Agama tidak menentukan moralitas Anda
Jim Davies, Carleton University
Kebanyakan orang yang religius berpikir bahwa moralitas mereka berasal dari agama yang mereka anut. Orang yang sangat religius pun sering kali bingung bagaimana seorang ateis pun bisa memiliki moralitas.
Saya akan menggunakan Kristen sebagai contoh, bukan karena agama Kristen menggambarkan agama secara umum namun karena terdapat banyak penelitian tentang Kristen, dan mungkin kebanyakan pembaca global akan familiar dengannya.
Penganut Kristen akan sering mengatakan pada Anda bahwa moralitas orang Kristen berasal dari agama yang mereka miliki (atau dari versi orang tua mereka). Dan jika Anda menanyakan mereka tentang apa yang diajarkan oleh agama mereka tentang benar dan salah, hal tersebut cenderung akan sesuai dengan pandangan pribadi mereka tentang apa yang salah dan benar.
Namun hubungan sebab-akibatnya tidak sejelas yang tampak.
Alkitab sangatlah rumit, dengan banyak keyakinan, potongan nasihat dan implikasi moral. Tidak ada yang bisa mempercayai seluruh hal tersebut. Setiap aliran dari Kristen, begitu pun dengan setiap orangnya, hanya akan mengambil beberapa hal dan meninggalkan yang lain.
Banyak hal di Alkitab tidak dapat diterima oleh Kristen modern. Mengapa? Karena mereka tidak sejalan dengan pemahaman moral yang kontemporer.
Mari kita gunakan sihir sebagai salah satu contohnya. Banyak penganut Kristen yang tidak percaya pada sihir, bahkan mereka yang percaya pun tidak akan berpikir untuk membunuh orang-orang yang menggunakannya, meskipun seseorang bisa menafsirkan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar untuk melakukan pembunuhan tersebut.
Lalu apa yang terjadi?
Dalam kasus sihir yang dibahas di atas, terdapat sebuah perilaku moral yang dianjurkan oleh Alkitab yang ditolak oleh kebanyakan orang. Mengapa? Karena mereka merasa hal tersebut salah secara moral.
Mereka mengabaikan bagian tentang pengajaran moral dalam Alkitab. Kebalikannya, mereka cenderung menerima pengajaran moral dari Alkitab yang dirasa sesuai bagi mereka. Hal ini terjadi sepanjang waktu dan juga merupakan hal yang baik.
Agama jauh lebih luas dari apa yang tertulis di kitab suci.
Ketika meneliti untuk buku saya, Riveted: The Science of Why Jokes Make Us Laugh, Movie Make Us Cry, and Religion Makes Us Feel One with the Universe, saya menemukan bahwa sumber dari moralitas tidak berasal secara langsung dari agama sebagaimana anggapan kebanyakan orang.
Kebebasan untuk menafsirkan
Pendeta menafsirkan kitab suci, dan praktik kebudayaan dan kepercayaan diturunkan, banyak di antaranya yang memiliki sedikit hubungan atau bahkan tidak sama sekali dengan Alkitab.
Misalnya, ide Katolik untuk memakan ikan ketimbang daging pada hari Jumat adalah sebuah tradisi budaya yang tidak pernah disinggung di Alkitab sama sekali.
Pada dasarnya, seseorang mengambil atau meninggalkan moralitas religius berdasarkan kompas moral yang telah dimiliki seorang individu sebelumnya. Mereka bahkan mungkin memilih gereja apa yang akan mereka datangi, tergantung sesuai atau tidak pengajaran di gereja dengan pemahaman mereka terhadap yang benar dan salah.
Di dunia Barat yang modern, beberapa orang mungkin merasa bebas untuk memilih agama yang mereka rasa benar. Mengapa seseorang bisa berganti dari Kristen ke Buddha atau menjadi seorang muslim? Sering kali hal tersebut disebabkan agama baru berbicara pada mereka dengan cara yang tidak diberikan oleh agama mereka yang lama.
Baca juga:
Di balik meningkatnya kasus penodaan agama di Indonesia
Kita melihat bahwa manusia bisa memilih agama yang mereka anut, gereja dan bahkan seluruh agama didasarkan pada moralitas yang sebelumnya telah mereka miliki. Dan bentuk moralitas seperti inilah yang juga dimiliki oleh ateis.
Benar dan salah
Bukti eksperimental menunjukkan bahwa pendapat seseorang tentang apa yang dianggap benar dan salah oleh Tuhan akan sejalan dengan apa yang mereka percaya sebagai benar dan salah, bukan sebaliknya.
Psikolog sosial Nicholas Epley dan koleganya mensurvei pemeluk-pemeluk agama tentang keyakinan moralnya dan keyakinan moral yang berasal dari Tuhan. Dengan tidak mengejutkan, apa yang orang anggap sebagai benar dan salah sesuai dengan apa yang mereka rasa sesuai dengan moralitas yang berasal dari Tuhan.
Kemudian, Epley dan rekan-rekan penelitinya berusaha untuk memanipulasi kepercayaan moral dari partisipan dengan esai-esai yang persuasif. Jika mereka bisa diyakinkan, maka pendapat moral mereka akan berbeda dengan Tuhan, bukan?
Hal yang terjadi ternyata tidak demikian. Ketika responden ditanya kembali tentang apa yang dipikirkan oleh Tuhan, orang-orang menjawab bahwa Tuhan setuju dengan opini baru mereka!
Meski begitu, mereka tidak kemudian mempercayai bahwa Tuhan salah, mereka hanya mengubah pendapat mereka tentang apa yang dianggap benar dan salah oleh Tuhan.
Ketika Anda mengubah keyakinan moral seseorang, Anda juga mengganti pandangan mereka tentang apa yang dipikirkan oleh Tuhan. Meski begitu kebanyakan orang yang telah disurvei tetap berpegang pada ilusi bahwa kompas moral yang mereka miliki berasal dari apa yang Tuhan anggap sebagai benar dan salah.
Siapa yang mendefinisikan moral kita?
Jika orang-orang mendapatkan moralnya dari konsep mereka tentang Tuhan, Anda mungkin akan berpikir bahwa merenungkan pendapat Tuhan mungkin lebih seperti memikirkan keyakinan orang lain dibandingkan dengan keyakinan Anda sendiri.
Namun nyatanya tidak begitu. Penelitian yang sama menemukan bahwa ketika Anda berpikir tentang apa yang Tuhan anggap benar dan salah, bagian otak yang aktif ketika Anda memikirkan tentang kepercayaan Anda sendiri jauh lebih aktif dari bagian otak Anda yang aktif ketika Anda memikirkan tentang keyakinan orang lain.
Dengan kata lain, ketika berpikir tentang apa yang Tuhan yakini, Anda (secara tidak sadar) mengakses kepercayaan Anda sendiri.
Baca juga:
Kaum sekuler dan ateis Indonesia hidup di bawah bayang-bayang stigma
Jadi berasal dari manakah moral kita, jika bukan dari agama? Itu adalah pertanyaan yang rumit: kemungkinan hal tersebut adalah genetis dan juga bisa komponen budaya. Komponen budaya ini tentu saja dipengaruhi oleh agama.
Persamaan ini juga berlaku bahkan untuk para ateis, yang cenderung lebih banyak mengambil moral dari budayanya, yang juga telah sangat dipengaruhi oleh agama-agama yang bahkan tidak mereka anut. Jadi ini bukan tentang bagaimana agama tidak berdampak pada moralitas, hanya saja moralitas juga berdampak pada agama.
Ateis tidak berbeda dengan orang-orang religius ketika diberikan dilema moral. Hal ini menunjukkan bahwa kita semua memang memiliki moralitas.
Baik religius atau tidak, moralitas Anda berasal hal yang sama.
Jim Davies, Professor, Institute of Cognitive Science, Carleton University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment