Mengapa penolakan kubu Islam konservatif terhadap RUU PKS salah kaprah?
Balawyn Jones, University of Melbourne dan Max Walden, University of Melbourne
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhir-akhir ini mencuat ke permukaan karena adanya penolakan dari kelompok konservatif Islam yang berpendapat bahwa RUU ini dianggap mempromosikan seks bebas dan perilaku seks menyimpang.
Meski mayoritas partai politik yang kini punya kursi di parlemen - baik yang mendukung calon Presiden Joko Widodo “Jokowi” maupun Prabowo Subianto - mendukung RUU ini, partai Islam konservatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolak pembahasan RUU PKS di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebuah petisi melalui platform Change.org yang mendukung RUU PKS telah mencapai lebih dari 217.000 tanda tangan. Pada saat yang bersamaan, petisi tandingan yang menolak RUU ini pun telah mendekati angka 162.000 tanda tangan sejak akhir Januari yang lalu.
RUU PKS bertujuan untuk mencegah dan menghentikan terjadinya kekerasan seksual yang di dalamnya termasuk pemerkosaan, praktik pelacuran secara paksa, perbudakan dan penyiksaan seksual di dalam rumah tangga, di tempat kerja, dan di ruang publik. RUU ini mencuat ke permukaan pada 2016, setelah aktivis perempuan mendorong pembahasan RUU ini sebagai respons dari kasus pemerkosaan sekaligus pembunuhan seorang siswi SMP berusia 13 tahun bernama Yuyun yang dilakukan oleh 14 pemuda di Bengkulu.
Statistik terkini dari UNFPA menunjukkan sekitar 1 dari 3 perempuan Indonesia berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Jumlah korban kekerasan seksual bisa jadi lebih tinggi dari jumlah yang tercatat mengingat lebih dari 90% kasus pemerkosaan di Indonesia tidak tercatat karena tidak dilaporkan ke pihak berwenang.
Kekhawatiran ihwal ‘seks bebas’ salah kaprah
Salah satu argumen utama yang dilontarkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam penolakannya adalah bahwa RUU ini mengkriminalisasi kasus pemerkosaan, termasuk pemerkosaan di dalam hubungan pernikahan. Mereka menganggap RUU ini juga tidak secara eksplisit melarang hubungan seksual di luar nikah yang berdasarkan suka sama suka dan tanpa kekerasan.
PKS berpendapat bahwa dengan tidak secara eksplisit menyebutkan seks luar nikah, RUU tersebut secara tidak langsung mempromosikan ‘seks bebas’ dan perilaku homoseksualitas. Akan tetapi tentu ada alasan yang kuat mengapa RUU PKS tidak membahas isu tersebut.
Pertama, tujuan dari RUU ini mencakup masalah penghapusan kekerasan seksual. Hubungan seks tanpa kekerasan tentu tidak dimasukkan ke dalam RUU ini karena tentu saja tidak relevan.
Kedua, aturan mengenai hubungan di luar nikah telah diperdebatkan dan diatur di dalam draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga kontroversial.
Oleh karena isu ini sudah diperdebatkan dalam RUU yang lain, maka tidak penting untuk kembali mengatur hal yang serupa di dalam RUU PKS.
Alasan yang dipakai kubu konservatif dalam menentang RUU PKS karena RUU ini tidak membahas tentang hubungan suka sama suka di luar nikah adalah argumen yang kurang tepat.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana menyatakan dalam sebuah wawancara dengan kami bahwa “isu seks bebas dan homoseksualitas adalah tafsir yang dibangun sepihak oleh kelompok yang menolak, tanpa mengkonfirmasi pihak yang menggagas atau menyusun draf RUU”.
Tren terkini dalam penolakan hak-hak perempuan
Penolakan kubu konservatif terhadap RUU PKS bukan merupakan fenomena baru. Akan tetapi, tampaknya penolakan PKS terhadap RUU ini sarat politik. Gerakan penolakan ini adalah upaya PKS untuk menarik suara dalam pemilihan umum (pemilu) April mendatang.
Pemilu serentak–baik pemilihan calon presiden dan calon legislatif dilakukan secara bersamaan–merupakan pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Dalam beberapa pemilu terakhir, partai-partai Islam menunjukkan hasil yang kurang baik.
Citra partai-partai Islam tersebut ternodai oleh skandal kasus-kasus korupsi. PKS hanya mendulang 6,79 persen suara pada pemilu 2014. Hasil tersebut 1,09% lebih kecil dari pemilu sebelumnya yang mengakibatkan PKS kehilangan 17 kursi di dalam parlemen.
Keberhasilan yang kurang cemerlang dalam pemilihan umum telah mendorong partai-partai Islam, seperti PKS, menggunakan isu-isu ‘moral’ untuk mendulang suara lebih banyak.
Dengan tujuan yang sama, penolakan terhadap RUU PKS juga senada dengan sikap penolakan PKS terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU PKDRT) yang disahkan pada 2004.
Ketika itu, politikus PKS berpendapat bahwa UU PKDRT secara tidak langsung mendukung hubungan luar nikah. Mereka juga menolak pasal mengenai pemerkosaan dalam hubungan pernikahan. Pada tahun yang sama pula, Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS Hilman Rosyad Syihab mendukung pernikahan di bawah umur (anak), dengan menyatakan bahwa Islam membolehkan pernikahan tersebut tidak peduli apakah si anak sudah cukup dewasa atau tidak.
Politikus PKS juga berada di garda depan dalam mendukung kriminalisasi hubungan luar nikah di dalam draf RUU KUHP.
Meski secara garis besar larangan dalam RUU KUHP ini menargetkan hubungan seksual pada komunitas LGBTQ, pasal-pasal di dalamnya juga berpotensi mengancam masyarakat luas.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan aktivis perempuan telah mengecam draf RUU KUHP, khususnya karena RUU yang disusun bersifat terlalu umum. Mereka berpendapat bahwa draf tersebut dapat berpotensi mengancam jutaan masyarakat Indonesia.
Di dalam draf RUU KUHP, hubungan seks luar nikah diancam hukuman paling lama setidaknya lima tahun hukuman kurungan.
Melindungi kaum laki-laki, perempuan dan anak
RUU PKS tidak semata-mata mengenai hubungan seks luar nikah dan perilaku homoseksualitas seperti tuduhan kelompok konservatif. RUU ini juga mengatur pencegahan kekerasan seksual terhadap kaum laki-laki, perempuan, dan anak di Indonesia.
Yang lebih penting, RUU ini juga merinci tentang perlindungan dan dukungan kepada korban kekerasan seksual. Dukungan yang dimaksud termasuk penyediaan pelayanan kesehatan dan bantuan hukum terhadap para korban.
RUU PKS ini merupakan upaya perubahan hukum yang sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum yang nyata kepada masyarakat yang rentan terhadap kasus kekerasan seksual.
*Koreksi telah dilakukan terhadap nama lokasi kasus pemerkosaan Yuyun. Lokasi yang benar adalah Bengkulu, bukan Lampung, seperti yang ditulis sebelumnya.
Balawyn Jones, PhD Candidate and Research Fellow, Melbourne Law School, University of Melbourne dan Max Walden, PhD Candidate and Research Assistant, Melbourne Law School, University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment