Bahasa Bisa Menjadi Media Kekerasan
Poedjiati Tan - www.konde.co
Malu, orang Indonesia selalu merasa malu dan jengah bila harus berbicara tentang seks atau alat kelamin. Itu sebabnya orang tua mempunyai kebiasaan mengganti nama alat kelamin dengan berbagai istilah, misalnya, burung, terong, cabe, kacang, anu, dan masih banyak istilah lainnya. Sehingga anak kecil kadang tidak pernah tahu nama yang sesungguhnya sebuah alat kelamin. Apakan karena malu ini akhirnya alat kelamin menjadi disebut kemaluan? Agar tidak mendapat malu? Atau apakah karena alat kelamin itu dianggap sesuatu yang memalukan dan harus ditutup rapat-rapat dan tidak boleh dibicarakan.
Dengan banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak-anak dan juga perkosaan, sebaiknya orang tua mulai mengajarkan nama-nama organ tubuh manusia dengan betul dan tidak menggantikannya dengan istilah atau kata benda lainnya. Misalnya orang tua sering menggantikan istilah penis dengan burung. Dan ketika anak laki-laki yang bertanya kepada mamanya atau ditanya mamanya, Kamu main apa? Dan dijawab main burung ma! Mamanya mungkin lupa kalau burung disini adalah penis. Sehingga kepekaan ibu terhadap tanda-tanda anak mengalami kekerasan seksual tidak terjadi. Misalnya, mengapa anaknya kemudian menjadi sering memainkan penisnya, dll.
Orang sering menabukan untuk menyebut alat reproduksi, organ seksual manusia dan yang terkait dengan keduanya. Bahkan ketika anak bertanya mengenai seks (baca: hubungan seksual) langsung dimarahi dan dikatakan itu adalah hal yang jorok atau porno. Apalagi bila itu anak perempuan, mereka seperti takut memberikan pendidikan seks. Takut nanti anaknya jadi liar atau kadang ada yang berpikir nanti anaknya hamil. Padahal dengan pendidikan seks yang benar termasuk didalamnya potensi dari menstruasi, mereka akan lebih tahu dan bisa melindungi dirinya dari bujukan laki-laki yang ingin mengajak bercinta.
Karena menabukan organ reproduksi dan seksual serta semua yang terkait, maka anak-anak menjadi takut atau malu untuk membicarakannya. Sehingga ketika mereka mengalami pelecehan seksual mereka tidak berani bercerita ke orang tuanya. Dan tak jarang pelecehan itu sampai terjadi berulang kali dan ketika orang tua mengetahuinya sudah terlambat. Orang tua beranggapan dengan tidak mengatakan yang sebenarnya maka akan melindungi si anak, namun hal itu justru membuat anak ingin tahu dan mencari tahu sendiri.
Menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf ahli linguistik di Amerika, bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau memersepsikan dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tatabahasa (grammar) dan kosakata (lexicon). Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers” (Hal yang terkait dengan tata bahasa dan kosakata dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut). Selain pembiasaan (habituation) dan aspek formal pada bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa memengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi alasan atau landasan dalam berpikir. Apakah itu sebabnya mengapa banyak terjadi kekerasan seksual dan pelecehan seksual, karena orang memersepsikan sendiri tentang seks berdasar pengetahuannya dan menggunakan imajinasinya sendiri?
Seperti dalam lagu cucak rowo yang dinyanyikan Didi Kempot : Iki piye iki piye iki piye/ Wong tuwo rabi perawan/ Prawane yen bengi nangis wae/ Amargo wedi karo manuke/ Manuke manuke cucak rowo/ Cucak rowo dowo buntute/ Buntute sing akeh wulune/ Yen digoyang ser-ser aduh enake.
Yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Ini bagaimana/orang yang sudah tua menikah dengan perawan/ Perawannya kalau malam menangis saja/karena takut dengan burungnya/Burungnya burung cucak rawa/Cucak rawa panjang ekornya/ekornya yang banyak bulunya/kalau digoyang ser-ser aduh enaknya.
Nyanyian yang bisa menimbulkan persepsi pada sebuah hubungan seks antara laki-laki tua dengan seorang gadis bagi yang mendengarkan. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa. Tidak hanya masyarakat umum saja yang sering menggunakan bahasa alias untuk menyebutkan alat kelamin, begitu juga dengan media.
Kita juga sering mendengar makian yang menggunakan kata-kata alat kelamin entah dengan bahasa daerah atau bahasa lainnya. Apalagi bila di kampung-kampung orang memaki-maki orang lain atau bertengkar dan mengumpat menyebutkan semua alat kelamin perempuan dan kadang merendahkan perempuan. Dan mengapa juga kita saat ini mengenal pelecehan seksual secara verbal yakni pelecehan seksual melalui kata-kata, bahasa, isyarat, dll.
Sumber :
Arifuddin. 2010. Neorupsikolinguistik. Jakarta: Raha Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
foto :
Post a Comment