Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Berlarut-Larut, Aktivis Perempuan Aksi ke DPR
Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, konde.co- Janji Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) tidak kunjung dilakukan dan terkesan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan.
Berbagai lembaga, aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Sahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau GEMAS juga mengamati bahwa telah terjadi penyebaran fitnah yang sistematis dan meluas dalam bentuk propaganda yang membelokkan substansi dari RUU P-KS dalam bentuk ujaran-ujaran yang negatif dan penuh kebencian.
Awal tahun 2019 misalnya, beredar di sosial media yang menuduh secara ekstrim bahwa RUU P-KS itu pro zina dan LGBT, dua kata yang menghasut publik untuk menolak pengesahan RUU tersebut. Saat ini, tuduhan itu diperluas menjadi lebih ekstrim lagi, bahwa RUU P-KS dituduh sebagai semangat kebebasan seksual yang diusung kelompok feminis untuk membuka pintu-pintu kemaksiatan, dan pelecehan terhadap syariat Islam dan Pancasila.
Veni Siregar dari GEMAS yang mewakili Forum Pengada Layanan/ FPL menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut tentu saja sangat melukai hati korban, membuat banyak orang ketakutan, bahkan lebih menakutkan dari kasus kekerasan seksual itu sendiri. Dampak fitnah tersebut, banyak orang menolak pengesahan RUU P-KS tersebut.
Sepanjang tahun ini, sejalan dengan Kemenkominfo dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak atau KPPPA, GEMAS terus melakukan klarifikasi untuk meluruskan pandangan negatif yang ekstrim tersebut antara lain bahwa RUU P-KS dibentuk dan dibangun oleh sejumlah kelompok pendamping korban kekerasan seksual yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Kasus perkosaan YY adalah awal mula ledakan protes publik bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual yang sadis dibiarkan begitu saja dan tidak ada perangkat hukum khusus untuk mencegah dan melindungi korban dari persoalan-persoalan kekerasan seksual.
RUU P-KS merupakan solusi atas situasi “Darurat Kekerasan Seksual”. Komnas Perempuan merilis catatan tahunan 2018, jumlah kasus kekerasan seksual naik menjadi 406.178 dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 348.466.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa tahun ini kasus-kasus kekerasan seksual juga meluas di dunia siber, meningkatnya kasus inses dan meningkatnya perkosaan perempuan disabilitas.
Menurut Komnas Perempuan, banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh perangkat hukum yang ada saat ini sehingga diperlukan perangkat hukum KHUSUS dalam mengatasi situasi mengerikan tersebut, karena persoalan yang semakin kompleks dan luas.
Dari hal-hal tersebut, RUU P-KS dibutuhkan untuk membantu aparat hukum memahami lebih jauh dan dalam tentang apa yang dimaksud kekerasan seksual sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi pola persoalannya, serta turunan perangkat hukumnya.
Selain itu RUU P-KS dibangun atas sejumlah pola-pola bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dari kasus-kasus yang dilaporkan. Laporan terakhir baik dari Lembaga kepolisian maupun Lembaga masyarakat, menyebutkan bahwa di berbagai sekolah dasar, taman kanak-kanak, dan bahkan yatim piatu, kekerasan seksual tersebut juga banyak menimpa tidak hanya anak-anak perempuan, tapi juga anak laki-laki.
"RUU P-KS tidak ada hubungannya dengan kebebasan seksual, pro zina, maksiat dengan LGBT. Justru menitikberatkan pada perlindungan korban dan menghukum pelaku dalam berbagai tingkat, dengan berbagai pola kekerasan seksual yang terjadi," kata Veni Siregar.
Dalam hal klarifikasi yang telah dilakukan tersebut, berbagai organisasi perempuan yang mendampingi korban kekerasan seksual dalam GEMAS telah membuka diri untuk melakukan dialog dan meluruskan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat.
Namun upaya tersebut tidak dipedulikan, justru pihak-pihak yang menolak RUU tersebut terkesan “membuang muka” dan menolak tawaran dialog yang ditawarkan. Upaya-upaya terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa RUU P-KS tidak bertentangan dengan agama, moral dan lain sebagainya. Justru pelaku kekerasan seksual lah yang seharusnya ditakuti dan bila tidak segera disahkan maka predator seksual akan bebas mencari korban-korban berikutnya.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia bahkan telah membuat draft khusus untuk menjelaskan bahwa RUU P-KS tersebut tidak melawan norma agama. Sayangnya, DPR tidak mempedulikan masukan komprehensif kajian para ulama Islam tersebut.
Atas situasi yang menyakitkan ini maka GEMAS dengan keras menyatakan sikap untuk menolak penundaan, penghasutan atau fitnah dan penghinaan terhadap pengesahan RUU P-KS sesungguhnya telah mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di seluruh Indonesia yang menjadi bagian dari kontribusi atas terbentuknya rancangan Undang-Undang tersebut.
"Karena pengabaian terhadap klarifikasi dan penolakan melakukan dialog atas penyebaran informasi tentang RUU P-KS yang dimaknai secara negatif dan dimaknai dengan salah dan fatal, menunjukkan tidak adanya political will, dan menunjukkan sebagai cara-cara politik yang menghasut kepentingan korban.Pengabaian dan penolakan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin mempertahankan “budaya perkosaan," dan justru melanggengkan para pelaku kejahatan seksual serta sama sekali tidak berempati pada korban," kata Veni Siregar
Ditundanya pembahasan dan pengesahan menunjukkan bahwa para wakil rakyat terutama Komisi VIII (Anggota Panja) yang menolak atau diam, tidak memiliki perasaan tentang keadilan korban, mempermainkan, menganggap remeh dan bermain-main politik untuk kepentingan dirinya sendiri.
Bangsa Indonesia justru saat ini terancam, dan dikuasai oleh orang-orang yang membela pemerkosa atau pelaku kekerasan seksual, dan menganggap enteng kekerasan seksual yang terjadi pada korban, dengan mempercayai hasutan-hasutan yang telah digiring untuk memberikan stigma buruk pada rancangan Undang-Undang tersebut. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pejabat negara, seharusnya menjadi pembela masyarakat yang mengalami kekerasan seksual, membuka dialog bila ada perbedaan pendapat, mengecek ulang kembali seluruh RUU yang mudah diakses, sebelum membuat pernyataan.
Berdasarkan keseluruhan hal ini GEMAS akan melakukan aksi ke DPR RI pada Selasa, 17 September hari ini dan menuntut DPR untuk membahas DIM (Daftar Inventarisir Masalah) RUU dan membentuk tim perumus, guna memastikan pembahasan RUU ini dapat berakhir dengan pengesahan pada September 2019 sesuai jadwal.
"Kami meminta DPR untuk mengesahkan RUU P-KS yang memastikan jaminan perlindungan korban melalui ketentuan (a) pemidanaan pelaku, (b) hukum acara pidana khusus penanganan kasus, (c) perlindungan dan pemulihan hak korban," ujar Veni Siregar.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment