Masih Minimnya Alat Peraga Kesehatan Reproduksi untuk Penyandang Disabiltas
Wajah Fitri dan Ari kebingungan saat gurunya menerangkan tanda – tanda kedewasaan.Dua perempuan siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Rela Bakti, Kulon Progo di Yogyakarta itu berusaha mengikuti penjelasan dari Ibu Sri, gurunya.
*Febriana Sinta, www.konde.co
Untuk mempermudah, Ibu Sri menerangkan tanda – tanda seseorang telah beranjak dewasa dengan menggambar perempuan hamil dan perempuan yang sedang menstruasi. Ia menerangkan dengan menggunakan patung atau manekin sederhana.
Ibu Sri dan beberapa guru lainnya menyatakan bahwa, memang agak sulit untuk mengajarkan murid- murid yang disable tentang kesehatan reproduksi terutama kepada murid perempuan. Hal ini disebabkan karena biasanya siswa tuna rungu dan netra kesulitan untuk menangkap informasi yang disampaikan.
Selama ini para siswa hanya tahu tentang perubahan fisik mereka menuju dewasa, misalnya tumbuhnya payudara , menstruasi dan hamil. Di Sekolah Luar Biasa (SLB) informasi tentang kesehatan reproduksi hanya disampaikan dengan alat peraga, seperti patung manusia atau manikin atau gambar.
“Pengetahuan tentang reproduki seharusnya penting untuk diketahui anak yang sudah berusia rata – rata di atas 18 tahun agar mereka mengetahui haknya dan kesehatan reproduksinya,”ujar Bu Sri.
Saat ini kurikulum kesehatan reproduksi di SLB hanya diajarkan di pelajaran agama dan kesehatan jasmani saja. Guru olahraga SLB Rela Bakti, Arisman mengaku siswa penyandang disabilitas kesulitan untuk diajak berbicara tentang masalah reproduksi, karena mereka tidak pernah mendapatkan pengetahuan dari keluarga dan minimnya mendapatkan akses kesehatan reproduksi dari fasilitas kesehatan.
“ Mendapatkan (pelajaran) iya, tapi kadang yang murid SLB B itu sulit mengerti karena kadang salah persepsi . Secara umum sulit untuk menerjemahkan karena bahasanya khusus.”
Untuk mengatasi minimnya informasi yang diperoleh perempuan penyandandang disabilitas, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA), Nurul Sa'adah Andriani mengatakan lembanganya lalu membantu disabilitas khususnya perempuan mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dengan mudah .
Dirinya dan beberapa relawan selama beberapa tahun terakhir ini gencar melakukan kampanye kesehatan reproduksi. Menurutnya perempuan penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rawan terkena pelecehan seksual.
“Kami melakukan kampanye dan memberikan edukasi semua pihak mulai pemerintah daerah, sekolah sampai keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas. Karena memang minim informasi tentang itu.”
Nurul juga mengkritisi program pemerintah yang menyediakan akses informasi kesehatan reproduksi berupa leaflet atau buku ke penyandang disabilitas. Menurutnya program itu salah sasaran.
“Program ini untuk remaja bukan penyandang disabilitas. Untuk penyandang disabilitas tuna grahita misalnya, tulisan yang terlalu banyak akan menyebabkan mereka kesulitan mengakses informai tersebut.”
Di tahun 2016, Komnas Perempuan pernah menyoroti tentang pelayanan kesehatan reproduksi di rumah sakit. Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Indriyati Suparno mengatakan perempuan penyandang disabilitas mengalami pelanggaran hal atas pelayanan kesehatan dari institusi kesehatan.
“ Mereka dipaksa menjalani sterilisasi paksa atas reproduksinya.”
Menurutnya sterilisasi paksa terjadi karena opini publik yang keliru menganggap perempuan disabilitas tidak akan mampu merawat anaknya. Padahal dalam UU Penyandang Disabilitas, Bab 3 Pasal 5 ayat 3 disebutkan penyandang disabilitas berhak menerima informasi kesehatan reproduksi dan menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi.
Indriyati mengingatkan UU Nomer 8 Tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas harus segera diimplementasikan oleh pemangku kebijakan di tingkat pusat dan daerah sehingga tidak mendiskriminasi para penyandang disable.
(Referensi :https:m.merdeka.com/amp/peristiwa/komnas-perempuan-catat-29-kasus-kekerasan-perempuan-disabilitas.html)
*Febriana Sinta, Bekerja sebagai penulis dan dosen di Yogyakarta.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment