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Institut Perempuan, Perempuan Mahardhika, Kapal Perempuan, Kalyanamitra, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jaringan Buruh Migran (JBM), Migrant Carepada Selasa, 1 Mei 2017 hari ini termasuk dalam aksi buruh paling pagi yang dilakukan para buruh di sepanjang long march menuju istana hari ini.
Yuni Sri, Leny dan Diah dari SPRT Sapu Lidi bersama sejumlah PRT kemudian memimpin aksi ini. Mereka membawa panci, sapu, sendok, garpu dan serbet.
“Inilah alat kerja kami, selama ini kami berjuang atas nasib kami. Berjuang agar kami mendapatkan upah yang layak, pekerjaan yang layak agar kami mendapatkan kehidupan yang layak,” kata Yuni Sri ketika memimpin aksi.
Aksi ini kemudian bergerak ke patung kuda. Para buruh menyerukan 8 persoalan buruh perempuan Indonesia yang menjadi catatan hitam yaitu: buruh pabrik, buruh informal, buruh perempuan petani, buruh perempuan nelayan, buruh perempuan media dan industri kreatif, buruh Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT) dan Pekerja Rumah Tangga (RT).
Sejumlah pemetaan yang dilakukan terhadap perempuan buruh nelayan misalnya menemukan fakta bahwa perempuan harus menerima dampak dari proyek-proyek reklamasi di Indonesia yang banyak dibangun dalam setahun ini.
“Reklamasi justru terus dibangun padahal sarat kepentingan pengusaha dan kemudian dilegitimasi oleh pemerintah. Belum lagi proyek-proyek reklamasi yang telah menggusuri rumah-rumah keluarga nelayan. Reklamasi Teluk Palu di Bali, Tanjung Benoa juga proyek reklamasi di Jakarta yang dilakukan dengan menggusur dan menghilangkan akses nelayan kepada laut dan pesisir. Bagi perempuan nelayan, ancaman reklamasi menambah beban tambahan. Ini menunjukkan bahwa situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir, ujar Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan.
Kasus lain juga menimpa para buruh migran perempuan. Solidaritas Perempuan mencatat, bahwa perempuan buruh migran kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan berlapis, dimana mayoritas perempuan buruh migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti dieksploitasi jam kerja, pemotongan/tidak dibayar gaji, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa. Hal lain yang menjadi sorotan kami yaitu tentang praktik perekrutan dan penempatan buruh migran yang sarat dengan indikasi perdagangan manusia. Dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar didalam perlindungan hak perempuan buruh migran. Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran hanyalah isapan jempol belaka. Kinerja Kementerian luar negeri beserta jajaran perwakilan RI di luar negeri masih bekerja sebatas pelayanan normatif.
Sedangkan situasi buruk lain juga menimpa pada para perempuan jurnalis dan pekerja kreatif. Jurnalis dan pekerja kreatif adalah orang yang banyak mengalami over work atau kelebihan beban dan kelebihan jam kerja. Mereka bekerja melebihi rata-rata orang bekerja perharinya. Temuan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyebutkan bahwa pekerja kreatif diduga banyak mengalami depresi karena kelebihan kerja ini. Banyak perempuan pekerja kreatif namun tidak terlindungi oleh sistem tenaga kerja. Banyaknya perempuan yang bekerja secara online juga tidak mendapatkan perlindungan ini. Jurnalis yang bekerja secara online maupun kontributor/ koresponden adalah orang yang bekerja tanpa perlindungan. Terlebih, banyak pekerja kreatif dan jurnalis di masa kini yang cenderung bekerja secara informal tanpa tempat kerja yang jelas.
(Aksi Catatan Hitam Buruh Perempuan 2017 di Jakarta pada Selasa, 1 Mei 2017/ Foto: Luviana)
Post a Comment