Header Ads

Mengkriminalisasi Perempuan dan Kelompok Rentan, Aktivis Aksi Bersama Menolak RKUHP


Jakarta, Konde.co- Gelombang penolakan pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) semakin besar. Setelah aksi yang dilakukan para mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia, jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi akan bersama-sama melakukan aksi bersama pada:

Selasa, 24 September 2019
Jam 13.00 WIB
Tempat: Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI- Senayan, Jakarta.

RUU KUHP dijadwalkan akan disyahkan pada Selasa, 24 September 2019 oleh DPR RI besok. Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa RKUHP harus ditunda pengesahannya, namun sejumlah aktivis menilai bahwa permintaan dari Presiden Jokowi ini dinilai terlambat.

Komnas Perempuan mendata apa yang akan terjadi pada perempuan jika RKUP ini disyahkan? Menurut catatan Komnas Perempuan sejumlah pasal yang ada dalam RUU KUHP apabila diimplementasikan akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan. Pasal-pasal tersebut antaralain:

1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) tentang Hukum yang Hidup di Masyarakat.
Tidak adanya batasan yang jelas tentang hukum yang hidup dalam masyarakat di tengah beragamnya hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan di masyarakat, mengakibatkan ketentuan ini menghilangkan jaminan kepastian hukum sebagai prinsip utama hukum pidana, dan melanggar asas legalitas. Rumusan pasal ini akan meningkatkan potensi kesewenangan dalam penegakannya, menyuburkan overkriminalisasi bagi kelompok rentan, dan menjadi pembenar diproduksinya kebijakan daerah yang diskriminatif. Kehadiran pasal ini juga akan memperburuk praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini yang sudah berlangsung di masyarakat

2. Pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum.
Penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal ini berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan, namun merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain

3. Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan.
Rumusan penjelasan pada pasal ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana. Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud “relawan dan pejabat yang berwenang” berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV/AIDS

4. Pasal 419 tentang Hidup Bersama.
Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak, namun dalam draft terbaru ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.

Perubahan ini akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini. Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan

5. Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan, yang akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.


Pasal 470 ini tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Karena kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh. Pasal 472 ini bahkan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis. Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan

6. Pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida).
Rumusan pasal ini diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah). Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan.

Maka Komnas Perempuan meminta kepada Presiden dan DPR RI agar menunda pengesahan RUU KUHP dan mengadakan penelitian lebih komprehensif pada setiap pasal yang berpotensi mengkriminalkan perempuan, kelompok rentan dan mengebiri demokrasi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.