Catatan dari Kasus AY: Berbagai Pandangan Menangani Kekerasan Anak
*Abdus Somad- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Berbagai respon datang dari publik dan media dalam kasus yang menimpa anak perempuan, AY. Peristiwa perundungan dan penganiayaan AY (14) siswi Sekolah Menengah Pertama yang diduga dilakukan 12 siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Pontianak, Kalimantan Barat pada 8 April 2019 menjadi sorotan masyarakat Indonesia.
Peristiwa itu direspon publik bermacam-macam ada yang mendukung anak korban, ada juga yang melampiaskan kemarahan serta meminta pihak aparat penegak hukum mengadili anak pelaku.
Pihak Polresta Kota Pontianak pada tanggal 10 April 2019 kemudian menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiayaan. Proses hukum menggunakan undang-Undang Nomor 35/2014 perubahan Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman tiga tahun enam bulan masa penahanan.
Setelah itu. pihak kepolisian menggelar konferensi pers dengan melibatkan anak pelaku untuk mengakui kesalahannya. Konferensi pers itu mengakibatkan anak pelaku mendapatkan penghakiman massa lebih deras melalui sosial media.
Tindakanya mulai mengarah pada publikasi identitas, alamat rumah dan alamat sekolah para Anak Pelaku bahkan melakukan hacking akun sosial media Anak Pelaku. Media massa juga ikut mempublikasikan identias anak pelaku dan anak korban. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 pada pasal 19 menyebutkan anak korban, anak pelaku dan Anak saksi dilarang menyebar luaskan identias dan foto anak pelaku, anak korban dan anak saksi.
Kementerian Pemperdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Provinsi Kalimantan Barat turun tangan menangani dan mendampingi anak korban yang sampai saat ini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Medika.
Tidak hanya anak korban, anak pelaku juga mendapatkan perlindungan dengan pertimbangan mekanisme perlindungan terhadap anak-anak berhak mendapatkan haknya sebagai seorang anak.
“Bicara anak kita bicara anak di mana anak masih punya masa depan, anak ada kondisi psikologis biologis yang tidak sama dengan orang dewasa,’’ kata Pribudiarta Nur Sitepu Selaku Sekretaris Menteri saat memberikan keterangan pers di gedung Kementerian PPPA pada 11 Maret 2019 lalu.
Pribudiarta menjelaskan kondisi terkini yang dialami oleh anak pelaku cukup mengkhawatirkan. Sebabnya, tiga anak yang ditetapkan tersangka mengalami depresi berat yang membutuhkan penanganan khusus.
“Pada hari ini luar biasa tekanan psikis 3 anak, 1 anak perlu ditangani khusus dua anak yang lain masih dalam penanganan. Anak itu semua depresi berat itu sudah keras sekali hubungan dari masyarakat kita tidak ingin terjadi lagi kita harus cegah,’’ ujarnya.
Bagi Pribudiarta, dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak terlebih pelakunya juga anak-anak dibutuhkan kebijaksanaan dan kehati-hatian. Dalam proses hukum, ia akan mendorong kasus ini untuk diselesaikan secara diversi yang tujuanya untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
“Kondisi sama baik korban dan anak pelaku sama pendekatannya dia harus direhabilitiasi, agar kemudian punya masa depannya baik. Pendekatannya nanti rehabilitatif ketimbang impunitif,” katanya.
Ia mengungkapkan, melakukan penghakiman terhadap Anak Pelaku juga tidak dibenarkan, masyarakat perlu memposisikan dirinya untuk tetap menggunakan akal sehatnya dalam melihat peristiwa perundungan ini.
“Masyarakat agar dapat menggunakan media sosial untuk lebih bijaksana dalam menyebarkan informasi.
Kesalahan Penanganan, Memunculkan Trial By Mob
Laporan Kementerian PPPA melalui sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui aplikasi SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) mencatat ada 2.210 kasus kekerasan anak sepanjang tahun 2019. Dari angka itu, korban perempuan mencapai 1.823 sedangkan laki-laki mencapai 549. Adapun persentase korban menurut umur paling banyak dialami oleh anak usia 13-17 tahun dengan persentase 27,8%.
“Laporan simponi sistem pengaduan masyarakat tren-nya meningkat tiap tahun, ada 2000 lalu naik kekerasan terhadap anak. Hampir 100 persen kita respon,” kata Pribudiarta.
Dari aplikasi itu, angka kekerasan anak tertinggi untuk setiap wilayahnya masih didominasi di kota, daerah dan pulau dengan jumlah penduduknya besar seperti di daerah Jawa Timur dengan jumlah kasus kekerasan mencapai 165 lebih, disusul Sulawesi Selatan sebanyak 122 kasus dan terakhir Sumatera sebanyak 177 korban kekerasan serta DKI Jakarta sebanyak 97 korban kekerasan anak.
“Angkanya masih naik, penanganan tuntasnya harus dilakukan semua instansi, mereka bekerja sama dengan semua pihak,” katanya.
Siti Aminah, peneliti di The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) sebuah organisasi non pemerintah yang konsen pada reformasi pendidikan hukum mengungkapkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak tidak dibarengi dengan penanganan yang tepat. Menggelar jumpa pers dengan melibatkan anak pelaku menurutnya tidak dibenarkan, alasannya karena dapat menumbuhkan trauma psikis baru bagi anak.
“Konferensi pers walaupun tujuanya untuk memunculkan anak-anak dalam menyadari kesalahannya dan minta maaf sekaligus menganulir postingan mereka, namun itu tidak tepat karena identitasnya harus dilindungi,” kata Aminah.
Selain itu, ia juga mengkritik ada peyampaian hasil visum korban kepada masyarakat luas. Bagi Siti, semestinya hasil visum hanya bisa diketahui oleh penyidik, korban dan pihak-pihak yang ditunjuk menangani kasus tersebut.
“Sepanjang saya menangani kasus kekerasan perempuan dan anak visum hanya hak penyidik dan hak korban bukan hak publik saya sebagai pendamping hanya boleh membaca tidak boleh menyampaikan. Visum hanya boleh diketahui penyidik untuk kepentingan penyelidikan bukan dipublikasi di media,”ujarnya.
Yang cukup membuat Aminah kaget dan miris melihat peristiwa ini adalah adanya upaya untuk memanfaatkan kasus ini untuk menunjang karir hidup seseorang. Ia mempertanyakan keberadaan Calon Legislatif dan para publik figur yang mempublikasi korban di sosial media.
“Artis dan Caleg mulai mengunjungi korban dan memfoto. Tujuanya apa? Apa itu membantu penaganan korban dan membantu pemulihan korban? Jangan jadikan alat untuk panjat sosial, empati boleh. Namun tidak memanfaatkan,’’ katanya.
Asfinawati, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak tidak semua proses harus disampaikan kepada publik. Pasalnya hal itu dapat memunculkan penghakiman massa yang lebih besar baik untuk Anak Pelaku, Anak Saksi, maupun Anak Korban itu sendiri.
“Dalam sistem hukum yang maju kita dilarang membicarakan kasus dalam batas tertentu. Karena akan ada trial by mob menurut kami ini mengarah ke sana,” kata Asfinawati.
Baginya ketika kasus secara detail diungkap ke publik, maka publik bisa ketagihan untuk mengkonsumsi informasi. Dampaknya publik akan mendorong rasa keadilan atau tindakan tanpa kontrol yang bisa menjadi dorongan gerakan massa.
“Ketika itu minta ramai-ramai akan muncul trial by mob, kalau sudah demikian maka tidak akan terjadi rasionalitas. Ada informasi yang tidak boleh dibuka salah satunya tahap penyidikan,’’ katanya
Untuk menghindari itu, Asfinawati meminta pihak Kepolisian dan Pemerintah yang terlibat penanganan peristiwa di Pontianak tidak menyampaikan informasi secara menyeluruh penyelesaian pidana yang dapat merugikan Anak Korban dan Anak Pelaku.
“Over publishing informasi harus dihentikan, polisi harus hentikan ekspos bukti dan situasi pelaku agar publik tidak ikut ada campur. Publik bisa sangat mudah menafsirkan apa yang terjadi,”katanya.
Proses Diversi Harus Ditempuh
Aliansi untuk Keadilan yang memulihkan bagi Anak mengajak untuk mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak yang berhadapan dengan hukum.Valentita Sagala mewakili Aliansi menyatakan karena masa tahanan Anak Pelaku dijerat 3 tahun 6 bulan atau di bawah 7 tahun, maka proses diversi bisa ditempuh. Meskipun demikian hal itu bukan berarti menghilangkan pertanggungjawaban pidana Anak Pelaku. Melainkan penyelesaian melalui pendekatan Restorative Justice yang dapat menghasilkan keadilan bagi kedua belah pihak.
“Hukuman keras bagi pelaku dengan pidana penjara tidak akan menyelesaikan masalah, pemenjaraan hanya memberikan perhatian pada perbuatan yang terjadi bukan penggalian penyebab,”ungkap Valentita dalam jumpa pers yang dilakukan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kamis (11/1) siang.
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pasal 8 ayat (1) mengatur proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak Pelaku dan orang tuanya, Anak Korban dan orang tuanya, Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Pekerja Sosial Profesional yang juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
“Sekarang pihak Kepolisian harus berkoordinasi dengan Petugas Kemasyarakatan Bapas melakukan penelitian kemasyarakatan melakukan pemeriksaan secara komperhensif untuk penggalian latar belakang Anak Pelaku, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial hal sama juga berlaku untuk korban,” ujar Valentita.
Selanjutnya, Valentita menjelaskan, laporan penelitian yang dilakukan Bapas wajib dipertimbangkan dalam proses diversi. Penggalian latar belakang anak melakukan tindak pidana harus dilakukan untuk menghasilkan rekomendasi yang tujuannya memulihkan Anak Pelaku dan Anak Korban.
“Instansi yang terlibat harus fokus pada pendekatan keadilan restorative dan keadilan gender yang mengedepankan pemulihan,”ungkapnya.
Valentita mengajak masyarakat untuk mengawal proses diversi. Hal itu penting untuk memastikan keadilan bagi Anak Pelaku dan Anak Korban.
“Masyarakat perlu mengawal proses diversi agar mencapai tujuannya yakni Anak Pelaku betanggungjawab dan korban terpulihkan,”ujarnya.
*Abdus Somad, penulis
Post a Comment