Malam Budaya dalam Perjuangan Perempuan Aceh
Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Secara kasat mata, pembangunan di Aceh saat ini terlihat tumbuh pesat, hal ini ditandai dengan berdirinya gedung-gedung yang cukup megah, ruas jalan yang lebar dan beraspal, rumah-rumah penduduk yang semakin sesak memenuhi negeri.
Bahkan lalu lintas manusia dan perjalanan wisata dari berbagai pelosok, juga turut memberikan bukti.
Namun, di tengah hiruk pikuk suasana perdamaian, dan membuncahnya warung-warung kopi di pinggiran jalan, masih banyak persoalan kemanusiaan yang belum diselesaikan disana. Antaralain tentang keberlanjutan pendidikan, kekerasan yang kian meninggi, rantai kemiskinan yang akut, yang lebih menimpa kelompok rentan yaitu perempuan, anak, Lansia, penyandang disabilitas dan lainnya.
Hal lain yaitu nasib para penyintas paska konflik. pengungkapan kebenaran akan luka panjang mereka, pemulihan yang berkelanjutan dan massif, keadilan yang sepatutnya bergulir menjamah hidup mereka. Hal ini terungkap dalam konferensi pers rencana malam budaya Aceh yang bertajuk demi damai yang akan diadakan Minggu, 19 Agustus 2018 lalu di Jakarta.
Zubaedah Djohar, salah satu aktivis dan sastrawan Aceh yang menggagas acara malam budaya ini menyatakan bahwa persolan lain yang masih mendera di Aceh yaitu adanya Peraturan Daerah/ Perda atau Qanun Jinayat yang berpotensi menguatkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal 52 yang mewajibkan korban menghadirkan alat bukti dan saksi ketika melaporkan tindak perkosaan. Padahal korban perkosaan sering mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan mereka sulit mengungkapkan apa yang terjadi pada diri mereka.
Hukuman cambuk yang masih terjadi juga harus dikaji ulang karena berbentuk kekerasan dan merusak martabat manusia.
Sedangkan hukum syariat justru lebih banyak berkontribusi pada sejumlah kasus pelecehan terhadap perempuan. Seperti dalam qanun busana Islami dan qanun khalwat: regulasinya lebih banyak menyasar perempuan. Tindakannya dianggap bertujuan mempermalukan pelanggar, termasuk dengan diarak di depan umum atau disiram air kotor, dan cara-cara main hakim sendiri.
Hal lain menurut Zubaedah yang masih menjadi persoalan pasca 13 tahun perjanjian Helsinki yaitu soal ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pemulihan korban konflik.
“Angka kematian Ibu melahirkan paling tinggi di Aceh, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih cukup tinggi, yaitu 143 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebanyak 10 per 1000 kelahiran hidup. Angka stunting yang melanda anak-anak Aceh mencapai 35,3 persen. Di samping itu, kata Nova, penanganan kasus TBC juga belum maksimal. Sedangan untuk cakupan imunisasi dasar, pencapaian masih 60% dan untuk Universal Child Immunization (UCI) baru sekitar 65% dari target 90% di seluruh desa.”
Pemerintah Aceh telah mengalokasikan dana lebih dari Rp. 890 miliar pada tahun 2018. Dana tersebut akan dipergunakan untuk membiayai pembangunan dan pengembangan empat rumah sakit regional, pembangunan pusat rehabilitasi psikososial, program JKA, dan peningkatan fasilitas alat-alat kesehatan. Namun bagaimana implementasi di lapangan dan pengawasannya? Ini yang belum dilakukan.
Dari kondisi ini, Kontras, Timang Research Center, Amnesty Internasional dan Ika (Indonesia untuk Kemanusiaan) bersama-sama akan mengadakan “Malam Kebudayaan dan Malam Perdamaian Aceh,” yang akan diadakan pada Jum’at, 24 Agustus 2018, bertempat di Gedung Auditorium Perpustakaan dan Kearsipan. Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl. Cikini Raya No. 73. Jakarta.
Salah satu penggagas acara, penulis dan budayawan Kurnia Effendi menyatakan acara ini diadakan untuk mendesak perdamaian di Aceh, sekaligus mendukung Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dalam melakukan pemulihan bagi korban konflik, terutama perempuan yang mengalami kekerasan berlapis dan hingga hari ini masih jauh dari rasa keadilan dan pemulihan.
Hal lain yaitu untuk mengawal perdamaian Aceh khususnya, merawatnya dengan menginternalisasikan peran pemudi-pemuda melalui kegiatan-kegiatan seni dan budaya, serta membangun konsolidasi dengan sesama aktivis, tokoh adat, pemuka agama, pemerintah, seluruh elemen masyarakat, dan berbagai pihak yang menjadi kunci keberlanjutan perdamaian, mendorong keterlibatan penuh pemerintah pusat dalam mengawal perdamaian Aceh.
Yang terakhir yaitu lahirnya payung hukum dari pemerintah pusat, yang merupakan landasan pijak mengawal dan merawat perdamaian Aceh yang berkelanjutan, serta pintu masuk untuk mengawal perdamaian Indonesia dari berbagai bentuk konflik.
Dalam acara “Malam Kebudayaan dan Malam Perdamaian Aceh,” ini, sejumlah budayawan, aktivis, jurnalis, seniman/ artis akan seperti Debra Yatim, Nezar Patria, Melanie Subono, Yenni Wahid, Manneke Budiman, Linda Christanty, Usman Hamid akan tampil membacakan puisi dan esai tentang Aceh.
Selain itu acara juga dihiasi dengan lelang buku “Demi Damai” yang ditulis oleh Zubaidah Djohar.
Hasil penjualan buku ini akan didonasikan untuk masyarakat, para perempuan yang sedang berjuang melawan kekerasan dan diskriminasi di Aceh.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment