Mampukah Asian Games mendorong perdamaian dunia?
Ario Bimo Utomo, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Asian Games ke-18 akan dibuka pada Sabtu di Jakarta, Indonesia. Setelah 56 tahun, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games untuk kedua kalinya. Kali ini, Indonesia melaksanakannya di dua kota – Jakarta dan Palembang, Sumatra Selatan.
Kesuksesan Olimpiade Musim Dingin 2018 Korea Selatan dalam mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea telah memunculkan perdebatan tentang peran kompetisi olahraga internasional dalam menjaga perdamaian dunia. Diikuti oleh 45 negara, beberapa negara di antaranya masih terlibat konflik satu sama lain, dapatkah Asian Games menurunkan panasnya konflik di kawasan ini?
Asian Games sebagai medan pertempuran?
Sebagai ajang olahraga internasional, Asian Games memiliki potensi sebagai media alternatif menciptakan perdamaian. Namun, hal ini bisa jadi sangat menantang, baik bagi tuan rumah maupun bagi para peserta.
Saat ini, tercatat ada 17 konflik tengah berlangsung di dalam batas wilayah 45 negara peserta Asian Games. Tiga di antaranya merupakan konflik antarnegara, sedangkan sisanya adalah perang sipil.
Di antara konflik-konflik tersebut ada Perang Korea yang masih berlangsung hingga kini, sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, serta krisis Yaman yang melibatkan Saudi Arabia dan Yaman.
Selain itu, jangan sampai pula kita melupakan konflik antara Cina dan Taiwan yang enggan mengakui kedaulatan satu sama lain hingga kini. Walaupun konflik Cina-Taiwan tidaklah bersifat terbuka, ia tetap menjadi duri di dalam daging bagi perpolitikan Asia.
Apa yang mampu Indonesia tawarkan?
Untuk meyakinkan bahwa Asian Games dapat mendukung perdamaian global, pertama-tama Indonesia perlu menjaga citra positif sebagai tuan rumah. Keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah sebuah acara akbar internasional adalah sebuah konfirmasi awal bahwa Indonesia memiliki daya tawar diplomatik yang penting. Untuk memelihara citra sebagai negara yang dapat dipercaya, Indonesia perlu konsisten menyajikan pelayanan terbaik dan menjunjung tinggi sportivitas.
Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai tuan rumah untuk menyediakan lingkungan kondusif bagi negara-negara yang tengah berkonflik. Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo telah melakukan pendekatan ini dengan mengundangsecara personal pemimpin negara Korea Utara dan Korea Selatan untuk berpartisipasi dalam Asian Games.
Baik Korea Selatan maupun Korea Utara merespons positif undangan tersebut. Kedua tim sepakat untuk membuat tim gabungan dalam tiga cabang olahraga: kano, mendayung, dan bola basket perempuan.
Tim gabungan ini adalah kelanjutan dari keputusan kedua negara untuk berlaga sebagai satu tim pada Olimpiade Musim Dingin Februari silam. Tim gabungan ini membuktikan bagaimana olahraga memiliki potensi untuk menjadi sumber soft power ketika kekerasan tak mampu menjadi solusi.
Oleh karena itu, penulis yakin bahwa ajang-ajang olahraga seperti Asian Games mampu menawarkan arena bagi negara-negara untuk duduk bersama walau tengah berkonflik. Inilah hal yang belum tentu dapat dilakukan secara sukses oleh metode diplomasi konvensional lainnya.
Olahraga, politik, dan diplomasi
Kompetisi olahraga sudah lama menjadi bagian peradaban manusia. Sejarah mencatat bahwa ajang olahraga pertama dilaksanakan pada 776 SM, ketika sejumlah negara-kota di Yunani Kuno menggelar olimpiade pertama.
Seiring berjalannya waktu, dengan negara-bangsa modern menggantikan negara-kota, berbagai upaya menghidupkan kembali Olimpiade pun dilakukan di berbagai negara. Namun, baru pada 1895, Olimpiade modern pertama diadakan sebagai ajang olahraga global. Sejak itu, banyak ajang serupa bermunculan, umumnya diprakarsai oleh federasi regional. Salah satunya adalah Asian Games yang diinisiasi pada 1951 dan dipimpin oleh Olympic Council of Asia.
Kini, dengan adanya globalisasi, olahraga perlahan berevolusi menjadi agenda baru dalam politik internasional. Performa atlet pun dianggap sebagai simbol kekuatan sebuah negara, sehingga banyak pemimpin berlomba-lomba memprioritaskan pengembangan olahraga di negara mereka.
Hal yang sama pun dirasakan oleh para warga negara. Mereka mendukung atlet-atlet yang berlaga tanpa kenal lelah. Para pendukung ini menganggap atlet-atlet tersebut setara dengan pahlawan yang mengharumkan nama bangsa.
Diplomasi olahraga
Dalam politik internasional, peperangan dan perdamaian adalah dua topik yang masih dianggap paling penting. Walaupun jumlah konflik bersenjata terus menurun setelah Perang Dunia II, masih ada sejumlah kawasan di dunia yang terlibat perang.
Ketika cara-cara diplomasi tradisional tak mampu menyelesaikan masalah ini, olahraga pun diharapkan mampu mengisi kekosongan tersebut. Karakter universal olahraga, yang tidak mengenal batasan bahasa, telah menarik para politikus untuk menggunakannya sebagai metode diplomatik yang baru.
Havard Mokleiv Nygard dan Scott Gates, peneliti dari Peace Research Insitute Oslo, berpendapat bahwa ada empat cara olahraga menjadi alat mendukung perdamaian:
Ajang olahraga internasional mampu membantu tuan rumah menciptakan citra ramah bagi negara-negara lain di dunia.
Olahraga mampu menyediakan tempat untuk pertukaran budaya secara damai, sehingga mendorong dialog berikutnya.
Ajang olahraga memungkinkan negara-negara partisipan untuk membangun rasa percaya satu sama lain.
Ajang olahraga memungkinkan negara-negara peserta menggalang perdamaian lewat semangat rekonsiliasi, integrasi, dan anti-rasisme.
Respons untuk pandangan skeptis
Beberapa orang mungkin skeptis terhadap peran olahraga dalam menciptakan perdamaian. Namun, skeptisisme ini hanya benar ketika kita menganggap ajang olahraga sebagai sebuah solusi ajaib yang mampu meruntuhkan segala hambatan untuk mewujudkan perdamaian.
Untuk menghindari pemahaman yang keliru, kita perlu menyepakati bahwa ajang-ajang olahraga seperti Asian Games, pada hakikatnya, bersifat kompetitif. Di satu sisi memang ia mampu menjadi sebuah pertemuan yang memunculkan rasa hormat. Namun, di sisi lain, ia juga berpotensi disalahgunakan sebagai ajang perselisihan yang bisa menimbulkan rasa nasionalisme secara berlebihan.
Untuk memaksimalkan fungsi Asian Games, para pemimpin perlu berkomitmen pada pesan universal olahraga untuk menggalang kebersamaan terlepas dari segala latar belakang yang ada.
Tentu saja, Asian Games bukanlah solusi langsung untuk menciptakan perdamaian.
Namun, ketika semua orang berdiri sama tinggi di hadapan olahraga, bahkan pihak paling berseberangan pun mampu belajar untuk menghargai satu sama lain. Inilah kelebihan yang dimiliki ajang-ajang olahraga ketimbang sarana diplomasi tradisional lainnya.
Pada akhirnya, keputusan ada pada setiap partisipan untuk memanfaatkan Asian Games sebagai momen mengurai ketegangan sejenak dengan pihak-pihak yang berseteru dengan mereka. Kesempatan itu kini terbuka lebar.
Ario Bimo Utomo, Lecturer in International Relations, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment