Kritik untuk Indonesia Tanpa Feminis: Apa yang Salah Jika Saya Menjadi Feminis?
*Tri Indah Oktavianti- www.Konde.co
"Indonesia Tanpa Feminis", sebuah rangkaian kata yang cukup ironis dan mematahkan hati. Gerakan dalam akun ini berdalih bahwa feminisme telah menggerogoti jiwa perempuan-perempuan Indonesia yang bertakwa. Feminisme dianggap berbahaya karena ideologinya yang mampu mengubah perempuan-perempuan Indonesia menjadi mahluk jahat jelmaan perempuan-perempuan jalang dari Barat.
"Indonesia Tanpa Feminis", sebuah akun di Instagram yang ramai dibicarakan beberapa pekan ini menuliskan bahwa perempuan sudah dimuliakan. Seandainya mereka tahu bahwa kemuliaan harus bersifat holistik dan nyata, mereka tidak akan semudah itu mengumandangkannya.
Akun ini seolah-olah menuliskan bahwa kemuliaan adalah hak istimewa yang menjadi sumber daya langka bagi perempuan di Indonesia. Pilihan hidup bagi seorang perempuan adalah mengikuti apapun yang dipilihkan masyarakat untuk dirinya.
Jika ini masih belum terlihat sebagai masalah, maka boleh jadi Indonesia Tanpa Feminis ini masalahnya.
Gerakan feminisme yang sudah dimulai sejak tahun 1848 melalui Konvensi Seneca Falls di Amerika Serikat, setidaknya mampu memotivasi perempuan untuk menggapai pendidikan setinggi-tingginya dan mengejar karir apapun yang dicita-citakannya. Tanpa gerakan feminisme ini, mungkin perempuan akan terus menjadi properti dan mahluk peliharaan yang tidak dikenalkan pada dunia.
Jika Indonesia Tanpa Feminis berpikir bahwa tugas feminis sudah selesai, maka mereka perlu menilik lebih dalam tentang kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan dalam kesehariannya.
Perempuan muda produktif yang menyibukkan diri untuk membangun kompetensi, akan terus dikalahkan oleh saudara laki-lakinya, sepupu laki-lakinya, teman laki-lakinya, bahkan tetangga laki-lakinya. Tidak peduli seberapa kompeten seorang perempuan dalam pekerjaannya, Ia akan tetap dinilai merepotkan, banyak menuntut cuti, dan tidak stabil secara emosional terutama ketika menghadapi siklus bulanan.
Jika perempuan sukses dalam karir dan pendidikan, maka wajib baginya untuk memiliki laki-laki pendamping dan melahirkan anak untuk memenuhi ‘kodrat keperempuanannya’.
Namun jika Ia menikah dan memiliki anak, maka menjadi hal yang tidak baik baginya untuk mengembangkan karir, karena itu berarti dia tidak bertanggung jawab terhadap perannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Jika perempuan memilih untuk tidak mengikatkan diri dalam institusi pernikahan, maka Ia akan dibebani dengan tuntutan dan hujatan.
Sebutan sebagai ‘perawan tua’, ‘tidak laku’ dan label yang tidak bermoral lainnya akan menjadi hal yang melekat sebagai identitas perempuan lajang. Ketika perempuan memilih untuk membangun bahtera pernikahan pun, bukan berarti Ia terlepas dari tuntutan dan hujatan. Perempuan akan terus dihujat ketika Ia tidak dapat menghasilkan keturunan, seakan-akan perempuanlah yang bisa menentukan penciptaan seorang manusia. Perempuan akan terus dituntut melakukan pekerjaan domestik rumah tangga tidak peduli seberapa melelahkan dan membosankannya pekerjaan tersebut.
Jika perempuan tertekan, maka masyarakat akan kembali mengumandangkan kejatuhan seorang perempuan yang disebabkan oleh ketiadaan Tuhan yang Maha laki-laki selaku penentu kebahagiaan.
Jika perempuan mengalami kegagalan demi kegagalan, maka masyarakat akan menasehatkan tentang kemuliaan seorang perempuan yang memimpikan dunia yang selayaknya. Jika perempuan mencuat ke permukaan karena pengetahuannya, masyarakat akan menanyakan moralitasnya dengan dalil ketuhanan. Jika perempuan tenggelam dalam ketidaktahuan, masyarakat akan memperbudak keluguannya dengan dalil ketuhanan.
Menjadi perempuan di Indonesia merupakan suatu yang membingungkan dan tidak mudah. Jika perempuan hanya peduli untuk merawat diri, maka masyarakat akan memberikan label ‘jalang’.
Jika perempuan hanya peduli untuk membangun keterampilan diri, maka masyarakat akan memberikan label ‘lupa kodrat’. Alih-alih memimpikan kemuliaan, perempuan Indonesia terus disibukkan berjuang melawan masyarakat penghujat.
Maka tidak mengejutkan jika hasil dari penelitian ValueChampion Singapura ditahun 2019 ini mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi ke 2 di Asia Pasifik sebagai negara yang tidak aman dan tidak ramah bagi perempuan.
Hasil penelitian ini pun semakin diperkuat dengan berbagai kasus kekerasan berbasis gender di negara ini yang tidak berujung pada keadilan yang hakiki. Baru-baru saja kasus AY di Kalimantan, siswa SMP yang dianiaya oleh sekelompok pelajar perempuan, justru menyisakan kekerasan dan penghakiman oleh masyarakat terhadap status si pelaku dan korban.
Alih-alih melihat fenomena ini sebagai refleksi atas minimnya pendidikan moralitas di Indonesia, media justru mengeksploitasi perempuan-perempuan ini sebagai narasi sinetron ‘kebengisan dibalik jilbab gadis-gadis cantik SMA’.
Kesalahan pertama yang perempuan-perempuan pelaku penganiayaan ini lakukan adalah ‘menjadi perempuan’. Kesalahan pertama yang AY lakukan hingga menjadi korban penganiayaan adalah ‘menjadi perempuan’.
Akan sangat menggelikan jika gerakan Indonesia Tanpa Feminis mengklaim bahwa perempuan sudah disetarakan dan dimuliakan. Indonesia, negara yang diklaim sangat dekat dengan Tuhan ini, masih meletakkan semua tumpuan kesalahan pada perempuan. Maka sebenarnya kesalahan pertama bagi perempuan di negara ini adalah “menjadi perempuan”.
(Image: Growing Into Being A Woman by Tabitha Rayne, 2017)
*Tri Indah Oktavianti, Bachelor of Social Science, International Relations Major, University of Jember. Program Director of Resource Center of Gender, Sexuality, and Human Right Study Udayana (GSHR Udayana).Currently active as feminist activist, scholar, and educator.
Post a Comment