Header Ads

Bagaimana Berinternet Aman untuk Perempuan?


“Ada penyebaran konten perempuan telanjang yang disebarkan sendiri oleh pacarnya. Akibatnya ia menjadi pembicaraan di kampus karena persebaran foto tersebut.”

Poedjiati Tan - www.konde.co

Surabaya, Konde.co- Bagaimana cara berinternet aman untuk perempuan? Pertanyaan ini dilontarkan ketika banyak kejahatan yang terjadi di internet, lebih-lebih untuk perempuan.

Perempuan termasuk kelompok rentan sebagai korban kejahatan gender berbasis online. Menurut Laporan Privacy International yang dipublikasikan pada akhir November 2018 lalu, perempuan dan transgender rentan menjadi korban pelanggaran privasi.

4 pelanggaran di antaranya adalah:

1. Pengumpulan dan penyebaran informasi pribadi tanpa seizin pemiliknya (doxing)

2. Pelecehan di media social

3. Pencurian akun korban

4. Surveillance

Laporan lain dari Komnas Perempuan menemukan adanya lonjakan kasus-kasus kekerasan berbasis internet. Kasus terbanyak adalah revenge porn, yang seringkali justru menimpa anak-anak usia remaja.

Pada tahun 2017 terdapat 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Bentuk-bentuknya berupa:

1. Pendekatan untuk memperdaya (cyber-grooming)

2. Pelecehan online (cyber harassment)

3. Peretasan (hacking)

4. Konten ilegal (illegal content)

5. Pelanggaran privasi (infringement of privacy)

6. Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution)

7. Pencemaran nama baik (online defamation)

8. Rekrutmen online.

Melihat maraknya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online ini, Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendorong agar perempuan mendapatkan kebebasannya untuk berekspresi serta menggunakan Internet secara aman.

Lewat momentum Hari Internet Aman (Safer Internet Day – SID), SAFEnet menggelar Bulan Aman Internetan 2019 dengan fokus pada pentingnya perlindungan hak-hak digital perempuan.

Di Surabaya, kegiatan ini dilangsungkan pada: Sabtu, 16 Maret 2019 lalu dengan menghadirkan beberapa pembicara seperti Ika Ningtyas (Aliansi Jurnalis Independen dan Head Division Online Freedom of Expression, SAFEnet), Anindya Shabrina Joediono (Merah Muda Memudar), Poedjiati Tan (co-founder Konde.co dan arekfeminis), dengan Moderator: kathleen azali (PERIN+1S, digital security division, SAFEnet).

Pada sesi sharing, Anindya menceritakan bagaimana seorang mahasiswi sebuah universitas, fotonya dimasukkan ke sebuah situs porno dan Whats App Group dengan konten perempuan telanjang yang disebarkan oleh pacarnya. Akibatnya ia menjadi pembicaraan di kampus karena foto tersebut.

Beberapa saat yang lalu juga ramai beredar di Instagram seorang mahasiswa yang menawarkan CD film yang berisi film hubungan seks dengan pacarnya. Ketika peristiwa itu ramai dan dilaporkan ke polisi, mahasiswa tersebut mengatakan bahwa itu hanyalah prank.

Orang dewasa mungkin sudah memiliki kesadaran akan Save Seks tapi tidak dengan Save Sexting, atau sex phone. Orang berpikir bahwa sexting tidak beresiko dan tidak berbahaya atau tidak menyebabkan kehamilan.Awalnya hanya dianggap lucu-lucuan dan for fun aja sampai mereka tidak sadar mengirimkan foto telanjang atau diajak bercinta live dan direkam.

Biasanya ini dilakukan ketika awalnya diminta melakukan adegan seks lewat video call lalu diminta melakukan hubungan seks secara offline. Jika tidak mau ia bisa diancam, kalau menolak maka foto atau videonya akan disebarkan. Bahkan ketika sang perempuan meminta putus dia akan diancam dan dijadikan korban revenge porn.

Perempuan korban revenge porn sering tidak memiliki keberanian untuk melapor karena stigma dan juga memungkinkan orang akan terjerat hukum. Seperti dalam Pasal 8 UU Pornografi: Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.Pasal 34 UU Pornografi: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi mengatur bahwa setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; menyajikan secara eksplisit alat kelamin; mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Selain UU pornografi juga bisa terkena UU ITE pasal 27 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Banyak kasus perempuan korban kekerasan seksual yang akhirnya malah terjerat hukum. Hal penting yang sebenarnya harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyambut Revolusi Industri 4.0 ini, yaitu dengan menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan dalam berinternet dan safe internet untuk perempuan.

Pemerintah perlu secara serius menyusun sebuah kurikulum yang memberikan pengertian tentang batasan-batasan berinternet, memberikan pengertian konten negatif, hingga mengajarkan bagaimana cara menepis atau melaporkannya.

Kesadaran lain yaitu kesadaaran di level individu yang menjadi kunci untuk perubahan revolusioner di internet.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.