Header Ads

Jika Disyahkan, RKUHP Akan Mengkriminalisasi Perempuan


*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri dalam laman www.change.org pada 18 September 2019 kemarin, mengajak publik untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 24 September 2019.

“Apa ngaruhnya sih buat gue?” Kalau kamu mikir gitu, cek dulu deh apakah kamu termasuk orang-orang ini. Karena di revisi KUHP, orang-orang ini dianggap “kriminal,” tulis Tunggal Pawestri.

Yang dianggap kriminal dalam RKUHP antaralain:

1. Korban perkosaan → bakal dipenjara 4 tahun kalau mau gugurin janin hasil perkosaan
2. Perempuan yang kerja dan harus pulang malam, terlunta-lunta di jalanan → kena denda Rp 1 juta
3. Perempuan cari room-mate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya → bisa dilaporin Pak Kepala Desa biar dipenjara 6 bulan
4. Pengamen → kena denda Rp 1 juta
5. Tukang parkir → kena denda Rp 1 juta
6. Gelandangan → kena denda Rp 1 juta
7. Disabilitas mental yang ditelantarkan → kena denda Rp 1 juta
8. Kalau kamu punya ayam, ayamnya main ke halaman tetangga dan matok tanaman —> didenda 10 juta
9. Jurnalis atau netizen → bakal dipenjara 3,5 tahun kalau mengkritik presiden
10. Kalau “dituduh” makar bunuh presiden → hukuman mati!

Tandatangani petisi di www.change.org/semuabisakena dan sebarkan di media sosialmu ya. Kita viralkan hashtag #SemuaBisaKena biar DPR membatalkan revisi KUHP. Waktu kita nggak banyak. Dulu kita bisa gagalkan undang-undang yang bisa bikin pengkritik DPR dipenjara. Sekarang kita juga masih punya kesempatan untuk gagalkan revisi KUHP yang ngaco ini.


Isi revisi RKUHP ini memang menimbulkan masalah panjang. Dalam aksi yang dilakukan organisasi masyarakat sipil di Gedung DPR RI pada 16 September 2019 misalnya terungkap beberapa pasal di dalam RKUHP yang akan mengkriminalisasi perempuan.

Pada Pasal 417 misalnya menyebutkan semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan dapat dijerat sebagai tindak pidana. Pasal ini berpotensi membuka peluang untuk mengkriminalisasi korban pemerkosaan dan dapat melanggengkan perkawinan korban yang tidak ia inginkan. Secara substansi dalam pasal ini negara dianggap terlalu jauh memasuki kehidupan privat warga negaranya. Korban perkosaan selama ini sudah menjadi korban dan kemudian harus dikriminalkan. Ini merupakan kemunduran yang jauh dari semangat perlindungan terhadap perempuan. Wacana ini juga merupakan wacana yang hanya terjadi pada masa kolonial yang menjadikan tubuh perempuan sebagai korban.

Sedangkan dalam Pasal 414 berisi tentang ancaman pidana bagi yang mempromosikan alat kontrasepsi kepada anak dianggap akan bertentangan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Pasal ini akan mempersempit cakupan pendidikan seksual kepada anak-anak dan remaja. Orang-orang yang memperkenalkan alat kontrasepsi sebagai bentuk edukasi seksual juga dapat dijerat karena dianggap turut mempromosikan alat kontrasepsi. Padahal pendidikan kesehatan reproduksi merupakan pendidikan yang wajib diajarkan guru dan orangtua sejak anak-anak di sekolah.

Veronica Iswinahyu dari Purple Code yang ikut bergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menuturkan bahayanya jika RKUHP ini disyahkan.

“Dalam kondisi seperti sekarang saja perempuan masih sulit memilih alat kontrasepsi yang dia inginkan. Jika disahkan maka makin susah lagi. Kita jadi tidak punya lagi otoritas atas tubuh. Tubuh kita jadi dikontrol oleh negara melalui dengan bisa atau tidaknya mengakses kontrasepsi”.

Kemudian Padal 251 dan Pasal 470-472 tentang tindak pidana aborsi dengan tanpa pengecualian. Pasal ini dapat mengkriminalisasi para korban pemerkosaan yang melakukan aborsi atau perempuan yang secara media dalam kondisi kandungan yang lemah. Selain menjerat korban, pasal ini juga dapat menjerat tenaga medis yang membantu dalam proses aborsi.

Gelombang aksi penolakan ini memang dilakukan di banyak daerah di Indonesia tak hanya oleh organisasi masyarakat sipil, namun juga oleh universitas dan kampanye-kampanye penolakan yang masif dilakukan lintas generasi.

Dalam aksi pada 16 September 2019 lalu, sebagian peserta aksi membawa poster dan mengikat kepalanya dengan selembar kain putih yang bertuliskan “Hapus Pasal Ngawur”. Sebagian datang menggunakan baju alamater dan mengibarkan bendera kampusnya. Dan sebagian lagi menggunakan seragam serikat buruh. Mereka semua berpaku pada satu mobil komando yang meneriakan orasi-orasi penolakan RKUHP.

Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi ini merupakan gabungan berbagai organisasi yang aktif mengawal dan memonitoring pembahasan RKUHP. Aksi hari ini bertepatan dengan rapat pengambilan keputusan tingkat I Panitia Kerja (Panja) RKUHP.

Menurut perwakilan dari Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi, banyak pasal bermasalah di dalam RKUHP baik secara substansi maupun proses pembahasannya. Setidaknya ada tiga poin yang menjadi alasan untuk mendorong penundaan pengesahan RKUHP.

Pertama, pembahasan perubahan-perubahan rumusan dalam RKUHP cenderung tertutup. Minim keterlibatan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya. Kedua, pemerintah belum pernah memaparkan atau mempublikasikan secara terbuka mengenai apa saja substansi yang diubah dalam draf akhir RKUHP. Ketiga, secara substansi banyak pasal-pasal yang bermasalah. Pasal-pasal yang bermasalah ini banyak yang merupakan pasal karet sehinga berpotensi mengkriminalisasi banyak orang.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.