Mantan Manten dan Film-Film yang Menjadikan Perempuan sebagai Subyek Cerita
*Achmad Muchtar- www.Konde.co
Bagaimana perempuan dimunculkan dalam film? Mari kita coba lihat sejumlah film Indonesia yang diproduksi dalam 5 tahun terakhir ini. Saya sengaja mengambil beberapa film yang menjadikan perempuan sebagai tokoh yang berjuang. Film-film ini menunjukkan perubahan yang terjadi dalam lanskap film di Indonesia.
Film-film ini rata-rata menokohkan perempuan sebagai bagian penting cerita. Tentu ini merupakan berita baik. Ini juga menunjukkan bahwa perempuan dianggap sebagai subyek yang penting, sangat berbeda ketika kita melihat sejumlah sinetron di televisi dimana perempuan masih diukur sebagai obyek cerita, dianggap sebagai obyek sensasionalisme, bukan subyek cerita.
Tahun 2014 Eddie Cahyono membuat film Siti, yang bertutur tentang nasib yang harus dihadapi seorang perempuan beranak satu di lingkungan miskin di Parangtritis. Sebagai perempuan, Siti sangatlah tangguh. Sebagai perempuan yang dililit utang, dia bisa menyekolahkan anaknya, Bagas, dan menghidupi suaminya, Bagus, yang terbaring di ranjang karena kecelakaan di laut.
Dia juga mengurus semua kebutuhan rumah seperti memasak, menyiapkan makanan, mencuci, memandikan anaknya, mengajari anaknya belajar, menyiapkan dagangan, kerja siang dan malam. Siang dia bekerja berjualan peyek jingking bersama ibu mertuanya. Dan malam, dia bekerja sebagai pemandu karaoke, yang lalu terkena tragedi digerebek polisi.
Di karaoke, ia bertemu Gatot, yang ingin menyelamatkan Siti dari persoalan hidupnya. Namun, ketika Siti sedang bimbang pada pilihan yang sulit, suaminya malah berbuat hal yang tak diinginkan Siti. Film Siti memenangi Film Terbaik Festival Film Indonesia 2015.
Riri Riza di tahun 2016 membuat film Athirah yang juga bercerita tentang perempuan Bugis yang terinspirasi dari sepenggal kehidupan ibunda dari wakil presiden kita Jusuf Kalla, yang bernama Athirah Kalla. Walau persoalan perempuan dalam Athirah tidaklah sekompleks Siti. Namun dalam Athirah, ketegaran perempuan juga diuji ketika suami Athirah menyukai perempuan lain. Athirah kemudian harus memilih apakah akan meninggalkan suaminya atau mempertahankan rumah tangga bersama anaknya. Pilihan yang sulit, namun Athirah mampu melakukannya. Berkat Athirah pula, keluarga itu bisa sukses secara ekonomi. Film Athirah memenangi Film Terbaik Festival Film Indonesia 2016.
Lalu, tahun 2017, Mouly Surya membuat film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, juga tentang perempuan. Marlina menceritakan seorang janda yang tinggal di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Setelah dinyatakan akan dirampok dan diperkosa, Marlina tidak melawan para perampok itu. Sebaliknya, Marlina bersikap ramah, tetapi itu adalah siasat agar dia bisa melawan dengan cara meracuni para perampok.
Ketika Marlina berhasil meracuni dan memenggal kepala kepala perampok, dia masih saja dirundung rasa bersalah akibat tindakannya itu. Dia berniat pergi ke kantor polisi yang jaraknya jauh sambil membawa kepala perampok itu dengan harapan bisa mendapatkan keadilan. Namun ternyata, apa yang diinginkan Marlina tidak sesuai apa yang dia harapkan. Birokrasi dan hukum adat untuk perempuan kurang berpihak kepadanya. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak memenangi Film Terbaik Festival Film Indonesia 2018.
Mantan Manten, Persoalan yang Menimpa Perempuan Urban
Tahun 2019 ini Farishad Latjuba membuat film Mantan Manten yang juga bertutur tentang perempuan. Latar belakangnya adalah persoalan yang menimpa perempuan urban.
Mantan Manten semula adalah cerita di situs Wattpad karangan Bella Putri Maharani dengan nama akun Bellazmr sebelum akhirnya diadaptasi ke dalam bentuk skenario oleh Farishad Latjuba dan Jenny Jusuf.
Seperti halnya Siti, Athirah, dan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Mantan Manten juga bercerita tentang ketangguhan perempuan.
Adalah Yasnina (Atiqah Hasiholan), sang tokoh perempuan, yang harus menghadapi berbagai kemalangan seperti halnya Siti, Athirah, dan Marlina. Berbeda dengan Siti, Athirah, dan Marlina yang menghadapi kehidupan berat di lingkungan tradisional, Yasnina justru harus menghadapi kehidupan berat di lingkungan urban, Jakarta.
Sebagai perempuan dan terlebih tidak punya identitas karena dibesarkan dari lingkungan panti asuhan, Yasnina harus rela jadi korban akibat keserakahan bosnya, yang juga merupakan calon mertuanya, Arifin Iskandar (Tio Pakusadewo). Arifin kemudian menjerumuskannya pada kesalahan perusahaan yang kemudian membuatnya dipecat dan seluruh hartanya disita.
Padahal, sebelumnya Yasnina adalah perempuan yang sukses secara ekonomi. Dia punya karir cemerlang, kehidupan ekonomi yang baik, dan kekasih yang baik. Namun kekasih baik ini adalah Surya (Arifin Putra), yang merupakan anak dari Arifin, bosnya. Semua yang sudah diraihnya tiba-tiba seolah hilang begitu saja, yang membuat Yasnina seolah-olah sedang berada dalam kondisi yang sangat buruk.
Adalah Ardy (Marthino Lio), mantan asistennya yang mengingatkan Yasnina bahwa dia masih punya harta yang tersisa karena belum melakukan balik nama atas vila di Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah yang dimilikinya. Yasnina pun segera pergi ke Tawangmangu untuk mendapat haknya tersebut. Namun, untuk mendapatkan vila tersebut tidaklah mudah, Yasnina harus mengikuti syarat yang harus dipenuhi dari pemilik rumah itu sebelumnya, yaitu Koes Marjanti (Tutie Kirana). Koes Marjanti adalah dukun paes yang ternama.
Kehadiran Yasnina sudah diincar Marjanti. Marjanti bersedia menandatangani surat balik nama tersebut dengan syarat Yasnina harus tinggal di vila itu bersamanya dan menjadi asistennya selama tiga bulan. Karena tidak ada pilihan, Yasnina pun menyetujuinya.
Selama tiga bulan, Yasnina harus belajar menjadi perias pengantin. Tak hanya itu, dia juga harus beradaptasi di lingkungan yang baru, yaitu lingkungan tradisional di Solo, Jawa Tengah.
Yasnina lambat laun berhasil beradaptasi dan menerima ilmu yang diturunkan Marjanti kepadanya. Namun, kemalangan tetap saja menimpa Yasnina, seolah-olah semua orang yang pernah terlibat dalam hidupnya bersekongkol untuk menjatuhkannya lagi dan lagi—ke jurang yang paling dalam.
Film ini melukiskan Yasnina yang perempuan tangguh. Bagaimana ia menghadapi kemalangan demi kemalangan yang bertubi-tubi menimpanya. Dan bahwa ia harus ikhlas dalam perjuangannya. Ilmu ikhlas ini pun juga ia peroleh dari Marjanti yang membimbingnya menjadi seorang pemaes atau perias handal. Ia kemudian juga mengalami harus disalahkan perusahaan, kemudian dipecat, hartanya disita, dicampakkan, dikhianati, hingga belajar bagaimana cara mengikhlaskan semua itu. Kemalangan bertubi-tubi yang menimpanya itu seolah-olah menjadikan Yasnina sebagai perempuan tegar. Ketegaran itu dimainkan secara apik oleh Atiqah Hasiholan.
Selain Atiqah Hasiholan, Tutie Kirana juga bermain sangat apik. Tutie Kirana yang pernah bermain di film pendek A Very Boring Conversation karya Edwin ini juga berhasil menampilkan sosok pemaes yang misterius, tetapi disegani. Paes dan beberapa kebudayaan Jawa tradisional dieksplorasi sedemikian intens. Adat pengantin Jawa tersebut dimasukkan secara tepat tanpa membuatnya seolah-olah sebagai tempelan bersama persoalan perempuan urban, tetapi justru menyatu ke filmnya. Hal itulah yang membuat babak ketiga film ini terasa sangat menyayat.
Dimasukkannya lagu dari Sal Pribadi berjudul “Ikat Aku di Tulang Belikatmu” seolah-olah memang sengaja ingin membuat penonton menahan napas dan haru, karena pun sinematografer membidik secara tepat gambar yang barangkali akan membuat penonton tersayat hatinya. Kerja Amalia TS, sang sinematografer, di bagian akhir film ini memang patut diacungi jempol.
Mantan Manten adalah film ke-12 Visinema Pictures sekaligus menjadi film ketiga rumah produksi tersebut di tahun 2019. Merupakan karya panjang kedua Farishad Latjuba setelah Mantan Terindah (2014).
Belajar dari Perempuan dalam Karakter di Film
Sama halnya seperti film Siti, Athirah, dan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, film ini juga secara lantang menyuarakan ketegaran seorang perempuan yang menghadapi berbagai kemalangan bertubi.
Bagaimana seorang perempuan tanpa identitas bisa sukses. Bagaimana seorang perempuan bisa menerima kemalangan, hingga kemudian bisa bangkit dan berjuang. Bagaimana seorang perempuan modern beradaptasi di lingkungan tradisional, hingga kemudian berhasil menjadi pemaes. Bagaimana sebagai perempuan merelakan apa yang pernah dimilikinya dan ikhlas dalam perjuangan. Sebuah film yang patut untuk disimak.
(Foto 1: Yasnina/ Visinema Pictures)
(Foto 2: Yasnina dan Surya/ Visinema Pictures)
(Foto 3: Marjanti dan Yasnina)
Achmad Muchtar, lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menulis cerpen, esai, artikel dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa buku antologi dan media massa. Artikelnya yang berjudul “Marlina si Pembunuh Empat Babak: Perempuan Menolak Kalah” yang dimuat di www.Konde.co memenangi Lomba Artikel Apresiasi Film Indonesia 2018. Saat ini tinggal di Yogyakarta.
Post a Comment