Pertanyaan Tentang: Kapan Kita Berkeluarga yang Sangat Mengganggu
“Siapakah sebenarnya yang disebut sebagai keluarga?”
*Kartika Shinta- www.Konde.co
Pertanyaan ini seperti menghantam saya ketika saya ditanya “Kapan kamu akan berkeluarga?.”
Tidak cuma sekali, tapi ini sudah terjadi beberapakali. Dan ini adalah pertanyaan khas dari saudara-saudara saya yang sering mereka ajukan. Semakin banyak bertemu, semakin saya merasakan pusing untuk menjawabnya.
Jika saya bilang bahwa keluarga adalah siapa saja yang hidup di sekitar kita, pasti akan dijawab lagi dengan: “Bukan itu maksudnya.”
Ketika saya bilang,” Mengapa semua orang harus berkeluarga?”
Mereka akan menjawab,” Rumit sekali jalan pikiranmu.”
Di zaman dulu, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kalimat inilah yang selalu ada di buku-buku bacaan. Di dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, keluarga adalah siapapun yang tinggal di rumah. Jadi kalau ia adalah nenek, kakek atau Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang semua di luar ayah, ibu dan anak, semua ini adalah keluarga. Artinya, tak boleh ada yang melakukan kekerasan apapun di dalam keluarga.
Untuk sekarang, menjawab siapakah keluarga, ini adalah sesuatu yang tak mudah untuk saya. Sehari-hari saya tinggal bertiga dengan kawan-kawan perempuan saya, kami layaknya saudara, bertahun-tahun dekat, berteman baik. Jika ada yang sakit, merekalah yang merawat. Maka layak khan jika saya menyebutnya sebagai sebuah keluarga?.
Namun selalu saja ada yang bertanya soal ini. Mengapa saya tak juga berkeluarga? Pertanyaan ini selalu penuh perdebatan dalam keluarga kami.
Keluarga seperti yang banyak saya lihat, selalu diyakini sebagaimana tradisi selama ini, yaitu harus dibentuk melalui proses perkawinan, ada ayah dan ibu, lalu anak-anak yang lahir kemudian.
Padahal sudah seharusnya kita beranjak dari cara berpikir seperti ini. Bagi saya, lebih penting untuk menjawab pertanyaan kritis soal: apa yang terjadi dalam keluarga? Benarkah tradisi keluarga seperti ini harus turun-temurun? Bagaimana jika seseorang memilih bentuk keluarga yang berbeda? Bagaimana caranya agar ini juga bisa menjadi pilihan?
Saya percaya bahwa semua perempuan sudah seharusnya mempunyai pilihan merdeka. Maka buat saya, jika konsep keluarga adalah ayah dan ibu dan anak-anak yang tidak menjadi pilihan semua perempuan, sudah seharusnya kita mulai memberikan alternatif pilihan-pilihan lain.
Bagaimana jika keluarga isinya hanya dua orang yang saling mencintai? apakah mereka mau menyebut ini sebagai sebuah keluarga? bagaimana jika keluarga ini tidak mempunyai anak? apakah mereka juga mau menyebut ini sebagai sebuah keluarga?
Dan pertanyaan berikutnya: mengapa kita harus sibuk untuk mendapatkan legitimasi dari orang lain yang kita sendiri merasa tak pernah nyaman menjalaninya?
Keluarga sudah seharusnya dirintis, dikelola tanpa paksaan-paksaan. Mengapa harus berkeluarga, menikah lalu punya anak jika saya tidak mau memilih kesana? Mengapa harus berkeluarga jika saya tak mau dipaksa kesana?
Feminisme percaya bahwa keluarga adalah tempat mengorganisir yang sangat penting, karena disanalah semuanya bisa dilihat: apakah laki-laki mendominasi dalam keputusan keluarga? Apakah perempuan atau ibu terlalu didominasi? Apakah anak-anak mempunyai ruang pilihan? Namun jika ada dominasi, disanalah letak persoalannya. Dan disitulah inti pertanyaannya, dengan siapapun kita memilih untuk berkeluarga.
Lebih baik jika kita menghormati argument-argumen yang berbeda, perdebatan kritis untuk bertanya definsi keluarga, dan yang terakhir adalah menghormati pilihan-pilihan perempuan. Bukankah begitu?
*Kartika Shinta, menjalani hidup yang terutama pada pilihan perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment