Apa yang Bisa Dilakukan Mahasiswa Jika Tak Bisa Turun Aksi?
Apa yang bisa dilakukan mahasiswa jika tak bisa turun aksi? Keluarga saya melarang anak-anaknya untuk melakukan demonstrasi. Orang tua saya berpandangan bahwa masyarakat yang melakukan aksi terhadap pemerintah akan dicap sebagai para pemberontak. Selain itu, mereka beranggapan bahwa akan lebih baik jika kehidupan dijalani sewajarnya dan senyaman mungkin, sehingga hidup akan terasa seimbang
*Natasya Fila Rais- www.Konde.co
Aksi mahasiswa kian banyak dilakukan, namun dari banyaknya aksi ini, banyak juga mahasiswa yang tidak bisa ikut dalam aksi yang diikuti ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia pada tanggal 24 September 2019 lalu.
Ada yang beranggapan bahwa para mahasiswa yang tidak mengikuti aksi 24 September 2019 sebagai para mahasiswa yang apatis. Namun, pernyataan tersebut hanya berdampak pada generalisasi sepihak saja. Faktanya, terdapat para mahasiswa yang ingin sekali untuk turun dan menyuarakan tuntutan mereka, namun mereka pun dihadapi oleh berbagai batasan, seperti larangan orang tua atau keterbatasan keleluasaan berkegiatan seperti yang saya alami, hingga ketidakmampuan mereka untuk ‘turun’ karena kondisi-kondisi tertentu.
Geram, marah mungkin ada, marah dan takut bahwa tuntutan-tuntutan rakyat yang dilontarkan tidak kunjung dipenuhi pun ada, apalagi merasa tidak cukup dalam bertindak terkait permasalahan yang terjadi pun juga ada. Sehingga, para mahasiswa ini pun berusaha mencari-cari cara untuk berbuat lebih dan untuk tetap berjuang sesuai dengan kemampuan mereka.
Keinginan untuk terus menyuarakan pemikiran politik dan berusaha untuk mengedukasi masyarakat terkait isu-isu sosial dan politik memang selalu ada dalam diri saya. Sehingga, mau tidak mau saya pun berusaha mencari medium baru untuk melampiaskan segala kemarahan atas pelanggaran hak asasi manusia.
Namun saya juga menyadari bahwa apakah mungkin akan lebih baik jika saya dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara yang masih ‘direstui’ oleh orang tua?. Pikiran-pikiran ini selalu melayang-layang dalam benak saya.
Saya merasa mungkin saya tidak sendiri dalam mengalami hal seperti ini, sehingga melalui tulisan inipun saya ingin mengajak para mahasiswa seperti saya, apabila mereka merasa proses memberikan suara mereka dibatasi oleh berbagai kondisi, mungkinkah dapat melakukan cara-cara yang lain di luar aksi?.
Walau perlu diingat bahwa saya selalu mendukung dan mengapresiasi para mahasiswa yang melakukan aksi, terutama saat 24 September lalu, hanya saja saya ingin memberikan ide-ide lain bagi para mahasiswa yang belum turun ke jalan namun ingin menyampaikan aspirasi dan pemikiraan mereka terkait tuntutan-tuntutan mahasiswa:
1. Berkarya
Cara lain yang dapat dilakukan mahasiswa untuk dapat menyampaikam aspirasi politik mereka adalah melalui karya. Karya yang disampaikan dapat berbentuk berbagai macam hal, seperti tulisan, karya seni hingga penyampaian secara verbal melalui medium tertentu.
Sejujurnya, kini saya menggunakan medium perjuangan penulisan sebagai bentuk ekspresi saya dalam menyampaikan pendapat terkait isu-isu sosial dan politik yang berkembang.
Penulisan ini pun terwujud dalam berbagai bentuk karya tulis, antara lain artikel maupun publikasi akademis dalam jurnal. Karya-karya tersebut pun dipublikasikan dalam media-media yang dapat dibaca oleh khalayak ramai, sehingga dapat mencapai berbagai lapisan masyarakat.
Selain itu, terdapat pula berbagai jenis konferensi akademis yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi para akademisi untuk menyalurkan kajian dan analisis mereka secara verbal melalui presentasi di hadapan publik.
Dengan begitu, para partisipan yang sekiranya belum terlalu paham dengan isu yang diangkat dalam kajian tersebut dapat mendapatkan pengetahuan tambahan. Mereka yang mendengarkan dapat mengemukakan opini mereka sendiri terkait hal tersebut, sehingga dapat berujung pada diskusi lebih lanjut terkait solusi yang dapat dilakukan.
Karya juga dapat berwujud karya seni seperti puisi, lukisan, hingga karya seni seperti pementasan teater dan pertunjukan musik dapat dilakukan untuk menyampaikan ekspresi politik. Dengan menyisipkan pembahasan permasalahan-permasalahan, seperti potensi terancamnya kehidupan masyarakat marginal, dalam karya-karya tersebut, akan lebih mudah untuk diterima dan dicerna oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat dapat terdorong untuk bergerak.
2.Berkampanye di Sosial Media
Cara kedua yang mungkin terlihat simpel namun memberikan imbas yang masif adalah melalui penyebaran berita di media sosial. Para pengguna media sosial mungkin sudah familiar dengan kegiatan membagikan berita melalui wadah tersebut, baik membagikan melalui post maupun melalui story dan ciutan. Dengan membantu menyebarkan berita-berita terkait tuntutan para mahasiswa serta informasi lebih lanjut mengenai pasal-pasal yang bermasalah dapat peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibahas, maka informasi yang dibagikan tersebut dapat dibaca masyarakat yang melihatnya.
3.Ikut Melakukan Gugatan Hukum ke Pengadilan
Kemudian, cara yang dapat dilakukan selanjutnya adalah dengan bergerak secara langsung. Bergerak dalam hal ini adalah dengan cara bergabung dengan organisasi-organisasi yang kegiatannya terfokus pada advokasi dan bantuan terhadap masyarakat yang berpotensi terkriminalisasi oleh rancangan peraturan-peraturan yang dibahas, serta mengikuti kegiatan-kegiatan seperti acara atau pun kajian yang bertujuan untuk menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah.
Tindakan lain yang dapat ditempuh secara langsung adalah dengan melakukan tindakan-tindakan yang diatur oleh negara, seperti uji materil peraturan perundang-undangan yang telah disahkan, yang biasa disebut dengan Judicial Review, yakni pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Dengan adanya wadah pengujian undang-undang yang diatur oleh negara, maka pengkajian kembali terhadap substansi undang-undang tersebut dapat dilakukan di bawah Majelis Hakim yang netral dan menghasilkan putusan yang adil serta mengikat.
Kini, sudah banyak para mahasiswa maupun pihak pemohon dari instansi-instansi lainnya yang mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan-peraturan perundang-undang yang dianggap bermasalah dalam implementasi nantinya, seperti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan ini pun menjadi langkah ke depan untuk dapat menguji kembali apakah peraturan yang sudah disahkan akan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian harinya dan menjadi suatu cerminan bagi peraturan-peraturan yang belum disahkan harus dibahas lebih lanjut dan mendalam.
Terdapat berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk bergerak lebih maju pasca aksi 24 September 2019. Hal-hal ini dapat dilakukan tidak hanya untuk menambah pengetahuuan masyarakat terkait isu-isu yang dipermasalahkan, namun juga sebagai langkah lebih dekat untuk dapat didengarkan oleh pemerintah. Diharapkan, dengan bertambahnya anak muda yang menyampaikan aspirasi mereka, maka pemerintah dapat bertindak untuk membenahi peraturan-peraturan yang dipermasalahkan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Natasya Fila Rais, adalah aktris, novelis, jurnalis, dan musisi. Natasya baru saja merilis podcast terkait self-love, “Tasya Talks”, yang tersedia di berbagai media streaming. Mahasiswi Fakultas Hukum ini juga aktif dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak LGBTQ+.
Post a Comment