Gemuk Liyan: Apapun Bentuk Tubuhmu (2)
Saya juga gendut, gembrot, gemuk sejak kecil. Sampai sekarang. Tapi alhamdulilah puji Tuhan semesta raya–kehidupan saya tidak semengenaskan yang digambarkan oleh sinetro Film Televisi (FTV) kita yang maknanya selalu diidentifikasi sebagai orang yang hanya bisa mengunyah dan mengikuti teman gengnya yang populer. Kehidupan saya lebih manusiawi: saya memiliki teman yang memperlakukan saya penuh makna. Saya tidak semata-mata hidup menjadi pusat tertawaan dan ejekan.
*Trias Yuliana Dewi- www.Konde.co
Saya, bukan tidak pernah bertemu orang yang meremehkan saya dan menganggap saya less-human karena saya lebih berat dibanding perempuan lainnya: tapi karena apa yang ada dalam hidup saya lebih bahagia daripada apa yang orang-orang itu lakukan. Saya memiliki banyak sekali orang yang menerima saya penuh cinta.
Tapi bagaimana dengan orang gendut, gembrot, gemuk lainnya? Yang bahkan menganggap dirinya sendiri berada dalam kutukan masa lampau: sehingga terlahir dan tumbuh dengan bekal lemak berlebih bergelambir?
Anak-anak juga remaja perempuan yang saya temui, hatinya pilu karena dianggap telah harus berhenti bahagia karena tidak cantik dan langsing semampai. Anak-anak juga remaja yang berpikir menenggak obat sebanyaknya dengan harapan keesokan pagi ia bangun telah menjadi personil JKT 48. Atau anak-anak juga remaja yang menahan lapar berminggu hingga pucat kuyu: agar tidak bertambah gelambir-gelambir lemak yang menjadikannya semakin liyan semakin monster.
Lemak-lemak kami, dalam tubuh gendut gembrot gemuk– yang secara lantang saya keraskan adalah mengagumkan– bukanlah hal yang membuat orang-orang gendut gembrot gemuk tertunduk malu penuh sesal dilahirkan di dunia. Kami mengagumkan dan menawan sama seperti kalian yang mengusahakannya! Kami tertunduk terduduk malu karena kotak kaca bodoh yang memberitahu seluruh dunia: bahwa manusia yang layak dihormat dipuja oleh laki-laki dengan perut kotak enam buah.
Majalah juga televisi: yang menyajikan perempuan mungil halus tanpa cela membuat kami, orang-orang gendut gembrot gemuk, menjadi makhluk liyan yang tak layak, paling buruk sedunia, mematikan mimpi dan harapan, menjadi alien dalam tubuh sendiri.
Berapa banyak dari kalian akan mempertanyakan apabila ada seorang perempuan gendut mendapat kekasih tampan mapan menawan idaman? Sebagian banyak dari kita akan bertanya dalam hati: ‘kok mau sih?’
Doublethink.
Doublethink adalah bisa saja menjadi pakem pondasi pemikiran paling populer yang digunakan sekarang ini–tanpa disadari tentu.
Mari berpikir dua kali sebelum berkesimpulan yang cukup satu kali.
Doublethink.
dou•ble•think – /ˈdÉ™bÉ™lËŒTHiNGk/
noun
1. the acceptance of or mental capacity to accept contrary opinions or beliefs at the same time, especially as a result of political indoctrination.
Doublethink.
Doublethink is the act of ordinary people simultaneously accepting two mutually contradictory beliefs as correct.
Bagi saya, tentu doublethink akan sesederhana–dalam bahasa saya tentu, merupakan penggunaan pola pikir yang salah untuk menentukan sebuah kebenaran.
Mari menghitung.
Berapa banyak dari kita yang mensyaratkan sebuah syarat atas terpenuhinya sesuatu.
Bahwa, seorang perempuan cantik harus berupa serupa sosok yang berbadan kurus, berkulit kuning dan putih, memiliki rambut panjang, berwajah simetris sempurna tanpa cacat, berkaki rata tidak timpang, berat badan tak lebih 42 kilogram, bersuara lemah mendayu lirih.
Diluar hal itu: simpanlah rapat-rapat. Karenanya itu adalah aib dan bukan cita-cita.
Perempuan akan kadang lupa diperlakukan sebagai perempuan jika ia gemuk. Orang-orang gendut, gembrot, gemuk hanya sepantas serupa punakawan. Emban. Tak pernah menjadi peran utama dalam sebuah drama. Tak pernah menjadi pusat cerita. Tapi sekali lagi itu hanyalah di dalam kotak kaca bodoh yang menuruti pasar tulang yang terbungkus kulit.
Kehidupan, tidak sekejam dan sebodoh itu, sayang. Banyak manusia yang kau akan temui, jauh lebih memahami makna darimu dibanding konsep kotak kaca bodoh yang tak henti menghapus makna dalammu. Undanglah mereka dengan pikiranmu. Undanglah mereka–manusia-manusia yang tak mengalienasikanmu hanya karena lenganmu sebesar paha mereka.
Mulai sekarang: tubuhmu adalah tubuhmu sendiri. Kitalah yang mendefinisikan makna kita–apapun pembungkusnya: gembrot, kurus, semampai, hitam, putih, jangkung, kerdil.
Televisi dan lembar majalah penuh editan bukanlah pengendali tubuhmu. Maknamu bukanlah pada seberapa tipis tebalnya gelambir lemakmu. Jiwamulah pusat makna.
Mengagumkanlah dengan siapa dirimu. Bukan seperti seharusnya apa bentuk tubuhmu (Selesai)
(Foto/Ilustrasi/Pixabay)
#Trias Yuliana Dewi, Mahasiswa, yang mencintai menulis, yang terlalu membelok sudut pandangnya untuk dibicarakan, oleh karenanya ia menulis.
Post a Comment