Elektabilitas perempuan di pilkada 2018 meningkat
Ella S Prihatini, University of Western Australia
Pemilihan kepala daerah (pilkada) putaran ketiga secara serentak pada 27 Juni 2018 menunjukkan peningkatan elektabilitas perempuan sebagai pemimpin politik lokal.
Dari total 94 perempuan yang berlaga, 31 orang berhasil terpilih (32,98%). Angka ini hampir 2% lebih tinggi dibandingkan dengan pilkada serentak setahun sebelumnya. Secara keseluruhan, perempuan memenangkan 31 dari total 338 jabatan kepala dan wakil kepala daerah (9,17%).
Baca juga:
Mengukur peruntungan calon perempuan dalam pilkada 2018
Seperti terlihat di tabel di bawah, sepertiga dari keseluruhan kandidat perempuan bertanding untuk menjadi bupati. Proporsi terbesar kedua adalah untuk tingkat wakil bupati, diikuti kemudian untuk tingkatan wakil walikota dan walikota.
Sementara untuk posisi gubernur, hanya ada dua perempuan yang menjadi kandidat. Lima kandidat perempuan bertanding sebagai calon wakil gubernur. Data ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam ajang Pilkada tidak menyebar secara merata di tiga tingkat pemerintahan daerah.
Namun demikian, hasil pilkada 2018 membuktikan bahwa meski perempuan sangat jarang menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, mereka sangat efektif mendulang suara pemilih. Elektabilitas perempuan sebagai gubernur mencapai 50%.
Hal ini disebabkan oleh kemenangan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak di Jawa Timur yang mengumpulkan 53,55% suara sah dengan selisih 1 juta suara dari pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno. Perempuan terbukti sukses merebut posisi wakil gubernur dengan tingkat keterpilihan 40%.
Perempuan yang melaju sebagai calon wakil walikota juga menunjukkan angka keberhasilan yang signifikan, yakni 37,5 persen. Elektabilitas terendah terjadi di tingkat pemerintah kota, di mana hanya seperempat kandidat perempuan yang berhasil menang.
Selain elektabilitas, pilkada 2018 juga menunjukkan tren menarik di sebaran latar belakang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah.
Mereka yang menang ternyata mayoritas memiliki latar belakang swasta, kecuali di jabatan wakil walikota dan wakil bupati. Kondisi ini menyiratkan kekuatan finansial yang memainkan peran kunci dalam kompetisi politik lokal.
Di sisi lain, perlu juga rasanya dicermati bagaimana kandidat pilkada secara umum mengkategorikan diri mereka. Sebagai contoh, Khofifah Indar Parawansa yang telah “malang melintang” sebagai anggota parlemen sejak 1999 dan terakhir menjabat sebagai Menteri Sosial, masuk ke dalam kategori swasta dalam data KPU.
Dua grup yang juga dominan adalah anggota legislatif (nasional dan lokal) serta bekas walikota/wakil walikota.
Hasil pilkada 2018 mengindikasikan bahwa perempuan kandidat walikota dan wakil walikota lebih berpeluang untuk mempertahankan kursinya dibandingkan mereka yang petahana dan berusaha melanjutkan masa jabatan bupati dan wakil bupati.
Selain itu, sebaran latar belakang menunjukkan besarnya potensi anggota legislatif untuk terpilih menjadi eksekutif. Modal politik dan sosial selama duduk di parlemen dapat meningkatkan peluang perempuan untuk menjadi kepala daerah.
Dari 16 perempuan yang terpilih menjadi walikota, bupati dan gubernur, sebanyak 6 di antaranya adalah petahana; Mundjidah Wahab (Bupati Jombang), Ade Uu Sukaesih (Walikota Banjar), Umi Azizah (Bupati Tegal), Puput Tantriana Sari (Bupati Probolinggo), Iti Octavia Jayabaya (Bupati Lebak), dan Tatong Bara (Walikota Kotamobagu).
Sementara itu perempuan yang menjadi bagian dari dinasti politik meliputi Anne Ratna Mustika (Bupati Purwakarta) yang merupakan istri Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi terdahulu dan Erlina (Bupati Mempawah) yaitu istri dari Wakil Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan.
Berbagai catatan dari hasil Pilkada 2018 ini menunjukkan bahwa keterpilihan perempuan terus meningkat meskipun lajunya tidak terlalu cepat. Kenaikan ini merupakan indikasi positif bagi keterwakilan perempuan sebagai pemimpin politik di tingkat lokal.
Dengan kewenangan pemerintah daerah yang semakin signifikan dalam penentuan kebijakan, perempuan yang menjadi kepala daerah diharapkan bisa menguatkan gaung pengarusutamaan gender. Keterwakilan substantif seperti ini akan menjadi ujian terbesar bagi perempuan pemimpin, yang kemudian hasilnya bisa dilihat antara lain dari menurunnya ketimpangan angka partisipasi sekolah antara anak laki-laki dan perempuan dan anggaran untuk kesehatan yang porsinya semakin besar signifikan.
Ella S Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, University of Western Australia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment